Pandemi virus korona memaksa banyak sekolah meliburkan para siswa. Mereka dianjurkan belajar di bawah pengawasan orangtua di rumah masing-masing.
Sebagian proses pembelajaran diganti lewat e-learning, belajar jarak jauh secara daring. Ini sebuah pengalaman baru yang memerlukan adaptasi bagi semua pihak.
Para guru di sekolah mesti kreatif bagaimana mengajar jarak jauh. Tentu saja banyak guru dan sekolah yang gamang, tidak siap. Lalu, orangtua pun gagap untuk mengondisikan peralatan yang diperlukan dan menata mental agar tujuan pembelajaran tercapai.
Minggu-minggu pertama anak dan orangtua senang bisa berkumpul bersama di rumah, orangtua bisa menemani anaknya belajar. Namun, tak sedikit orangtua ataupun anak yang mengeluh karena tak setertib belajar di lingkungan sekolah. Banyak anak yang lebih senang diajari pak guru atau ibu guru ketimbang diajari orangtua yang tidak sabar, mudah marah.
Para orangtua pun semakin menyadari betapa tak mudah menjadi seorang guru bagi anak-anaknya. Kita memang wajib berterima kasih kepada guru dan sekolah. Tanpa mereka, mayoritas orangtua tak mampu melakukan home schooling di bawah asuhan mereka. Tak mudah memindahkan suasana belajar sekolah ke rumah.
Ini sebuah pengalaman baru yang memerlukan adaptasi bagi semua pihak.
WFH
Selama wabah korona, juga muncul istilah baru yang sangat populer, yaitu work from home (WFH) alias bekerja dari rumah. Tentu ini sebuah konsep bagi orang kota yang kerja di kantor dengan budaya kerja sudah mapan, dilengkapi sarana teknologi yang sudah standar.
Dengan kerja dan belajar di rumah, suasana keintiman dan kehangatan keluarga langsung terasa. Namun, bagi mereka yang rumahnya kecil, keluarga besar, pasti terasa sesak dan pengap. Kerja dan belajar menjadi tidak produktif dan tidak efektif.
Beberapa cerita teman, dua minggu pertama suasana hangat, emosi masih terkontrol. Akan tetapi, memasuki minggu ketiga suasana bosan mulai muncul karena tinggal di rumah terus. Mulai merasa bagaikan orang tahanan dengan gerak terbatas.
Semua orang menahan diri tak keluar rumah karena takut ancaman penyebaran Covid-19. Ternyata, ketika kebebasan bergerak terbatas, tiba-tiba dunia jadi serasa sempit, stres muncul. Ini mengingatkan kita bahwa salah satu sifat bawaan manusia adalah "wanderer", senang keluyuran.
Wabah korona tampil sebagai "common enemy" (musuh bersama) bagi manusia sejagat. Semua penduduk bumi tidak mampu melawannya sendirian. Maka, muncullah rasa solidaritas, sejak dari lingkungan kecil dan terdekat di tingkat kelurahan, negara, sampai dunia. Korona memaksa kita semua membiasakan menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan penuh disiplin.
Kita pun disadarkan bahwa, baik mereka yang tergolong kaya maupun miskin, mesti bekerja sama untuk menjaga keselamatan dan hajat hidup bersama. Betapa banyak keluarga miskin dan menderita secara ekonomi yang memerlukan uluran kasih sayang dari yang berkecukupan.
Banyak bisnis perhotelan, restoran, agen perjalanan, dan pekerjaan lain yang merumahkan pegawainya. Mereka yang bekerja pada jasa angkutan, seperti Gojek, taksi, dan Grab, sepi penumpang.
Dalam situasi krisis, kualitas jajaran legislatif dan eksekutif teruji dan terlihat watak aslinya. Para politisi yang rajin menemui rakyat setiap menjelang pemilu dan pilkada kini entah apa yang mereka pikirkan dan lakukan terhadap konstituennya. Pada waktu krisis terlihat siapa pemimpin yang tulus dan berdedikasi melayani rakyat dan siapa yang cenderung diam mencari selamat sendiri.
Wabah korona tampil sebagai "common enemy" (musuh bersama) bagi manusia sejagat.
Suara ulama
Menghadapi anjuran pemerintah agar masyarakat melakukan social and physical distancing, rupanya tidak semua tokoh agama menaati, baik ulama dari kalangan Islam, Kristen, maupun Hindu. Ada yang masih tetap menyelenggarakan upacara agama beramai-ramai. Mereka berdalih, sakit dan mati itu di tangan Tuhan. Virus korona takut kepada orang beriman yang sedang bersembahyang dan kebaktian kepada Tuhan.
Meski demikian, secara umum pantas diapresiasi, ulama dan pemerintah tak memperhadapkan sains dan iman. Bahkan, penguasa Arab Saudi yang selama ini dipersepsikan konservatif ternyata menutup negaranya dari para tamu yang hendak melakukan ibadah umrah.
Artinya, dalam skala makro, para ulama mengakui kaidah sains yang menyuruh agar masing-masing melakukan social distancing. Kalaupun ada ulama yang mengatakan, "Kami hanya takut kepada Allah, tidak takut kepada korona", jumlahnya kecil.
Memang terasa asing, Masjidil Haram yang biasanya selalu penuh oleh orang yang datang bertawaf sekarang sunyi, sepi. Mereka yang tinggal di Mekkah juga mengikuti anjuran diam di rumah. Muncul kesadaran baru, sebuah pendekatan sufistik dalam beragama bahwa untuk mencari dan menemui Tuhan itu tak mesti di masjid dan tempat keramaian. Justru dalam kesunyian akan semakin intens melakukan dialog dengan Tuhan.
Tuhan itu dijumpai di relung hati terdalam, tak mesti di keramaian masjid, gereja, atau wihara. Dulu Nabi Muhammad menemukan pencerahan batin ketika menyendiri di Goa Hira. Gautama menerima pencerahan hidup setelah keluar dari kemewahan istana. Nabi Yunus memperoleh pengampunan Tuhan setelah menyendiri di perut ikan.
Negara dikudeta
Demikianlah, wabah korona telah membuat orang semakin mendekat kepada Tuhan dan keluarga yang selama ini diabaikan. Moda hidup didekonstruksi bahwa kekayaan, jabatan, dan kepintaran tak bisa diandalkan. Kita mesti menghargai dan percaya ilmu pengetahuan, tetapi banyak persoalan dan misteri hidup di mana sains belum bisa menemukan jawabannya.
Jadi, pendekatan spiritual kepada Tuhan akan selalu tetap relevan. Bahkan, sebagian orang justru itu yang prima dan utama, di samping pendekatan rasional.
Seakan semua negara saat ini tengah dikudeta oleh virus korona. Semuanya merasa kelabakan dan kewalahan menghadapinya. Negara-negara yang selama ini merasa hebat dan kuat juga dibuat bingung dan mengakui kerapuhannya dalam menghadapi serangan virus korona. Seakan dilucuti pakaian kebesarannya, lalu dipermalukan. Senjata- senjata nuklir, yang jadi andalan jika PD-3 meletus, tak mampu mengalahkan virus yang bekerja dengan senyap.
Tuhan itu dijumpai di relung hati terdalam, tak mesti di keramaian masjid, gereja, atau wihara.
Pesta hura-hura dan glamor yang semula magnetik sekarang justru dihindari. Orang memilih menyendiri, setidaknya mengambil jarak dari yang lain. Dalam sunyi sendiri, ada yang menemukan agenda baru, melakukan inner journey, merenungkan makna dan tujuan hidup, mempertanyakan gemerlap duniawi yang tiba-tiba redup oleh interupsi korona. Orang melakukan introspeksi, rupanya manusia telah berbuat amat rakus sehingga merusak keseimbangan dan keadilan alam.
Atas nama modernisasi dengan keunggulan sains, masyarakat modern telah memorakporandakan keseimbangan alam. Hewan dan tanaman sebagai sesama penghuni sah di bumi ini digusur dan dilecehkan keberadaannya oleh masyarakat urban. Manusia telah berbuat zalim yang pada urutannya bumi, sang ibu pertiwi, marah. Ini memberikan peringatan kepada manusia, makhluk yang merasa paling pintar, tetapi juga sekaligus lemah dan bodoh.
Ada pesan abadi dari mother earth bahwa manusia pasti kalah kalau melawan alam. Padahal, sejatinya bumi bersikap sangat baik, penyayang, dan menyediakan semua kebutuhan manusia selagi manusia bersikap santun dan menghargai sesama penghuni bumi, baik sesama manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Kita berharap wabah korona akan memberikan kesadaran akan perlunya hidup yang sederhana, saling berbagi kasih, dan bersama-sama menghadirkan surga di muka bumi. Kita semua hidup di bawah matahari yang sama, berdiri, duduk, berjalan, dan tidur di atas bumi yang sama. Agama, warna kulit, dan bahasa boleh berbeda, tetapi kita semua adalah keluarga besar Tuhan yang sedang berkelana sejenak di bumi Tuhan ini.
Mari kita rayakan kehidupan dengan ikatan kasih dan saling menghargai satu sama lain. Terima kasih korona, engkau telah mengajari kami agar lebih bijak menjalani dan memaknai kehidupan.
Aku, kami, dan kita adalah satu. Semoga kesadaran dan ikatan nu-
rani kemanusiaan ini mengantarkan lahirnya masyarakat baru Indonesia pascakorona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar