Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 07 April 2020

ZAT GIZI: Hati-hati Mengonsumsi Vitamin C dan Vitamin E (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Atika Walujani Moedjiono, wartawan Kompas

Belakangan ini, di media sosial dan berbagai grup Whatsapp bertebaran anjuran untuk mengonsumsi vitamin C dan vitamin E untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan melawan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Benarkah anjuran tersebut? Sejauh mana manfaat vitamin C dan vitamin E?

Pada dasarnya, vitamin dan mineral merupakan zat gizi penting untuk melaksanakan berbagai proses dalam tubuh, seperti mengubah makanan menjadi energi, memperbaiki kerusakan sel dan jaringan, memperkuat kekebalan tubuh, menyembuhkan luka, serta melindungi massa tulang.

Vitamin C atau asam askorbat mulai dikenal sebagai peningkat kekebalan tubuh setelah pemenang Nobel Linus Pauling menulis dalam bukunya tahun 1970-an. Sejak saat itu, para ilmuwan melakukan berbagai penelitian terkait vitamin C.

Simin Nikbin Meydani dari Pusat Penelitian Nutrisi terkait Usia Lanjut, Departemen Pertanian Amerika Serikat, dalam buku Military Strategies for Sustainment of Nutrition and Immune Function in the Field (1999) menulis, penelitian epidemiologi yang dilakukan Britton dan kolega tahun 1995 menunjukkan bukti kuat manfaat vitamin C dan vitamin E pada fungsi paru. Dari survei terhadap 2.633 orang berusia 18-70 tahun di Inggris, peneliti mendapatkan, makin tinggi asupan kedua vitamin itu, makin baik hasil pengukuran fungsi paru yang dilakukan dengan spirometer.

KOMPAS/ERIKA KURNIA

Toko ritel kesehatan dan kecantikan Guardian di kawasan Tosari, Jakarta Pusat, mengalami kelangkaan stok masker dan cairan pencuci tangan sejak awal Februari 2020. Pengunjung juga banyak mencari suplemen untuk meningkatkan kekebalan tubuh dalam upaya mengantisipasi penularan infeksi virus korona baru.

Tidak menangkal flu

Kajian tahun 2013 terhadap berbagai penelitian, yang dikutip Livescience, 10 Maret 2020, menunjukkan, suplemen vitamin C tidak mencegah flu. Penelitian terhadap orang-orang yang mendapat tekanan fisik berat, seperti pelari maraton, tentara yang dilatih di Kutub Utara, mendapatkan, sekitar setengah jumlah dari mereka yang mengonsumsi suplemen vitamin C terkena flu dibandingkan dengan mereka yang tidak mengonsumsi suplemen. Namun, suplemen vitamin C yang dikonsumsi saat pilek dapat mengurangi durasi penyakit hingga 8 persen pada orang dewasa dan 14 persen pada anak-anak.

Para peneliti di Rumah Sakit Zhongnan, Universitas Wuhan, China, melakukan uji klinis pada 140 pasien Covid-19, sejak Februari lalu, untuk menguji apakah vitamin C dosis sangat tinggi yang diberikan melalui pembuluh darah dapat mengobati infeksi virus. Kelompok uji menerima infus dua kali sehari selama tujuh hari, masing-masing infus mengandung 12 gram vitamin C (rekomendasi normal untuk pria dewasa 90 mg per hari). Uji coba akan selesai pada September mendatang. Saat ini belum diumumkan hasilnya.

Jadi, sejauh ini belum ada bukti bahwa suplemen vitamin C dapat membantu mencegah atau mengobati Covid-19.

Meskipun tidak menangkal flu, vitamin C tetap penting bagi kesehatan. Zat itu mengaktifkan sejumlah enzim kunci untuk membentuk hormon yang membantu melawan infeksi, serta membangun kolagen, protein dalam kulit dan jaringan ikat, untuk memulihkan cedera. Saat tubuh diserang kuman, Vitamin C membantu mengarahkan sel kekebalan tubuh, yakni neutrofil, ke tempat terjadinya infeksi dan membantu mengatasi radikal bebas yang merusak jaringan tubuh.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Tomat hasil panen petani di Desa Gantang, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020). Tomat merupakan salah satu makanan sumber vitamin C.

Menurut laman Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) Amerika Serikat, tubuh tidak memproduksi ataupun menyimpan Vitamin C. Karena larut dalam air, kelebihan vitamin itu akan keluar bersama urine. Untuk memastikan kecukupan vitamin C, kita perlu mengonsumsi makanan yang kaya vitamin itu setiap hari.

Kekurangan vitamin C merugikan. Menurut Everydayhealth.com, defisiensi vitamin C menyebabkan kram otot, iritasi saraf, gangguan kulit, tulang rapuh, keletihan, konstipasi, depresi, dan insomnia. Sebaliknya, asupan vitamin C dosis tinggi, lebih dari 2.000 mg per hari, bisa menyebabkan mual, diare, dan sakit perut. Orang yang pernah menderita batu ginjal atau yang kadar oksalatnya tinggi perlu menghindari suplemen vitamin C karena bisa mendorong pembentukan batu ginjal.

Dosis yang dianjurkan tergantung usia, jenis kelamin, serta kondisi tubuh. Secara umum, rekomendasi asupan vitamin C untuk laki-laki 90 miligram (mg) dan perempuan 75 mg. Perokok disarankan menambahkan 35 mg lagi mengingat asap rokok menguras vitamin C tubuh.

Tubuh menyerap dan menggunakan vitamin lebih baik ketika berasal dari makanan.

Tubuh menyerap dan menggunakan vitamin lebih baik ketika berasal dari makanan. Karena itu, cara terbaik untuk mendapatkan zat gizi adalah langsung dari makanan, demikian laman Clevelandclinic.org. Di AS, Badan Pengawas Makanan dan Obat (FDA) tidak mengevaluasi kualitas suplemen ataupun menilai pengaruhnya terhadap tubuh. Berapa persen dari suplemen yang bisa diserap tubuh belum bisa dipastikan.

Makanan yang kaya vitamin C antara lain berbagai jenis jeruk, stroberi, tomat, cabai, bayam, sayur kale, dan brokoli.

Risiko kanker prostat

Adapun vitamin E merupakan kelompok delapan vitamin yang larut dalam lemak yang dikenal sebagai tokoferol dan tokotrienol. Vitamin ini juga berfungsi sebagai zat antioksidan, membantu mencegah kerusakan sel dengan cara menetralkan molekul radikal bebas. Radikal bebas adalah senyawa yang terbentuk saat tubuh mengubah makanan menjadi energi. Orang juga bisa terpapar radikal bebas yang berasal dari asap rokok, polusi udara, serta sinar ultraviolet matahari.

Vitamin E penting bagi tubuh untuk melawan bakteri dan virus, mencegah pembekuan darah, serta menjaga pembuluh darah tetap lebar. Berbeda dengan vitamin C, vitamin E disimpan tubuh dalam selaput sel.

Makanan sumber vitamin E antara lain kacang-kacangan, biji-bijian, sayuran, seperti brokoli, tomat, bayam, serta buah kiwi dan mangga.

Gejala kekurangan vitamin E antara lain berupa rasa kebas atau kesemutan pada jari, kaki dan tangan, gangguan retina mata, serta ketidakmampuan mengendalikan gerakan tubuh.

Sebaliknya, kelebihan vitamin E, konsumsi lebih dari 1.100 IU per hari, bisa menyebabkan perdarahan, termasuk perdarahan otak (stroke hemorhagik), lemah, letih, sakit kepala, mual, dan diare.

Bagi orang yang minum obat pengencer darah dan obat-obat tertentu, konsumsi suplemen vitamin E bisa berbahaya. Sebuah penelitian mendapatkan, laki-laki yang mengonsumsi suplemen vitamin E 180 mg (400 IU) per hari dalam jangka waktu lama berisiko lebih tinggi kena kanker prostat.

Menurut Bagian Suplemen Makanan dari NIH, AS, umumnya orang mendapat cukup vitamin E dari makanan. Namun, orang dengan penyakit seperti Alzheimer, gangguan hati, fibrosis kistik (penyakit genetik yang menyebabkan lendir menjadi kental dan lengket sehingga menyumbat saluran napas dan sistem pencernaan), penyakit Crohn (peradangan kronis saluran cerna), perlu tambahan vitamin E.

Orang dewasa dianjurkan mengonsumsi vitamin E 15 mg atau setara 22,4 IU per hari. Suplemen vitamin E umumnya mengandung 100-1.000 IU per butir. Banyak yang meyakini, antioksidan yang diperoleh dari dosis tinggi tersebut dapat melindungi dari berbagai penyakit. Namun, penggunaan vitamin E untuk mencegah gangguan jantung, kanker, dan gangguan penglihatan, seperti degenerasi makular, belum terbukti secara ilmiah.

Karena itu, konsumsi vitamin dalam bentuk suplemen harus dilakukan secara hati-hati. Jika berlebihan, justru berbahaya bagi kesehatan. Apalagi belum ada bukti bahwa vitamin C ataupun vitamin E mampu menangkal atau mengobati Covid-19.

Kompas,  3 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger