Tak tanggung-tanggung, 20 pria bersenjata pedang katana merampok isi rumah mewah H Udin, bos Aneka Sandang, yang berlokasi di sebelah lapangan bola Pangkalan, Ciawigebang, Kuningan, Jawa Barat, Minggu (17/5/2020) pukul 02.00 dini hari.
Ada dugaan, para pelakunya adalah orang dekat H Udin dan keluarganya. Dugaan itu muncul karena mereka masuk lewat titik yang paling tidak terjaga di rumah sang pengusaha tersebut, yaitu dari tembok benteng belakang. Dari sana mereka masuk lantai dua dan menyekap enam penghuni rumah.
Para pelaku pun sudah tahu kapan jadwal jalan raya ditutup, dijaga, dan kapan dibuka. Tutup-buka Jalan Raya Pangkalan berlangsung sejak tiga pekan terakhir sebagai bagian darilockdown untuk mencegah penyebaran Covid-19. Jalan dibuka pukul 01.00, sementara perampokan berlangsung pukul 02.00 dini hari.
Belum diketahui berapa jumlah harta yang mereka rampok. Namun, pada perampokan pertama di tempat yang sama pada 2011, dua pelaku berhasil menggasak uang tunai Rp 700 juta dan perhiasan emas seberat 400 gram. Hal ini menunjukkan, H Udin dan keluarganya lebih suka menyimpan uang dan hartanya "di bawah bantal" daripada di bank.
"Ada dua kemungkinan mengapa H Udin lebih suka menyimpan uang dan hartanya 'di bawah bantal'. Kemungkinan pertama, ciri orang desa yang tidak mau repot dengan bank atau kemungkinan kedua, menolak riba," tutur kriminolog Univeristas Indonesia, Kisnu Widagso, Minggu (17/5/2020).
Meskipun sudah tersedia fasilitasmobile banking dan kartu anjungan tunai mandiri (ATM), sampai sekarang orang-orang desa, termasuk para perantaunya, lebih suka membawa atau menyimpan uang tunai, terutama menjelang Lebaran.
Peredaran uang tunai yang melambung di seputar Lebaran yang dibidik para perampok. Uang tunai untuk berbelanja Lebaran, untuk membayar THR karyawan, pembantu rumah tangga, para pekerja bangunan, dan tentu saja untuk dibagikan kepada para keponakan dan orang tua.
Tidak heran jika menjelang Lebaran, para perampok akan lebih serius mengintai dan lebih nekat beraksi. Mereka tidak lagi asal memilih target, tetapi mengintai, menggambar situasi, bahkan mengerahkan lebih banyak kawanannya. Itulah yang terjadi pada kasus H Udin, salah satu orang terkaya di Kuningan.
Yang merisaukan pada kasus ini, kata Guru Besar Kriminologi UI Prof Mustofa, adalah pengerahan banyak anggota. "Bayangkan, ada pengerahan sampai 20 perampok di satu kota kecil. Kasus-kasus perampokan di kota besar pun, sepengamatan saya, tak sampai mengerahkan orang sebanyak itu," paparnya.
Ia khawatir kasus ini menjadi indikasi premanisme atau vigilantisme atau laskarisme. "Mereka seperti gerombolan bersenjata tahun 1950-an sampai 1960-an," ujar Mustofa.
Guru Besar Kriminologi UI lainnya, Adrianus Meliala, menduga, kasus ini bukan cuma bermotif ekonomi, melainkan juga diwarnai balas dendam dan persaingan kelompok perampok.
Meliala ataupun Mustofa mengimbau Kepolisian Resor Kuningan bertindak cepat, sementara Kepolisian Daerah Jawa Barat mengawasi kinerja polres-polres di lingkunganya. "Korban pun perlu bekerja sama secara terbuka dengan polisi," ucap Meliala.
Buat pemetaan
Kisnu sepakat, "Polres harus segera mengambil alih kasus ini. Polsek belum bisa diharapkan karena para tersangkanya saya duga bukan hanya berasal dari lingkungan itu jika membaca jumlah perampok yang terlibat."
Meliala meminta polisi membuat pemetaan wilayah, lalu membuat analisis kerawanan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). "Dipetakan mana faktor korelatif kriminogenik, mana yang police hazard, dan mana ancaman faktualnya. Lakukan perkuatan di ketiga hal tadi, sesuai levelnya," ucap Meliala.
Ketiga pakar kriminologi tersebut mengingatkan, bukan tidak mungkin kasus H Udin menjadi copycat (ditiru) para pelaku kriminal lainnya. Maklum, kasus ini terjadi di tengah meluasnya pengangguran, merosotnya pendapatan masyarakat di masa pandemi Covid 19, dan godaan melimpahnya uang beredar semasa Lebaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar