Dibandingkan dengan sejumlah virus lainnya, seperti ebola dan HIV (human immunodeficiency virus), SARS-CoV-2 bukan yang paling mematikan. Dia juga bukan virus yang paling mudah menular jika dibandingkan dengan cacar, misalnya. Namun, virus pemicu penyakit Covid-19 sukses menjadi sumber pandemi paling melumpuhkan sejak flu Spanyol melanda dunia pada 1918.
Keberhasilan Covid-19 sebagai sumber utama wabah global ini karena virus ini cerdik memanfaatkan celah kehidupan manusia modern, yang dicirikan dengan tingginya mobilitas dan kepadatan lingkungan urban. Bisa dikatakan, SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) belajar dari kegagalan pendahulunya, virus korona penyebab infeksi pernapasan akut atau SARS, yang berhasil diatasi setelah menginfeksi 8.000 orang dan menewaskan 774 orang pada tahun 2003.
Sekitar 80 persen orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 bergejala ringan, bahkan tidak bergejala, tetapi tetap bisa menulari ke orang lain sehingga membuat virus ini bisa menyebar luas secara diam-diam. Ini berbeda, misalnya, dengan virus SARS, yang menularkan setelah penderitanya sakit parah sehingga bisa dipatahkan dengan mengisolasi yang bergejala.
Karena gejalanya ringan dan kadang tersamarkan dalam beragam bentuk, mereka yang terinfeksi SARS-CoV-2 masih terus bergerak tanpa menyadarinya. Sementara sifatnya yang asimtomatis atau tidak bergejala membuat virus ini mudah melalui deteksi suhu di bandar udara di berbagai negara untuk kemudian menyebarkan wabah Covid-19. Selain itu, virus ini lebih sulit dideteksi, sejauh ini yang dianggap paling efektif hanya dengan analisis sampelswab memakai reaksi rantai polimerase atau polymerase chain reaction (PCR).
Gejala yang ringan, selain tingkat kematiannya yang relatif rendah, membuat SARS-CoV-2 awalnya diremehkan banyak otoritas negara, seperti Amerika Serikat, Italia, termasuk Indonesia. Hampir semua negara yang kini terpukul hebat wabah Covid-19 ini di awal meremehkan dan terlambat mengantisipasi masuknya wabah.
Padahal, begitu menemukan target yang cocok, yaitu lingkungan dengan tingkat kepadatan dan mobilitas tinggi, virus ini bisa berbiak secara eksponensial dan menjadi monster mematikan karena dapat melumpuhkan sistem layanan kesehatan. Apalagi, belakangan makin banyak temuan bahwa virus ini lebih mematikan dari yang diperkirakan semula. Selain mengacaukan sistem imun, SARS-CoV-2 juga dapat menimbulkan kerusakan permanen pada paru-paru.
Sebagian besar lonjakan kasus ini berawal di kota-kota besar dunia, baru kemudian menginfeksi ke kawasan perdesaan hingga ke pedalaman. Jika saja karantina cepat dilakukan di urban yang menjadi pintu masuk dan episenter awal, wabah ini seharusnya tidak akan menyebar ke pedalaman.
Virus dalam kehidupan urban
Jelas bahwa virus ini memiliki kecanggihan untuk beradaptasi dengan kehidupan urban modern. Maka, upaya untuk mengerem laju penularannya pun merupakan antitesis dari kehidupan modern, yaitu dengan melakukan pembatasan jarak sosial dan mengurangi mobilitas.
Untuk pertama kali dalam sejarah modern, manusia secara kompak mengisolasi diri dan bekerja di rumah. Kota-kota yang semula riuh dengan kehidupan sosial dan ekonomi dipaksa berhenti. Sekolah, restoran, mal, hingga konser musik ditutup. Jika terpaksa keluar, orang diminta menjaga jarak.
Covid-19 seperti memutar mundur kehidupan modern, saat manusia masih hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang saling menjaga jarak. Orang Rimba di pedalaman Jambi, misalnya, secara tradisional mengenal konsep besesandingon. Mereka yang sakit akan dikarantina di pondok terpisah di tengah hutan, dan jalan menuju lokasi mereka akan diberi penanda ranting berduri agar orang lain tidak datang.
Demikian halnya komunitas Punan Batu, pemburu peramu yang hidup dalam komunitas kecil dan terpisah-pisah di pedalaman Kalimantan Utara. Anggota kelompok yang sakit akan segera mengurung diri di goa dan jalan menuju tempat karantina akan diberi penanda dari ranting dan bebatuan agar tidak ada orang lain yang mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar