Sejarah menceritakan bahwa wabah adalah faktor kunci mundurnya Zaman Purbakala dan lahirnya Abad Pertengahan (Lester K Litte; 2007). Dengan kata lain, wabah telah menjadi salah satu unsur yang mendorong terjadinya perubahan zaman.
Sejak itu, masih menurut catatan sejarah, zaman terus berubah dan perubahan itu antara lain terjadi setelah dunia disapu wabah. Pada masa lalu, pandemi telah berpengaruh nyata terhadap sistem politik, ekonomi, ataupun budaya; tatanan dunia berubah.
Apakah pandemi Covid-19 kali ini yang melanda dunia juga akan menjadi pemicu terjadinya perubahan dunia, perubahan zaman?
Delapan abad sebelum Black Death (Kematian Hitam), pandemi wabah melanda negeri-negeri di sekitar Laut Mediterania dan akhirnya meluas ke timur sampai ke Persia dan ke utara sampai ke Kepulauan Inggris. Ini terjadi pada abad ke-6 di zaman Justinianus I (Flavius Justinianus) menjadi Kaisar Byzantium (527-565).
Sejarawan Byzantium asal Procopius dari Caesarea (500-565) menulis, wabah yang berasal dari China itu masuk ke Pelusium, muara Sungai Nil di Afrika Utara. Menurut Wendy Orent, penulis Plague, penyakit menyebar ke dua jurusan: utara, yakni ke Aleksandria dan timur ke Palestina. Penyebar penyakit ini adalah tikus hitam (Rattus rattus) yang "menumpang" kapal dagang pengangkut gabah (John Horgan,Ancient History Encyclopedia, 2014).
Wabah (karena bakteri Yersinia pestis) itu kemudian disebut sebagai Wabah Justinian karena terjadi di zaman Kaisar Justinianus, yang menyebar serta "menguasai" kawasan Mediterania selama 225 tahun dan baru hilang tahun 750. Jutaan orang tewas.
Wabah Justinian menjadi titik awal kemunduran Kekaisaran Romawi Timur—yang nantinya akan digantikan Kekhalifahan Usmaniyah (Ottoman) Turki—karena merosotnya perekonomian yang berbuntut pada pelemahan kekaisaran. Meskipun wabah itu terjadi ketika Kekaisaran Romawi Timur sedang di puncak kejayaannya, zaman keemasan.
Sekitar delapan abad kemudian, dunia dilanda wabah Black Death. Seperti wabah Justinian menjadi salah satu penyebab runtuhnya Kekaisaran Romawi, demikian juga Black Death. Walter S Zapotoczny (2006) menulis, Black Death sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke-14 dan ke-15. Selain itu, juga menjadi penyebab pecahnya pemberontakan petani di banyak bagian Eropa, seperti Perancis (pemberontakan Jacquerie, 1358) dan di Italia (pemberontakan Ciompi, 1378, yang melanda kota Florence).
Salah satu kelompok yang paling menderita adalah Gereja. Mereka kehilangan prestise, otoritas spiritual, dan kepemimpinan atas rakyat ketika orang-orang beralih ke mistisisme. Gereja menjanjikan penyembuhan, perawatan, dan penjelasan tentang wabah itu. Mereka mengatakan itu adalah kehendak Tuhan, tetapi alasan hukuman yang mengerikan ini tidak diketahui. Orang-orang menginginkan jawaban, tetapi tidak ada jawaban. Orang-orang berdoa kepada Tuhan dan memohon pengampunan.
Setelah wabah berakhir, penduduk desa yang marah dan frustrasi mulai memberontak melawan Gereja. Para penyintas juga marah kepada dokter, yang mengatakan mereka bisa menyembuhkan pasien, tetapi ternyata tidak.
Segera setelah letusan terakhir Black Death, pandangan tentang anak-anak juga berubah. Meskipun membawa nama keluarga masih dianggap penting, angka kelahiran turun. Anak-anak dianggap "tidak sebanding dengan masalah" untuk dibesarkan karena mereka mungkin akan mati pula. Butuh 400 tahun sebelum populasi Eropa menyamai angka sebelum wabah Black Death.
Tuntutan bagi pekerja pertanian memberi para penyintas kekuatan tawar baru. Pekerja yang sebelumnya terikat pada pekerjaan dan penghidupan yang berkaitan dengan tanah sekarang dapat melakukan perjalanan dan mendapatkan upah yang lebih tinggi untuk layanan mereka. Selain itu, orang meninggalkan daerah perdesaan dan bermigrasi ke kota dengan upah yang lebih tinggi.
Namun, gerakan anti-Semitisme semakin meningkat di seluruh Eropa ketika orang-orang Yahudi dipersalahkan atas penyebaran Kematian Hitam. Gelombang pogrom, kerusuhan rasial dalam bentuk persekusi dan pembunuhan terhadap orang-orang Yahudi, terjadi di Eropa.
Menuju zaman baru?
Apakah sejarah akan berulang? Apakah pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini akan mengubah dunia, termasuk di dalamnya sikap dan perilaku manusia terhadap alam? Apakah juga akan mengubah cara hidup dan kerja manusia?
Akan menjadi seperti apa negara-negara yang terkena wabah Covid-19 nanti, seperti China, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, dan Perancis, bahkan AS, juga negara-negara lain, termasuk Indonesia? Berubah? Apakah akan terjadi perubahan besar dalam tatanan dunia dan muncul tatanan baru, serta hubungan antarbangsa, seperti di masa lalu?
Di masa lalu, wabah memiliki efek yang luar biasa pada lahirnya Revolusi Industri (1750-1850). Revolusi Industri memicu perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia, juga perbudakan.
Baca juga: Menanti Fajar
Sekarang, pandemi Covid-19 ini, misalnya, memiliki efek luar biasa pada stabilitas sosial, ekonomi, dan politik serta hubungan antar-negara. Dalam hubungan antar-negara, kepentingan nasional sebuah negara menjadi sesuatu yang tidak dapat digugat lagi; menjadi yang utama bagi setiap negara. Kepentingan nasional adalah konsep yang paling penting dalam hubungan internasional. Ini adalah konsep kunci dalam kebijakan luar negeri. Perumusan kebijakan luar negeri dipandu oleh kepentingan nasional.
Apa yang terjadi di Eropa bisa menjadi salah satu contohnya. Bukan Brexit, atau banjir para migran, tetapi pandemi Covid-19 dapat menimbulkan tantangan terbesar bagi persatuan Eropa—mungkin juga ASEAN atau organsiasi-organisasi regional lainnya—dalam beberapa dekade mendatang.
Para pemimpin 26 negara Eropa di zona Schengen sepakat untuk sementara waktu menutup perbatasan mereka dengan warga negara non-Uni Eropa; dan juga perbatasan antar-negara, dimulai oleh Italia untuk mengeblok meluasnya wabah, meskipun pandemi Covid-19 ini telah dimanfaatkan para politisi atau kelompok-kelompok anti-migran, kaum populis sayap kanan yang selama ini sangat keras menentang pengungsi.
Harus diakui bahwa sekarang ini, yang namanya solidaritas internasional, di Eropa sangat jelas, kurang tampak. Padahal, kerja sama internasional adalah faktor kunci ketika dahulu dunia mengatasi krisis keuangan global 2008. Memang, krisis karena pandemi Covid-19 berbeda dengan krisis ekonomi 2008, yang ketika ujian tekanannya melibatkan bank dan lembaga keuangan. Sekarang ini adalah ujian politik di semua tingkatan: komunitas, lokal, komunal, nasional, regional, dan internasional.
Hal tersebut sangat berbeda dengan respons terhadap krisis ekonomi dunia 2008. Ketika itu, semula, masing-masing negara mengambil langkah-langkah untuk menangani krisis. Namun, kemudian PM Inggris (saat itu) Gordon Brown menggunakan pertemuan G-20 untuk memetakan respons internasional. Hasilnya, yang pada akhirnya membantu menyelamatkan dan menghidupkan kembali ekonomi dunia: penurunan suku bunga yang terkoordinasi, rangsangan fiskal, dan menjauh dari proteksionisme oleh masing-masing negara.
Apa yang mencolok dengan pandemi Covid-19 sekarang ini adalah lemahnya koordinasi global meskipun China menyediakan diri untuk membantu negara lain. Pada mulanya, WHO sedikit kurang perhatian terhadap apa yang terjadi di China, meski sekarang telah berubah.
Namun, hal yang perlu dicatat adalah juga kurang ada upaya internasional yang terkoordinasi untuk menerapkan pelajaran dari kebijakan yang diadopsi oleh beberapa pemerintah di Asia yang meraih kemajuan dalam relatif membatasi dampak meluasnya pandemi Covid-19, seperti China, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan.
Padahal, sangat penting menyadari bahwa apa yang memengaruhi satu orang di mana saja memengaruhi setiap orang di mana pun. Sebab, tak terhindarkan bahwa kita semua menjadi bagian dari suatu spesies. Oleh karena itu, sangat tidak perlu dan tidak penting, berpikir tentang pembagian ras, etnis, agama, status ekonomi, dan lain sebagainya, seperti yang dikatakan Presiden AS Donald Trump yang menyebut virus korona sebagai virus china.
Kita harus berpikir bahwa kita harus bekerja bersama, membangun solidaritas global sebagai spesies manusia untuk diorganisasi saling memelihara, untuk menyadari bahwa kesehatan orang yang paling rentan di antara kita adalah faktor penentu bagi kesehatan kita semua, dan kesadaran untuk terus memelihara Bumi sebagai rumah bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar