Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Regulasi itu mendorong Bank Indonesia memasuki babak baru dalam menjalankan fungsinya sebagai otoritas moneter pada era reformasi.
Perppu itu membuat BI tidak hanya sebagai lender of the last resort di sistem perbankan dan keuangan, tetapi juga di sisi fiskal dengan kewenangan barunya untuk membiayai defisit anggaran negara.
Inilah untuk pertama kalinya pada era reformasi, BI diperbolehkan membeli surat utang negara di pasar perdana untuk kepentingan fiskal, atau dengan kata lain BI memberi utang secara langsung kepada pemerintah. Ini artinya BI menjadi pemberi pinjaman terakhir atau lender of the last resortuntuk segala-galanya.
Pada era Orde Baru, bank sentral, yang posisinya dikendalikan pemerintah, biasa membiayai defisit fiskal pemerintah. Namun, sejak krisis ekonomi 1998, Bank Indonesia, yang posisinya menjadi independen terhadap pemerintah, tidak boleh lagi membiayai defisit fiskal atau memberi utang secara langsung kepada pemerintah. Hal ini mengacu pada best practice kewenangan bank sentral di banyak negara, yang kemudian dituangkan dalam UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia.
Pembiayaan defisit anggaran pemerintah oleh BI, seperti pada masa Orde Baru, dinilai berpotensi menimbulkan moral hazard dan mengaburkan kondisi riil keuangan yang sebenarnya. Karena tidak dilakukan secara prudent dan terus-menerus, banyak pihak menyebut, praktik ini juga menjadi salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi 1998 di Indonesia.
Karena itulah, sejak krisis 1998, fungsithe lender of the last resort BI dibatasi hanya untuk kepentingan menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, dengan menggelontorkan likuiditas kepada perbankan untuk mencegah terjadinya krisis yang lebih dalam. Fungsi the lender of the last resort untuk kepentingan stabilitas sistem perbankan ini, salah satunya pernah dilakukan BI saat mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 147,7 triliun saat krisis ekonomi 1997-1998.
Pertanyaannya, mengapa Perppu No 1/2020 memberikan kewenangan kembali kepada BI untuk membiayai defisit fiskal? Lalu, apa saja implikasinya terhadap kondisi moneter di Indonesia?
Pandemi Covid-19, tidak hanya merupakan krisis kesehatan, tetapi juga menyebabkan krisis ekonomi global yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, yang disebut-sebut bakal menjadi yang terparah dalam 100 tahun terakhir, dengan perekonomian dunia akan berakhir pada resesi.
Perppu No 1/2020 berisikan protokol-protokol yang akan dilakukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menghadapi krisis keuangan. Ini mengindikasikan, pemerintah sudah memperhitungkan bahwa pada skenario terburuk atau sangat berat, pandemi Covid-19 bisa menyebabkan krisis keuangan dan ekonomi di Indonesia. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pada skenario terburuk, perekonomian Indonesia tahun ini bisa terkontraksi 0,4 persen. Namun, pemerintah dan BI masih optimistis, pertumbuhan ekonomi minimal bisa mencapai 2,3 persen tahun 2020.
Dengan demikian, seperti yang dikatakan Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo, karena pandemi Covid-19 merupakan kejadian luar biasa, maka kebijakan untuk menangkalnya juga harus luar biasa, tidak bisa lagi dengan kebijakan seperti biasa saat kondisi normal. Kewenangan baru BI yang bisa membiayai defisit fiskal merupakan salah satu kebijakan luar biasa tersebut.
Sumber utang
Indonesia menganggarkan tambahan belanja yang cukup besar, yakni Rp 405,1 triliun, untuk menangani Covid-19, yang dilakukan melalui revisi dan re-focusing APBN 2020.
Dengan penambahan belanja tersebut, defisit anggaran 2020 akan membengkak. Terlebih lagi penerimaan negara akan berkurang karena pemerintah banyak memberikan stimulus berupa insentif sebagai kebijakan countercyclicaldalam menghadapi pandemi Covid-19. Beberapa insentif antara lain pembebasan pajak penghasilan karyawan (PPh 21) selama 6 bulan dan pembebasan bea impor produk-produk yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.
Dalam pasar keuangan yang bergejolak seperti saat ini, tentu sangat sulit bagi pemerintah menjual surat utang di pasar internasional. Yang ada, malah investor asing berlomba-lomba melepas surat utang negara yang mereka pegang. Kompetisi di pasar uang internasional jelas sangat ketat karena banyak pula negara lain yang menawarkan surat utangnya mengingat semua negara membutuhkan uang untuk menangani Covid-19.
Jika ingin dibeli investor asing, pemerintah harus menawarkan bunga yang tinggi. Namun, menawarkan bunga tinggi bukanlah pilihan bijak karena anggaran untuk membayar bunga utang akan semakin membengkak.
Menawarkan surat utang di dalam negeri tentu akan dilakukan pemerintah karena selama ini pun sebagian defisit fiskal dibiayai dari penerbitan surat utang negara berdenominasi rupiah. Namun, tentu saja defisit fiskal tak bisa dipenuhi seluruhnya dari dalam mengingat tabungan masyarakat di dalam negeri jumlahnya terbatas.
Pemerintah juga sangat berhati-hati menarik utang dari publik karena akan menyebabkan likuiditas perbankan menjadi kering. Padahal, perbankan juga diharapkan bisa menyalurkan kredit lebih besar sebagai bagian dari kebijakan countercyclical menghadapi pelemahan ekonomi akibat Covid-19.
Selama periode 2015-2019, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh rata-rata 8,7 persen, jauh di bawah periode 2010-2014 yang sebesar 20,8 persen. Pada 2019, pertumbuhan kredit tercatat sebagai yang terendah sejak krisis 1998, yakni hanya 5,85 persen. Perbankan kehilangan kemampuan menyalurkan kredit karena banyak nasabah mengalihkan dananya untuk membeli surat utang negara yang menawarkan imbal hasil lebih menarik ketimbang deposito.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, SBN neto yang diterbitkan pemerintah sepanjang periode 2015-2019 rata-rata Rp 297 triliun dengan yang tertinggi pada 2019, yakni Rp 360 triliun. Penerbitan SBN neto selama periode 2015-2019 jauh lebih besar dibandingkan periode 2010-2014 yang rata-rata hanya Rp 128 triliun.
Melihat kondisi tersebut, jika tak ingin likuiditas perbankan kering, surat utang yang ditawarkan kepada publik sebaiknya tak lebih dari Rp 300 triliun.
Lalu dari mana pemerintah memperoleh Rp 500 triliun-Rp 600 triliun lagi untuk menutup defisit? Di sinilah peran BI sebagai lender of the last resort bagi pemerintah.
Dengan gelontoran dana untuk menutup defisit fiskal, BI akan melakukan quantitative easing(QE) yang relatif besar. Quantitative easingmerupakan salah satu kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar.
BI akan memompa likuiditas cukup besar ke pasar dengan cara menciptakan uang sehingga uang beredar akan naik signifikan.
Berdasarkan data BI per Januari 2020, total uang beredar mencapai Rp 6.047 triliun, meningkat 7,1 persen atau Rp 402 triliun dibandingkan Januari 2019. Uang beredar tersebut terdiri dari uang kartal Rp 1.484 triliun dan uang giral Rp 4.536 triliun.
Meningkatnya uang beredar, jika tak dikelola hati-hati, akan mendorong inflasi dan memperlemah kurs rupiah. Secara bertahap BI pun harus menyerap kembali kelebihan likuiditas ini agar sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia.
Namun, seperti yang dikatakan Gubernur BI, bisa jadi, langkahquantitative easing tak perlu dilakukan BI jika wabah Covid-19 segera teratasi sehingga pemerintah tak perlu menaikkan defisit anggarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar