Beberapa merek sebenarnya sudah lama membatasi penggunaaninfluencer karena berbagai alasan, seperti ditemukannya tindakan aji mumpung dan ditengarai adanya penipuan oleh influencer.
Di tengah pandemi Covid-19, mereka makin ditinggalkan karena banyak pemegang merek melakukan pengetatan anggaran dan menghentikan aktivitas perjalanan.
Nasib bisnis ini juga makin tertekan oleh kehadiran generasi kreator. Mereka membuat konten bukan karena pesanan pemilik merek semata, melainkan karena merek itu dipandang memiliki nilai dan berguna bagi komunitas.
Pembatalan kesepakatan bisnis perusahaan dengan para influencersudah terjadi sejak akhir Februari lalu di banyak negara. Beberapa kesepakatan yang berstatus ditunda sepertinya juga akan dibatalkan dalam waktu dekat.
Kini mereka bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berbagai rencana bisnis mereka terhenti begitu saja. Ada yang bertahan dengan berbagai cara, seperti menjual produk pakaian ke para pengikutnya.
Industri influencer adalah industri besar dengan nilai 5-10 miliar dollar AS secara global. Industri ini berkembang karena publik belakangan lebih memercayai mereka dibandingkan selebritas hiburan atau olahraga sekalipun.
Maklum saja, berdasarkan riset, konsumen usia produktif lebih memercayai anjuran dan saran mereka melalui media sosial. Mereka membeli barang karena melihat produk itu muncul di media sosial.
Ketika wabah virus korona baru meluas, bisnis ini langsung terkena dampak karena perusahaan cenderung melakukan penyelamatan dan pembenahan internal.
Berdasar pengalaman sebelumnya, penggunaan media sosial memang meningkat tajam. Namun, menurut sebuah riset, harga untuk satu unggahan konten turun 67,2 persen.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan di tengah pandemi. Secara umum, semua yang terlibat di dalam bisnis, termasuk influencer, harus menggalang simpati dan solidaritas serta mendukung upaya pemerintah, seperti tetap tinggal di rumah.
Kecemasan dan kepanikan harus diredakan. Influencer bisa terlibat di sini meski secara bisnis mungkin tidak ada nilainya, tetapi publik akan mengenang peran mereka.
Berbagai saran yang berguna di tengah krisis juga akan membuat publik mengakui kehadiran mereka. Beberapa memilih langkah ini untuk mempertahankan kedekatan dengan pengikut
Di luar itu, mereka harus memutar haluan dalam berbisnis. Beberapa menyarankan mereka untuk membuat forum-forum secara daring untuk konsultasi dan mengajar secara berbayar.
Mereka memiliki sejumlah keahlian yang masih bisa dimanfaatkan di tengah pandemi. Influencer di bidang olahraga bisa mengajari cara-cara mengisi waktu di rumah dengan tetap berolahraga.
Mereka tidak perlu sendu dan tenggelam di tengah masalah global ini. Kreativitas tetap nomor satu. Mereka tetap bisa berbuat di tengah krisis.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah dampak pandemi ini terhadapinfluencer secara jangka panjang? Mereka sebaiknya mulai membuat kemungkinan bauran kompensasi, dari semula uang tunai menjadi berbagai jenis pemasukan karena krisis ini akan lama sekalipun pandemi mulai tertangani.
Mereka juga harus mengelola biaya secara lebih baik dan meningkatkan kualitas imbal balik. Beberapa juga menyarankan agar influencer tidak terpatok pada masalah jangka pendek. Mereka harus melihat bisnis ini dalam jangka panjang sehingga hubungan dengan klien tidak terhenti karena ada pandemi.
Pandemi kali ini juga akan mengubah peta influencer secara permanen. Pandemi akan memilah antarainfluencer yang benar-benar mengkreasi konten dengan yang sekadar menumpang tenar tanpa konten bermutu.
Mereka yang sekadar membuat promosi langsung produk alias berjualan dan tidak memberi makna bakal ditinggal. Mereka yang mengkreasi konten akan berpikir lebih lanjut tentang tampilan akun mereka ke depan, memikirkan untuk membuat penyesuaian konten, mereka juga mulai menganalisis apakah unggahan-unggahan mereka mempunyai makna di tengah ataupun seusai pandemi.
Isi konten, warna, dan juga "aura" akun menjadi perhatian karena tengah berada di dalam krisis. Mereka akan lebih sensitif alias tidak sembarangan dengan sejumlah isu untuk mengunggah konten.
Ada beberapa kasus di Indonesia, sejumlah influencer diprotes warga dan pengikut karena membuat konten pada saat yang tidak tepat, yaitu berkerumun ketika pemerintah melarang berkerumun. Mereka dinilai tidak sensitif dengan keadaan.
Untuk itulah, tidak salah apabila salah satu tulisan di laman Forbes beberapa hari lalu menduga akan terjadi migrasi dari generasi influencer ke generasi konten. Generasi konten sangat berbeda dengan generasi influencer.
Generasi konten berbasis pada otentisitas pemilik akun dan juga bagaimana ia bermanfaat bagi komunitas, publik, dan konsumen. Generasi influencer lebih dekat dengan dampak langsung biaya sponsor ke nilai penjualan, sementara generasi kreator melampaui urusan itu, yaitu mengkreasi bisnis masa depan tanpa meninggalkan urusan penjualan dan perhatian publik terhadap merek.
Generasi kreator akan menawarkan potensi-potensi bisnis ke depan ketika merek menggandeng mereka karena tidak sekadar menawarkan produk. Generasi kreator ini tidak harus selebritas dan orang penting yang ada saat ini.
Kita tetap berpijak pada kenyataan, pengaruh telah terdistribusi ketika muncul media sosial. Kemunculan "selebritas" hiperlokal di daerah-daerah menjadi bukti tentang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar