Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 01 Mei 2020

EPILOG: Terjebak dalam Tubuh yang Asing (PUTU FAJAR ARCANA)


Putu Fajar Arcana, Wartawan Senior Kompas

Hari-hari Senin terjaring bersama hari-hari Selasa

Minggu terjaring bersama tahun

Waktu tak bisa kau penggal dengan guntingmu yang tumpul

dan segala nama hari dibasuh embun waktu malam

Tak ada seorang pun dapat menuntut nama Pedro,

tak ada yang jadi Rosa atau Maria

Semua kita hanya debu atau pasir

Semua kita hanya hujan dibasuh hujan

Penggalan puisi karya pemenang Hadiah Nobel Pablo Neruda berjudul "Terlalu Banyak Nama-nama" ini mengingatkan saya kepada Adi Murdani dan Teddy Herianto, dua warga negara Indonesia yang terjebak di kota Kathmandu, Nepal. Keduanya tiba di Nepal untuk melakukan pendakian ke puncak Thourang la Pass melalui jalur trek Annapurna Circuit. Ketika berangkat dari Tanah Air, Presiden Joko Widodo sepekan sebelumnya telah mengumumkan kasus positif Covid-19 yang pertama.

"Waktu saya berangkat ke Nepal masih aman. Jadi saya teruskan rencana pendakian ke Annapurna," kata Adi ketika saya hubungi, Jumat (24/4/2020), dari Jakarta. Sampai hari ini, keduanya menginap dan terjebak di Hotel Yala Peak, Kathmandu, selama 40 hari dengan sewa Rp 120.000-Rp 150.000 per hari.

Ketika melakukan percakapan lewat Instagram (IG Live), wajah Adi tampak letih. Pemuda asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini seperti memendam kerinduan yang dalam pada kampung halaman. Kesulitan pertama-tamanya, bukan menghadapi razia polisi yang bisa dilakukan setiap saat di Kathmandu, melainkan mengatasi rasa "keterbuangan" di negeri asing. Apalagi, kata Adi, Teddy telah memiliki keluarga di Banjarbaru, Kalsel. "Kasihan Pak Teddy, dia sudah berkeluarga. Sekarang kami terjebak bersama karena Kathmandu lockdownsejak 24 Maret sampai hari ini masih…," kata Adi.

Lebih celaka lagi, Adi dan Teddy tidak tahu sampai kapan kondisi keterjebakan ini akan berakhir. Hari-hari seperti berjalan lamban, bahkan terseok-seok di tikungan penuh kerikil tajam. Keduanya hanya bisa menunggu setelah berbagai usaha untuk pulang tak memberi hasil. "Setahu saya ada 18 orang Indonesia di Kathmandu yang terjebak seperti saya," kata Adi.

ARSIP ADI MURDANI

Teddy Herianto (paling kanan) dan Adi Murdani (nomor dua dari kanan) bersama dengan pemilik dan staf Hotel Yala Peak Kathmandu, Nepal. Kedua WNI asal Kalimantan Selatan ini terjebak pemberlakuan lockdown di Nepal dan sampai kini masih menunggu evakuasi pemerintah. Keduanya juga sudah menghuni hotel selama 40 hari.

Dua nama besar dalam perfilman Hollywood, Steven Spielberg dan Tom Hanks, pernah memopulerkan film The Terminal tahun 2004. Tentu saja popularitas itu bukan hanya karena dua pesohor ini dan pendapatannya yang mencapai 218.686.156 dollar AS, tetapi lebih-lebih karena kisah drama di dalamnya.

Viktor Navorski (Tom Hanks) berasal dari negara Krakozhia yang ingin datang ke New York untuk mendapatkan autografi (tanda tangan) dari pemain saksofon tenor jazz Benny Golson. Ayah Viktor telah meninggal dan telah mengumpulkan 57 autografi dari 58 pemain jazz idolanya. Dengan segala daya upaya, Viktor berharap bisa bertemu Golson dan memenuhi keinginan ayahnya yang telah dilakukan selama 40 tahun.

Kenyataan berkata lain. Ketika dalam penerbangan menuju New York, di negaranya terjadi revolusi. Pemerintah yang sah menurut konstitusi digulingkan oleh para pemberontak. Saat tiba di Bandara John F Kennedy (JFK), otoritas setempat menolak paspornya. Viktor bahkan dinyatakan tidak memiliki kewarganegaraan. Ia tidak bisa memasuki Amerika sekaligus tidak bisa kembali ke negaranya Krakozhia. Ia terjebak di Bandara JFK selama sembilan bulan dan hanya hidup dari "penyewaan" troli (kereta dorong) di bandara.

Ilustrasi dalam film ini barangkali tepat untuk menggambarkan banyak orang yang terjebak di kota-kota asing, dalam ruang-ruang isolasi, dan bahkan "tak berdaya" hidup di rumah sendiri. Saya juga mendengar kabar dari Nengah Swatika, seorang pekerja migran Indonesia (PMI) yang terjebak di kapal pesiar Carnival Splendor. Ia bersama ratusan PMI lainnya tak kunjung bisa merapat di salah satu pelabuhan di negaranya sendiri. Kapten kapalnya, kata Swatika, dilarang merapatkan kapal di daratan Bali dengan maksud memulangkan dirinya ke tanah kelahirannya.

"Kami dalam perjalanan menuju Tanjung Priok," kata Swatika, Minggu (25/4/2020), sembari mengabarkan Carnival Splendor sedang berlayar di perairan sekitar Yogyakarta. Menurut jadwal, kapal mewah ini akan merapat di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (28/4/2020) pukul 07.00 WIB. Sementara kita sudah tahu, seluruh wilayah Jabodetabek telah ditutup dari segala akses transportasi sejak Jumat (24/4/2020). "Mungkin akan ada pengecualian," kata Swatika berharap.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pintu masuk penumpang tampak sepi di Terminal Penumpang Nusantara Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (24/4/2020). Sesuai ketentuan larangan mudik oleh pemerintah, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau PT Pelni meniadakan angkutan penumpang mulai 24 April hingga 8 Juni 2020.

Film selalu memiliki alur drama yang fiksi, tetapi jangan keliru, alur fiksi terkadang memberi inspirasi. Ketika berangsur perdamaian tercapai di negaranya, Viktor diizinkan memasuki Amerika dan kemudian mendapatkan autografi dari Benny Golson. Ia bahkan pulang ke negaranya dengan hati tenang karena memenuhi keinginan ayahnya yang telah tiada.

Bagaimana nasib Adi, Teddy, Swatika, dan ratusan PMI yang kini terjebak di kota-kota dan wilayah asing? Siapa yang berhak menentukan nasib mereka kelak? Pertanyaan eksistensial yang sering kali mengganggu selama hampir dua bulan berada di rumah, kapan kita akan memperoleh kembali kemerdekaan kita sebagai manusia berdaulat?

Ketika kita terjebak di rumah masing-masing, puisi Neruda terus-menerus menggema dalam cangkang kepala saya. //Hari-hari Senin terjaring bersama hari-hari Selasa/Minggu terjaring bersama tahun/Waktu tak bisa kau penggal dengan guntingmu yang tumpul…//

Baris-baris puisi ini seolah makin menegaskan absurditas hidup sebagaimana dikemukakan oleh eksistensialis Albert Camus. Manusia hampir selalu tidak mampu memahami makna tujuan dari hidupnya sendiri. Ia terbentur hal-hal absurd dan irasional. Keindahan yang ia reguk dari kekayaan semesta, hanya bersifat sementara sebelum penderitaan mengharubirunya.

AFP/PRAKASH MATHEMA

Suasana jalanan yang sepi di Kathmandu setelah kebijakan lockdown diterapkan Pemerintah Nepal untuk mencegah penyebaran Covid-19, 16 April 2020.

Ketika pandemi Covid-19 mengoyak-ngoyak seluruh tatanan semesta, hari-hari yang kita jalani begitu penuh penderitaan; tubuh kita terkurung dalam raga yang asing. Sebagai pendaki, Adi dan Teddy tak lagi mengenal tubuhnya yang merdeka. Ia tersekap dalam raganya sendiri, yang kian hari kian asing.

Begitulah pula hari-hari yang kita jalani belakangan ini. Hari Senin yang kita bayangkan penuh kemeriahan dan segala centang perenang kesibukan bekerja di awal minggu, harus terjaring bersama Selasa yang belum tentu menjanjikan apa-apa. Minggu bahkan terjaring bersama tahun-tahun yang tak pasti kapan akan kita peringati sebagai tahun baru.

Hidup seakan berlalu begitu saja dan tak bisa kau putus dengan guntingmu yang kian hari kian tumpul. Mitologi tentang Durga barangkali hanya satu cara manusia coba menawarkan alternatif jalan keluar. Sebagai Dewi Uma, seperti dalam novel Gandamayuyang saya tulis tahun 2011, Durga terjebak dalam tubuhnya yang asing; menyeramkan, rakus, dan dilumuri kenistaan.

Konon itulah hukuman akibat ketidaksetiaannya kepada Siwa, suaminya. Ia hanya akan kembali ke wujudnya sebagai Dewi Uma, setelah diruwat oleh Sahadewa, bungsu dalam keluarga Pandawa.

Sudah pasti kisah ini sangat patriarkis. Bukan soal itu yang jadi persoalan benar di masa kini, melainkan keterjebakan di dalam tubuh sendiri telah membuat roh menderita. Ia ibarat sedang menjalani hukuman yang tak jelas batas waktunya. Camus menerangkan bencana yang setiap saat mengintai kehidupan manusia juga sesuatu yang absurd, karena tidak bisa dijelaskan dengan dalil-dalil apa pun.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Antrean panjang kendaraan terjadi di titik pemeriksaan Bundaran Waru dilihat dari udara pada hari pertama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (28/4/2020).

Satu hal yang ia sarankan, penderitaan hanya bisa dilalui dengan cara berperang terhadapnya. Durga menjadi contoh yang amat menarik. Ia menculik Sahadewa di tengah kecamuk perang Barathayuda. Penculikan itu dilakukan dengan memasuki tubuh Kunti sebagai roh. Secara membabi buta, Kunti kemudian menyeret Sahadewa menuju Setra Gandamayu, sebuah kuburan paling angker di bumi.

Bahkan ketika Sahadewa menyatakan tak memiliki kemampuan mengembalikan Durga menjadi Uma, Durga hampir-hampir saja menelannya hidup-hidup. Pemberontakan Durga bukan untuk mengantarkan kematian Sahadewa, melainkan melawan kekuasaan patriarkis yang telah mengutuknya menjadi perempuan hina dina.

Realitas absurd yang pelan-pelan mendegradasi rasa kemanusiaan kita menjadi "durga" barangkali hanya bisa dilawan dengan "pemberontakan" dari dalam diri. Keasingan kita terhadap diri sendiri harus berganti menjadi keakraban yang kita ciptakan dengan cara masing-masing.

Adi dan Teddy mengisi hari dalam penantian evakuasi dari negaranya sendiri dengan turut memasak di hotel. Lalu Viktor berkreativitas melakukan "persewaan" troli dan berteman dengan seorang pramugari cantik bernama  Amelia Warren (Catherine Zeta-Jones), yang kemudian memberinya bantuan. Lalu, kita semua berkreativitas di rumah masing-masing dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan untuk membunuh "rasa keterpenjaraan".

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Penjahit rumahan sedang menjahit masker di Kelurahan Pesurungan Kidul, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (11/4/2020). Pekerjaan-pekerjaan seperti ini bisa dilakukan untuk membunuh kebosanan selama menjalani karantina di rumah.

Selain melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti menyapu, mengepel, menyetrika, dan memasak, saya juga mencoba petualangan virtual dengan berbagi kemampuan menulis kreatif. Bukankah berbagi itu juga semacam "pemberontakan" kecil yang kita mulai dari rumah sendiri untuk menghadapi pandemi?

Saya yakin, Anda semua juga memiliki potensi kreativitas yang bisa dieksplorasi dari rumah masing-masing. Sesungguhnya, itulah satu-satunya cara untuk melewati hari-hari yang mulai terasa monoton. Bukankah itu juga termasuk "pemberontakan" kecil untuk menghadapi keganasan virus korona?

Tetaplah di rumah dan lawan keterasingan dengan kreativitas. Niscaya jemu segera berubah menjadi menu-menu masakan yang penuh daya gugah dan menantang selera makan. Selamat menunaikan ibadah puasa di rumah masing-masing. Marhaban Ya Ramadhan

Kompas, 29 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger