Dalam situasi cadangan pangan nasional Indonesia yang sangat terbatas, strategi menjaga kelangsungan sistem produksi pangan merupakan kunci sukses kebijakan dalam melawan pandemi virus korona. Apalagi, belum ada yang tahu pasti, kapan "pertempuran" global melawan Covid-19 akan berakhir.
Dengan demikian, penerapan strategi manajemen ketahanan pangan jangka pendek, menengah dan panjang sangat diperlukan. Bangsa Indonesia pun masih beruntung, serangan virus korona datang saat negeri ini sedang panen raya padi.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, target produksi padi nasional 2020 sebanyak 59,15 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 37,26 juta ton beras. Dengan asumsi angka konversi padi ke beras dipanen saat musim hujan 63 persen berarti dari tiap 100 kilogram GKG yang digiling akan menghasilkan 63 kilogram beras.
Bila produksi padi Januari-Juni 2020, dari hasil tanam musim hujan Oktober 2019-Maret 2020, memberikan kontribusi 60 persen dari total produksi beras nasional, sampai akhir Juni 2020 bakal tersedia di seantero wilayah Indonesia 22,36 juta ton beras.
Dengan menghitung konsumsi beras bulanan rakyat Indonesia 2,6 juta ton atau menjangkau sekitar 85 persen dari total konsumsi penduduk Indonesia, produksi beras hasil tanam musim hujan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional selama 8,5 bulan.
Namun, jangan senang dulu. Ketahanan beras 8,5 bulan itu dalam hitungan bulan berjalan, untuk masa panen Januari-Juni 2020.
Sekarang ini, masih awal April 2020, musim panen baru tiga bulan berjalan. Artinya ketersediaan beras riil, baru 50 persen atau hanya cukup untuk konsumsi 4 bulan 7 hari.
Tersebar
Di mana stok beras sebanyak itu? Yang pasti bukan di tangan atau dalam penguasaan pemerintah baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Kebiasaan petani, akan menyimpan sebagian hasil panen mereka untuk cadangan pangan keluarganya. Juga untuk modal usaha musim tanam berikutnya.
Mereka biasa menyimpan gabah minimal setara 3-6 bulan konsumsi keluarga.
Di mana lagi yang lainnya? Tentu sebagian masih ada di penebas, tengkulak, penggilingan kecil dan sebagian penggilingan besar, juga pedagang. Tentu sebagian kecil ada di masyarakat, untuk stok dapur beberapa hari.
Dari total ketersediaan beras 4 bulan 7 hari, yang sudah kita konsumsi secara nasional selama tiga bulan (Januari-Maret 2020), setara 7,8 juta ton.
Dengan kata lain, sisa beras dari panen tiga bulan itu yang belum dikonsumsi (cadangan beras nasional), hanya cukup untuk makan rakyat Indonesia selama 1 bulan 7 hari ke depan.
Tentu saja pasokan beras itu akan bertambah seiring panen di bulan April, Mei, Juni yang rata-rata ada tambahan 3,7 juta ton beras tiap bulan.
Stok pemerintah
Bagaimana dengan stok beras pemerintah? Stok beras pemerintah ada di Perum Bulog. Data Bulog menunjukkan, sampai awal Maret 2020 stok beras di Perum Bulog sebanyak 1,6 juta ton yang tersebar di 1.647 unit gudang Bulog.
Yang harus diketahui, stok beras di Bulog tidak mungkin cukup. Paling hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional 18 hari.
Dengan kata lain, ketahanan beras nasional Bangsa Indonesia, baik yang di lapangan ataupun di Bulog, maksimal hanya cukup untuk makan kurang dua bulan ke depan, kalau tidak lagi ada panen dan produksi. Walau mungkin, ada sedikit tambahan dari sisa stok tahun lalu di pasar.
Bukankah masih ada mi instan dan bahan pangan lokal lain seperti sagu, singkong, dan ubi jalar?
Itu betul. Mi instan dan pangan lokal lain selama ini memenuhi kebutuhan 15 persen di luar konsumsi rutin beras nasional. Akan tetapi, karena kita tidak pernah mendengar ada surplus pangan lokal dan mi instan yang berlebihan tiap tahun, maka kita anggap saja ketersediaan mi instan dan pangan habis dimakan.
Lalu apa kaitannya data tadi dengan kebijakan penanganan wabah Covid-19?
Siapa pun yang saat ini menjadi pemimpin pemerintahan di Indonesia, sebaiknya menempatkan masalah ketahanan beras ini sebagai faktor penentu kebijakan dalam menanggulangi sebaran virus korona. Kebijakan harus tetap agar tidak terjadi gejolak sosial disusul gejolak ekonomi dan politik.
Namun, bukankah cadangan beras Indonesia tadi cukup hampir untuk dua bulan?
Telah dijelaskan kalau beras yang sepenuhnya dalam penguasaan pemerintah hanya di Perum Bulog. Itu pun tidak semua terpusat, tetapi menyebar di daerah dan hanya cukup untuk memenuhi konsumsi nasional 18 hari. Bagi pemerintah, mudah saja menggunakan beras di Perum Bulog. Tinggal perintah, beras dapat disalurkan.
Bagaimana dengan beras sisa produksi Januari-Maret 2020 yang masih ada di lapangan? Tentunya, mekanisme pasar yang bicara. Pemerintah tidak bisa menggunakannya sewaktu-waktu. Pemerintah juga tidak dapat "main hantam" dengan memborong beras di pasar agar stok beras dalam penguasaan Pemerintah naik karena justru akan memicu gejolak harga yang bisa memantik krisis.
Produksi jadi kunci
Melihat dari perspektif ketahanan beras, bisa dipahami kalau kebijakan Pemerintah dalam mengatasi serangan virus korona tidak serta-merta emosional dan panik dengan melakukan PSBB secara menyeluruh. Namun, sebaiknya dilakukan pendekatan yang sedikit berbeda tergantung wilayahnya.
PSBB yang dijalankan dengan ketat dan masif, apalagi sampai ke daerah-daerah sentra produksi beras dapat membuat sistem produksi dan pasokan beras untuk bulan-bulan berjalan dapat terganggu. Bahkan, dapat saja produksi sampai terhenti sama sekali.
Ambil contoh, kalau sampai penggilingan padi berhenti beroperasi karena karyawannya tidak bekerja, misalnya, produksi beras terhenti. Sistem produksi beras di Indonesia sekarang sudah modern, dengan mesin-mesin penggilingan tidak lagi ditumbuk di rumah. Itu artinya, ketergantungan isi perut kita dengan penggilingan padi, baik dengan skala kecil dan besar, sangat tinggi.
Jadi, baik adanya untuk tidak memberlakukan PSBB secara total di beberapa wilayah. Pabrik-pabrik penggilingan padi skala besar dan kecil sebaiknya tetap dapat beroperasi. Petani masih boleh pergi ke sawah dan berproduksi meski ada pembatasan sosial.
Ingat. Sejatinya sistem cadangan beras nasional kita itu adalah cadangan beras berjalan. Yang artinya, cadangan beras akan tetap ada dan terjaga kalau produksi jalan terus.
Mungkin kita bisa impor? Rasanya sulit. Ini saat di mana semua negara panik menghadapi ancaman virus korona. Tanpa kejelasan kapan pandemi ini berakhir, rasanya tidak ada negara eksportir beras yang mau menjual beras produksinya ke Indonesia.
Lalu bagaimana solusinya? PSBB tentu saja boleh diterapkan sesuai dengan hasil analisis pemerintah. Akan tetapi, jangan sampai pembatasan sosial itu mengganggu sistem produksi beras. Pembatasan juga sebaiknya jangan diberlakukan bagi petani dan usaha penggilingan padi, sebagai ujung tombak produksi beras nasional.
(Hermas E Prabowo, wartawan pertanian-pangan Harian Kompas2006-2017, salah satu pendiri Perkumpulan Masyarakat untuk Pemberdayaan Pertanian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar