Pandemi kali ini membuat dunia serasa berhenti berputar. Berhenti bukan sekadar demi membatasi persebaran dan perkembangbiakan virus korona baru. Ini menjadi jeda bagi semua pihak melatih diri mencapai situasi normal baru. Mulai dari kebiasaan baru dengan mengurangi sentuhan hingga ancang-ancang menata kawasan yang tahan bencana, termasuk tahan wabah.
Frase "the new normal" atau situasi normal yang berbeda dari sebelumnya banyak jadi prediksi publik akhir-akhir ini seiring meningkatnya jumlah kasus pasien positif Covid-19 yang disebabkan virus korona baru. Contoh kecil adalah dalam satu atau dua pekan lalu, kita masih biasa berjabat tangan saat berjumpa dengan teman atau kolega. Itu nilai kesopanan yang selama ini dianut.
Kini jabat tangan menjadi membahayakan, bisa memindahkan virus dari seseorang ke orang lain. Dampaknya bisa menyebabkan kematian diri sendiri atau orang lain.
Informasi yang beredar akhir-akhir ini membuka mata tentang beberapa hal. Salah satunya, tidak heran Singapura mati-matian melarang dan menerapkan denda besar bagi orang yang meludah sembarangan. Selain agar kota tetap bersih, ternyata itu ampuh melawan penularan penyakit.
Jepang tidak terlalu terpengaruh pandemi. Mereka terbiasa hidup bersih, menyampaikan salam atau hormat dengan saling membungkuk bukan bersalaman, orang biasa memakai masker saat berada di luar ruang. Sejak lama, di sana tersedia masker khusus bagi anak-anak.
Bagaimana Indonesia? Kebiasaan meludah sembarangan masih terjadi. Bersin dan batuk di tempat umum banyak yang belum otomatis menutup hidung serta mulutnya. Di banyak daerah, bahkan di Jakarta, masih ada yang buang air besar alias BAB sembarangan di saluran air atau sungai. Sampah? Di selokan depan rumah kita saja aneka sampah bersesakan dalam genangan air kotor.
Belum lagi banyaknya hunian kumuh padat yang menjadi rumah warga tak mampu. Ini tantangan besar dalam menerapkan hidup bersih, apalagi menerapkan kebijakan pembatasan sosial, pembatasan fisik, ataupun karantina.
Di permukiman kumuh, air bersih tidak sepenuhnya tersedia. Di dalam rumah, jarak WC dan sumur kurang dari 10 meter. Luas rumah bisa di bawah 10 meter persegi bahkan kurang. Belum lagi minimnya paparan sinar matahari atau udara segar karena sempitnya hunian. Satu rumah bisa dihuni lebih dari satu keluarga. Tak ada jarak selain dinding antarrumah. Akses di perkampungan ini hanya berupa gang selebar 1-1,5 meter.
Kondisi warga miskin kota itu turut dilaporkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin, dalam konferensi video di kantor masing-masing di Jakarta, Kamis (2/4/2020). Untuk 1,1 juta warga miskin, menurut Anies, selama ini mendapatkan bantuan sesuai program pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, bagi 2,6 juta warga rentan miskin belum ada kejelasan bantuan.
Warga miskin Ibu Kota rata-rata pekerja informal dan banyak tinggal di kawasan kumuh padat. Saat banyak kantor, tempat usaha, dan pabrik menerapkan pembatasan sosial, pekerja informal, seperti tukang ojek dan penjual makanan, langsung terdampak.
Respons kota
Dalam dialog urban secara virtual yang diselenggarakan Ikatan Ahli Perencana (IAP) Jakarta pada 31 Maret 2020 malam, isu bagaimana mengukur respons kota terhadap pandemi Covid-19 sengaja diangkat sebagai tema diskusi. Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Harya Setyaka Dillon dan Dewan Pakar IAP Jakarta Agung Mahesa menjadi narasumber dalam webinar via aplikasi Zoom dan diikuti puluhan peserta itu.
Harya menyatakan, saat ini kota-kota di dalam negeri ataupun sedunia sudah berjejaring. Dalam berjejaring tidak hanya sumber daya manusia, teknologi, informasi, serta barang yang dialirkan, tetapi juga penyakit. Kesadaran baru mesti dibangun untuk menyikapi bahwa tidak hanya hal baik, tetapi juga hal buruk pun bisa dialirkan dalam dunia global yang telah menyatu ini.
Harya menegaskan, di tingkat terkecil, yaitu rumah tangga juga skala wilayah rukun tetangga atau rukun warga, amat diperlukan kesadaran bersama untuk mencegah berkembangbiaknya virus korona baru. Melacak pasien positif Covid-19 pun butuh lebih dioptimalkan.
Terkait permukiman padat, menurutnya, yang kembali menjadi perhatian saat ini adalah fenomena gunung es. Yang mesti digarisbawahi adalah isu kekumuhan yang sejak sebelum era Covid-19 telah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah ataupun masyarakat. Harus diakui belum ada solusi menyeluruh yang berkemanusiaan untuk isu tersebut.
"Justru saat ini bisa menjadi momentum menaikkan prioritas penanganan kawasan kumuh agar tidak terus-menerus menjadi potensi episentrum bencana, termasuk wabah penyakit," kata Harya.
Di era masa datang, tambah Harya, respons tata ruang didorong mengedepankan sarana prasarana digital. "Jaringan internet harus lebih mudah diakses dan lebih murah oleh siapa saja dan di mana saja. Kota ditata lebih teratur meskipun tetap padat," katanya.
Ia menambahkan, konektivitas antardaerah, antarnegara, pasti tetap ada di masa pandemi dan setelahnya karena kini sudah di era digital. "Namun, sekali lagi, yang harus dikikis adalah kesenjangan akses internet yang lebih baik," kata Harya.
Agung mengingatkan agar para perencana kota setidaknya bisa membantu dengan rancangan tata kawasan yang ramah bencana penyakit. Bagaimana menjawab isu penataan permukiman kumuh padat perkotaan secara manusiawi, perlunya menyiapkan tempat singgah permanen bagi petugas medis dan mereka yang harus diisolasi karena penyakit, melengkapi fasilitas kesehatan, termasuk laboratorium.
"Wabah ini tidak mengenal batas negara. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pun kadang terbentur dengan masalah administrasi negara. Soal wabah ini memang butuh kerja sama global yang lebih jelas di semua aspek," kata Agung.
Bom waktu
Harya dan Agung menyatakan, pandemi ini penyakit kolektif yang butuh diobati. Pasti butuh biaya besar dan butuh ketegasan kebijakan yang bersifat mengikat serta instruktif dari pusat hingga ke daerah. "Penyakit ini tidak menunggu kita siap. Kalau didiamkan, ya, akan menjadi semacam bom waktu," katanya lagi.
Yang mesti diingat, tanpa ketegasan penanganan, tak bisa dipastikan kapan pembatasan sosial usai. Nanti, saat masa pembatasan sosial usai, bukan ancaman lenyap. Penyakit ini akan terus menghantui karena virus bisa terus bermutasi dan menginfeksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar