Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 23/2020 mengenai Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Anggaran sebesar Rp 641,17 triliun dialokasikan pemerintah untuk program ini, antara lain meliputi subsidi bunga untukusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) , insentif perpajakan, penjaminan kredit, penyertaan modal negara pada BUMN, serta penempatan dana pemerintah untuk restrukturisasi dan kredit modal kerja UMKM.
Dalam pemulihan ekonomi ini, peran perbankan sebagai lembaga intermediasi sangat diandalkan pemerintah untuk membangkitkan kembali sektor rill yang terpuruk akibat pandemi.
Melalui perbankan, pemerintah akan menggelontorkan dana sekitar Rp 87,59 triliun untuk disalurkan sebagai kredit modal kerja baru kepada UMKM yang akan memulihkan usahanya. Tanpa dana pemerintah ini, bank tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk menyalurkan kredit.
Ini karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi kepada UMKM dengan pinjaman di bawah Rp 10 miliar yang terdampak pandemi Covid-19. Relaksasi itu berupa penundaan pembayaran cicilan kredit maksimal selama setahun.
Karena debitor menunda pembayaran, maka konsekuensinya perbankan tidak mendapatkan likuiditas dari pengembalian kredit. Ketiadaan likuiditas ini pada gilirannya membuat bank tidak bisa menyalurkan kredit.
Berdasarkan skema penempatan dana yang diatur dalam PP 23/2020, dana pemerintah akan ditempatkan sebagai giro pada bank kategori sehat yang masuk dalam daftar 15 bank terbesar namun bukan milik asing. Bank-bank ini disebut sebagai bank peserta atau bank jangkar (anchor bank). Bank-bank besar yang masuk kriteria antara lain BRI, Mandiri, BCA, BNI, dan BTN.
Jasa giro dari penempatan dana pemerintah tentu sangat murah dan jauh di bawah bunga pasar agar kredit yang disalurkan bank juga berbunga rendah dan tidak memberatkan sektor riil.
Bank-bank jangkar akan menggunakan dana pemerintah tersebut untuk dirinya sendiri dan juga menyalurkannya sebagai pinjaman kepada bank-bank kecil yang melakukan relaksasi dan restrukturisasi kredit, yang disebut sebagai bank pelaksana. Besarnya dana yang diterima bank pelaksana tergantung assesmen bank jangkar terhadap nilai agunan yang dijaminkan bank pelaksana. Agunan yang akan digunakan dalam skema ini adalah aset kredit lancar yang dimiliki bank pelaksana.
OJK memperkirakan, 102 bank memiliki potensi melaksanakan restrukturisasi dengan potensi debitur 7,8 juta dan outstanding kredit Rp 1.114,5 triliun.
Selain memulihkan sektor riil, penyaluran dana dengan skema bank jangkar sebenarnya dapat dijadikan momentum untuk mendorong konsolidasi perbankan. Dengan skema bank jangkar, bank-bank besar akan menjadi penyedia likuiditas bagi bank-bank kecil sehingga bank-bank besar ibarat menjadi induk bagi bank-bank kecil.
Dengan kewenangan untuk melakukan assesmen terhadap kualitas aset bank-bank pelaksana, bank-bank jangkar akan memiliki konfident untuk membantu likuiditas dan perkembangan bank-bank kecil.
Jika hubungan bank jangkar dan bank pelaksana semakin baik dan saling menguntungkan, OJK bisa mendorong mereka berkonsolidasi dengan membentuk kelompok usaha bank (KUB) yang terdiri dari bank induk dan beberapa bank anak. KUB merupakan bentuk konsolidasi yang relatif mudah dilakukan ketimbang peleburan atau merger.
Timpang
Konsolidasi juga diperlukan untuk mengantisipasi makin memburuknya kondisi bank-bank kecil akibat pandemi yang belum bisa diperkirakan kapan akan berakhir.
Jika pandemi berkepanjangan, maka bank-bank pelaksana akan kembali kesulitan likuiditas sehingga tak bisa membayar pinjamannya kepada bank jangkar. Dampaknya, jaminan berupa aset kredit akan berpindah dari bank-bank pelaksana ke bank jangkar.
Di sisi lain, pada saat krisis, pemegang dana biasanya cenderung menaruh dananya di tempat yang aman (flight to quality). Ini artinya, dana masyarakat selama pandemi ini kemungkinan akan banyak mengalir ke bank-bank besar, yang notabene merupakan bank-bank jangkar.
Pada saat krisis, pemegang dana biasanya cenderung menaruh dananya di tempat yang aman (flight to quality).
Kondisi ini pada akhirnya akan menyebabkan size bank-bank besar semakin meningkat dan sebaliknya, ukuran bank-bank kecil akan semakin menyusut.
Pada masa normal saja, akibat persaingan yang tak seimbang, struktur perbankan sudah cenderung semakin timpang dari waktu ke waktu. Enam bank terbesar yang masuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau memiliki modal inti di atas Rp 30 triliun cenderung makin dominan.
Indikasinya, pangsa aset 6 bank tersebut terhadap total aset 110 bank yang ada di Tanah Air meningkat dari 52,5 persen pada maret 2019 menjadi 53,7 persen pada Februari 2020. Begitu pula pangsa dana dan kreditnya. 6 bank terbesar adalah BRI, Mandiri, BCA, BNI, BTN, dan CIMB Niaga.
Pada masa krisis seperti saat ini, laju dominasi bank BUKU 4 tentu akan semakin cepat sehingga membuat struktur perbankan akan semakin timpang dan tidak sehat.
Karena itulah, OJK harus makin intensif mendorong konsolidasi perbankan. Krisis akan membuat semakin banyak bank yang ukurannya menyusut sehingga makin tidak efisien. Semakin kecil ukuran bank, maka semakin sulit bagi bank bersangkutan untuk bersaing dan tumbuh. Semakin banyak jumlah bank kecil yang sekadar bertahan hidup akan membuat struktur perbankan nasional menjadi tidak sehat, di samping menyulitkan pengawasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar