Tidak terasa sudah seabad jejak langkah PK Ojong, salah satu pendiri Kompas Gramedia. Ia lahir 25 Juli 1920 dan menutup usia pada 31 Mei 1980, belum genap 60 tahun usianya. Meskipun saat berpulang belum begitu tua dan terasa singkat hidupnya, PK Ojong telah memberi makna dan warna yang kuat bagi lingkungannya. Mula-mula untuk lingkungan dekatnya di Kompas Gramedia, lalu mengalir lewat pergaulannya di institusi hukum, pendidikan, dan sosial budaya serta masyarakat luas.
Apakah PK Ojong patut dikenang setelah sekian lama, sekitar 40 tahun lalu, meninggalkan kita? Hemat saya, "ya", ia layak dikenang karena telah memberi legacy (warisan) dan pelajaran berharga bagi kita di zaman kini atau zaman now.
"Indonesia Kecil"
Penulis mengenal PK Ojong beberapa tahun sebelum harian Kompas terbit pada 1965. Kebetulan rumahnya terletak di jalan yang paralel dengan jalan depan rumah saya, di Jatinegara. Kesan pertama bertemu, ia adalah seorang intelektual atau tepatnya "a cultured man", orang yang mempunyai wawasan luas melampaui bidang studinya, memahami etika, serta punya citarasa estetika.
Bercakap-cakap dengannya membuat saya, yang saat itu masih mahasiswa tingkat persiapan, merasa mendapat kuliah besar humaniora, bersentuhan dengan pemikiran tokoh-tokoh kelas dunia. Wah, sepertinya saya tengah berhadapan dengan intelektual berkelas.
Ketika itu, ia sudah menjadi pemimpin redaksi Star Weekly, majalah mingguan yang digemari dan berpengaruh. Banyak tokoh pemikir, budayawan, dan sastrawan menulis diStar Weekly, seperti Wiratmo Sukito, Ajip Rosidi, Harijadi S Hartowardojo, dan Ryono Praktikto. Bahkan, Bung Hatta pernah menulis artikel yang kemudian berkembang menjadi risalah "Demokrasi Kita" yang terkenal itu.
Hemat saya 'ya', ia layak dikenang karena telah memberi legacy dan pelajaran berharga bagi kita di zaman kini atau zaman now.
Pada awal saya bergabung ke Kompas, semuanya belum tertulis, tetapi sudah ada di lubuk hati duet PK Ojong dan Jakob Oetama, yaitu suatu shared vision atau visi bersama Kompas Gramedia yang kemudian dijalankan bersama oleh segenap karyawannya. Bagaimana memersepsikan negara kesatuan yang majemuk ini dan apa hakikat fungsi pers yang independen?
Sejak semula mereka berdua sudah menghayati bahwa pergerakan rakyat itulah yang membentuk bangsa Indonesia. Kemudian, bangsa Indonesia yang membentuk negara Indonesia Merdeka, dan selanjutnya Indonesia Merdeka yang membangun dan mengisi masa depannya.
Tak soal apakah terbentuknya bangsa itu lewat persamaan nasib (Ernest Renan) ataupun karena adanya "komunitas terbayang" (imagined communities) yang dikonstruksikan Ben Anderson. Hanya, keduanya telah memahami betapa kebinekaan sebagai takdir yang terberikan (given) itu harus dipertahankan dan dipelihara sebaik-baiknya, bukan saja oleh negara, melainkan juga oleh organ masyarakat.
Konsep pluralisme itu coba dipraktikkan di Kompas Gramedia dengan sebutan "Indonesia Kecil", sebagai bentuk "mini" dari Indonesia Raya. Demikian kita lihat segenap karyawan dari berbagai suku bangsa, ras, dan agama leluasa berkontribusi dan berkompetisi secara terbuka. Dasarnya adalah penerimaan visi-misi perusahaan dan meritokrasi, seberapa jauh kinerja dari masing-masing. Di jajaran Redaksi Kompas dapat dilihat, betapa berbagai suku, ras, dan agama pernah menduduki jabatan pemimpin redaksi.
Yang menarik adalah konsep independensi di harian Kompas. Pada zaman Soekarno, semua koran diwajibkan berafiliasi ke salah satu partai politik. Berhubung Partai Katolik saat itu belum punya koran dan mendapat tawaran dari Menteri/KSAD Jenderal A Yani, pimpinan Partai Katolik (IJ Kasimo dan Frans Seda) tergopoh-gopoh melakukan persiapan. Konon, mereka hampir putus asa, sampai akhirnya bertemu dua profesional, PK Ojong dan Jakob Oetama.
Dua orang ini mau menerima tawaran sebagai penyelenggara, dengan syarat koran harus independen menyuarakan kepentingan umum dan bukan kepentingan golongan. Sekalipun keduanya beragama Katolik, sebagai insan pers profesional, mereka memahami bahwa pers yang eksklusif dan etnosentris tak akan dapat berkembang besar dan sukar diterima masyarakat luas. Frans Seda dan IJ Kasimo yang berwawasan luas ternyata dapat menerima persyaratan tersebut.
Semua itu bagian dari sejarah dan cukup sudah dituturkan. Hanya ke depan, hemat saya, dalam masyarakat Indonesia yang makin terbelah, nilai-nilai kebinekaan dan inklusivisme perlu lebih keras lagi digaungkan ke luar. Siapa tahu virus kebajikan itu punya efek menular (contagious) yang menyebar luas.
Dua orang ini mau menerima tawaran sebagai penyelenggara, dengan syarat koran harus independen menyuarakan kepentingan umum dan bukan kepentingan golongan.
Guru spiritual
Sewaktu bekerja di Kompas, saya melihat PK Ojong itu mempunyai modal sosial yang kuat, dalam arti punya pergaulan luas dengan dasar etik, saling menghormati, saling percaya, tanpa saling memanipulasi. Demikian ia bergaul dengan orang-orang dari kalangan hukum (Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution), para budayawan (Mochtar Lubis, Toeti Heraty, Goenawan Mohamad), dari kalangan kepartaian, PSI (Soedjatmoko, Rosihan Anwar), Partai Katolik (Frans Seda, Harry Tjan), Masyumi (Moh Roem), dan sejumlah "angry young man", seperti Soe Hok Gie, Arief Budiman, dan WS Rendra.
Hanya, bagi saya, yang paling menarik adalah persahabatannya dengan Khoe Woen Sioe, seorang wartawan yang kemudian menjadi direktur (utama) PT Kengpo, suatu grup penerbitan yang berjaya pada periode medio 1940-an sampai awal 60-an. Khoe dapat disebut sebagai guru spiritual dan alter ego PK Ojong. Ini tergambar dari tulisannya yang berjudul "Mengenangkan Khoe Woen Sioe" yang dimuat di harianKompas (5 Juni 1976), satu dasawarsa setelah Khoe meninggal.
Khoe yang berpendidikan AMS jurusan Sastra (setingkat SMA pada masa penjajahan Belanda) adalah seorang yang menyukai sajak-sajak Alfred Lord Tennyson. Akan tetapi, sewaktu bekerja sebagai direktur PT Kengpo, ia juga mampu menguasai segi-segi teknis manajemen penerbitan. Saya melihat PK Ojong yang senang dengan humaniora, sewaktu menjadi pemimpin umum Kompas Gramedia, juga berusaha mengikuti jejak Khoe. Ia berupaya memahami manajemen dan ilmu hitung-hitungan (keuangan, akuntansi). Tujuannya tentu saja agar ada keselarasan dan persamaan referensi dengan manajer bagian keuangan, produksi, dan pemasaran.
Saya melihat PK Ojong yang senang dengan humaniora, sewaktu menjadi pemimpin umum Kompas Gramedia, juga berusaha mengikuti jejak Khoe.
Ini tentu memerlukan perluasan meta program dalam diri seseorang, menyukai yang abstrak, tetapi juga yang konkret; yang umum, tetapi juga yang detail; yang verbal, tetapi juga yang numerikal.
PK Ojong juga tampak mengagumi Khoe yang mengamalkan ajaran Konfusianisme dan sosialisme demokat dalam mengemudikan jalannya perusahaan. Berhubung Khoe itu irit dalam bicara dan lebih suka bekerja saja, ia lebih meninggalkan keteladanan dalam laku ketulusan, kejujuran, kerja keras; lembut, tetapi dapat tegas serta memiliki perhatian besar terhadap kesejahteraan karyawan.
Kelak, dalam risalah "Sifat Perusahaan Kita", yang ditulis PK Ojong sewaktu cuti, setelah mengalami kecelakaan mobil masuk jurang, tampak jejak pengaruh Khoe. Ada tarikan napas kuat paham sosialisme demokrat. Dengan beberapa perbedaan, agaknya ini yang dikembangkan lebih jauh oleh Anthony Giddens dengan "Jalan Ketiga"-nya.
Sekalipun PK Ojong menganggap Khoe sebagai orang besar, ia juga sedih dan kecewa karena, setelah meninggalnya Khoe, penerbitan Kengpo (Kemudian jadi PT Kinta) itu merosot tajam dan bangkrut. Pemegang saham di sana, setelah mangkatnya Khoe, mengangkat dua direktur pengganti, yang menurut pandangan PK Ojong tidak tepat.
PK Ojong juga tampak mengagumi Khoe yang mengamalkan ajaran Konfusianisme dan sosialisme demokat dalam mengemudikan jalannya perusahaan.
Menurut penilaiannya, pemegang saham hanya memperhatikan aspektechnical know how (keterampilan teknis), tetapi kurang memperhatikan syarat watak dan sifat sifat kemanusiaan kandidat. PK Ojong sepertinya ingin memberikan sinyal keras perihal kehancuran Kengpo (PT Kinta) yang dapat ditarik sebagai pelajaran. Dalam pandangannya, pucuk pimpinan itu tampaknya perlu memiliki kombinasi dari dua ciri, yakni kearifan intuitif (intuitive wisdom) dan pengetahuan praktis (practical knowledge).
Saling melengkapi
Ada banyak persamaan di antara duet PK Ojong-Jakob Oetama. Awal mula, profesi mereka adalah guru, sebelum menjadi wartawan dan kemudian karena "panggilan nasib" menjadi direktur utama, orang bisnis. Keduanya tetap sederhana walaupun kelak di kemudian hari menjadi orang sukses. Rendah hati dan kuat dalamart of listening (seni mendengarkan); biar orang lain bicara dulu, setelah diendapkan, baru memberikan tanggapan, itu juga jika diperlukan.
Keduanya juga berpendapat, sekalipun menganut azas pers bebas dan independen, kebebasannya itu harus bertanggung jawab. Critique with understanding, kritik dengan pemahaman, melihat secara komprehensif dulu, jangan main gasak saja. Mentang-mentang.
Mereka juga merupakan bagian dari subkultur yang dalam istilah Michael Porter disebut "kultur produktif". Artinya, keduanya menerapkan kerja keras, jujur, disiplin, senang belajar, dan suka menabung untuk cadangan perusahaan. Di Indonesia kultur produktif belum menjadi kultur bangsa, tetapi masih menjadi subkultur yang dianut sebagian orang. Padahal, bangsa-bangsa yang maju pertumbuhan ekonominya adalah bangsa yang meresapi kultur produktif.
Selain persamaan di antara mereka, sebenarnya ada juga beberapa perbedaan menyangkut keduanya. PK Ojong orangnya lebih keras, prinsipiil, disiplin. Emosinya mudah bangkit, sekalipun pada usia-usia lebih lanjut tampak mulai mengendur. Adapun Jakob Oetama pribadinya tampak lebih halus, ngemong, jawani, dan melihat kebenaran dalam nuansa (fuzzy logic). Mereka ibarat "Yang" dan "Yin" yang dalam falsafah China dianggap satu kontinum, rangkaian kesatuan yang wajar-alami.
Adanya perbedaan macam ini tak perlu menimbulkan dualisme atau konflik, malahan dapat saling melengkapi kekuatan dan kelemahan masing masing jika dikelola secara dinamis-seimbang. Masing-masing dapat memahami dan saling mengerti akan tempat dan fungsinya, yang justru akan memperkuat organisasi. Dan, ini yang terjadi selama duet PK Ojong-Jakob Oetama berlangsung.