Penyair Joko Pinurbo selalu punya tabungan kata. Kata-kata yang ia pungut dari taman bahasa atau bisa jadi pula dikirimkan penyair Sapardi Djoko Damono, ia tabung dalam sebuah buku.
Buku tabungan kata itu, katanya, setiap saat siap ia cairkan menjadi beberapa puisi. Hanya dengan cara itulah penyair mendapatkan harta karun yang paling berharga bagi dirinya, yang kelak meneguhkan eksistensinya sebagai seorang penyair.
Dalam sebuah puisi Sapardi bilang begini://kukirim padamu beberapa patah kata/yang sudah langka/jika suatu hari nanti mereka mencapaimu/rahasiakan, sia-sia saja memahamiku//ruangan yang ada pada sepatah kata/ternyata mirip dengan rumah kita/ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana/hanya saja kita diharamkan menafsirkannya// (Sajak-sajak Empat Seuntai)
Penggalan dua bait sajak itu membuat kita membayangkan sebuah rumah. Di dalamnya terdapat meja makan dengan beraneka menu makanan, sampai-sampai meja itu penuh. Bahkan makanan-makanan itu terdiri dari beberapa porsi. Kalau kau menyantap semuanya, mungkin perutmu akan kekenyangan, sehingga sulit memiliki pikiran dan hati yang jernih. Saran Jokpin, demikian Joko Pinurbo disapa, santaplah seporsi saja. Secukupnya. Tak perlu serakah ingin memasukkan semuanya ke dalam mulutmu.
"Dengan begitu sajakmu tidak terlalu sesak dengan hal-hal yang tidak perlu. Jadikan beberapa sajak bila perlu," katanya kepada para penyair muda dalam kelas puisi daring bertajuk #LabPuisi, Sabtu (16/5/2020).
Puisi yang terlalu sesak, akan sulit dimengerti dan bahkan gagal menjalin komunikasi dengan publik. Puisi semacam itu akan sia-sia ditulis penyair. Ia tidak mampu menyodorkan sensasi keindahan, apalagi memproduksi pengetahuan baru. Banyak penyair gagal memadukan kata demi kata, karena keinginan untuk menyampaikan segala isi kepala dalam waktu yang bersamaan. Kita kutip puisi Wiji Thukul berjudul "Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa" berikut ini.
//…Puisiku bukan puisi/tapi kata-kata gelap/yang berkeringat dan berdesaka/mencari jalan/Ia tak mati-mati/meski bola mataku diganti/Ia tak mati-mati/meski bercerai dengan rumah/ditusuk-tusuk sepi/Ia tak mati-mati/Telah kubayar yang ia minta/Umur, tenaga, luka/Kata-kata itu selalu menagih/Padaku ia selalu berkata/Kau masih hidup…//
Beban yang ditanggung Thukul dengan kata-kata yang selalu berdesakan dan berkeringat sungguhlah berat. Meski bola matanya diganti dan mengembara meninggalkan rumah sejauh-jauhnya, kata-kata tak juga mati. Ketika akhirnya segala tenaga, luka, dan usia sebagai gantinya, toh kata-kata tetap menagih mencari jalan.
Seorang penyair, selain menjadi penabung yang piawai seperti Jokpin, ia juga seorang penyaji yang cerdas dan cermat. Setiap kali kata memintanya untuk dituliskan, maka ia harus berani memberinya nasihat secara bijak, bahwa ada saatnya sebuah kata harus antre sebelum akhirnya mendapatkan giliran berumah di baris-baris sajak. Kata-kata yang berhak menjadi bagian dari sebuah sajak adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu agar sebuah sajak menjadi bangunan yang utuh, spesifik, dan fokus sebagai sebuah rumah.
Di luar soal itu, kata-kata yang terpilih mesti memiliki kekuatan untuk bekerja sama dengan kata-kata di sebelahnya untuk menciptakan sebuah harmoni. Kau juga mesti mempertimbangkan, harmoni tak hanya soal bunyi, tetapi lebih-lebih adalah keselarasan kerja sama untuk mendukung sebuah makna. Hanya dengan cara demikian, akan tercipta sebuah bangunan sajak yang sederhana, karena ia fokus mengatakan satu hal kepada hatimu.
Pertama-tama sebuah sajak bukan soal penalaran. Demikian juga ketika ia diciptakan oleh seorang penyair. Kata-kata pertama selalu meluncur dari kedalaman sebuah proses kontemplasi yang instingtif. Ia bukan hasil kajian kerja otak apalagi pekerjaan teknis yang kadang menjelimet. Kata dari hasil proses kontemplasi itulah yang biasanya disebut sebagai inspirasi, kata-kata murni hasil proses penyulingan hati. Memang harus diakui, proses kerja teknis seperti mencatat di sini menjadi bagian yang juga amat menetukan.
Sekali saja kau tidak mencatatnya, maka kata-kata hasil proses penyulingan yang panjang itu, akan sirna. Kau harus bisa menangkapgolden time itu dan senantiasa berjaga di garis batas pernyataan dan impian, seperti disebut oleh penyair Chairil Anwar.
Sebagai penikmat, ketika kau berhasil menyadari bahwa sebuah sajak tak harus dimengerti, maka bersiaplah pada proses kerja kedua, yakni menggunakan sedikit kerja penalaranmu. Coba kau mulai melakukan analisis kecil-kecilan, mengapa Jokpin menulis seri sajak tentang biskuit Khong Guan.
Ambillah satu serinya yang berjudul "Ayah Khong Guan". Jokpin menulis://Ayah sedang/khusyuk menikmati/remah-remah/sisa kenangan/dalam kaleng/Khong Guan/ketika rumahnya/yang sunyi/disambangi petugas/"Selamat malam/Apakah kondisi/kejiwaan Anda/aman terkendali?"/Ayah menjawab/"Maaf saya/sedang/berbahagia/Negara/ dilarang/masuk/ke dalam hati saya"//.
Ketika Jokpin menggunakan kata "ayah" untuk mendukung tema besarnya mengeksplorasi tentang kaleng biskuit Khong Guan, kau boleh bertanya-tanya tentang gambar di kaleng biskuit yang mulai diproduksi tahun 1947 di Singapura itu. Sosok ayah tak pernah muncul pada gambar kaleng. Ia menjadi sosok yang misterius, karena tidak menemani ibu dan dua anaknya yang sedang menyeruput teh dan biskuit di meja makan. Mungkin itu waktunya di sore hari. Kemana ayah? Jawaban logisnya, ayah sedang memotret ibu dan anak yang berbahagia di sore yang hangat itu.
Sebagai seorang penyair, Jokpin merentangkan imajinasinya sejauh-jauh yang bisa ia tempuh. Ayah kini sendirian di sebuah rumah yang sepi. Ia terlihat begitu khusyuk menikmati remah-remah sisa kenangan dalam kaleng Khong Guan. Bahkan ketika seorang petugas bertanya tentang kondisi kejiwaannya, ayah menolak negara memasuki hatinya yang sedang berbahagia.
Dengan analisis kecil kerja penalaran ini, kau bisa menikmati jejak-jejak kebahagiaan yang disodorkan kaleng bekas biskuit. Bahkan ketika sendirian, kau pun bisa mereguk sisa kenangan dengan rasa bahagia, walau sudah berupa remah-remah. Bukankah hasil kerja penalaran itu kemudian memunculkan sensasi keindahan yang meluncur dari sebuah kaleng bekas biskuit?
Begitulah cara kerja sebuah sajak. Kau dituntut untuk menggunakan seluruh daya penginderaanmu, mengupas lapisan-lapisan makna yang dituliskan seorang penyair, sebelum akhirnya berhasil menikmati inti buah manisnya. Sebuah sajak tidak pernah mendatangimu dalam keadaan telanjang bulat. Ia senantiasa mengenakan pakaian berlapis-lapis sebagai bagian dari kerja artistik.
Apa yang kau reguk hari ini sebagai seporsi kata di meja makan, sudah pasti bukan sesuatu yang sia-sia. Seporsi kata itu akan menuntunmu mencapai narasi besar yang ada di balik semuanya. Jangan terkecoh karena bentuknya yang sederhana. Justru kesederhanaan itu akan menantangmu menelusur sebuah jalan pikiran seorang penyair.
Sebuah kaleng Khong Guan, tak pernah seremeh yang kau bayangkan. Di balik itu semua terdapat perjuangan hidup keluarga Chew Choo Keng dan Chew Choo Han, dua imigran asal Fuanjin, China. Keng dan Han merantau ke Singapura untuk menghidupi keluarga mereka dengan bekerja di sebuah pabrik biskuit di Singapura.
Ketika Jepang menginvasi Singapura, Keng dan Han mengungsi ke Perak, Malaysia. Dalam pengungsian mereka mencoba membuat biskuit sampai persediaan terigu dan gulanya habis. Ketika kembali ke Singapura, Keng dan Han mendapati mesin pabrik biskuit di mana mereka bekerja telah menjadi puing. Dengan semangat untuk menopang hidup keluarga di kampung halaman, tahun 1947, Keng dan Han memproduksi biskuit sendri dengan merek Khong Guan. Tahun 1971, biskuit merek ini kemudian diproduksi di Indonesia.
Sebagai seorang penyair, Jokpin tentu membaca kisah Keng dan Han, yang penuh dengan lika-liku perjuangan sebelum akhirya biskuit yang mereka produksi menjelajah sampai 40 negara di dunia. Narasi yang begitu besar dan rumit ini, kemudian disajikan dalam beberapa seri sajak yang teramat sederhana, dan kita berulang tersentak merasakan tonjokan kata-kata yang membalut makna sajaknya.
Makanlah secukupnya, sesuai dengan kebutuhan tubuhmu. Jangan memelihara sifat loba atau serakah, karena inilah sumber bencanamu.
Jadi, kau cukup menyantap seporsi saja dari hamparan menu kata-kata yang tersaji di meja makanmu. Selebihnya, silakan simpan menjadi tabungan yang sewaktu-waktu bisa kau cairkan bilamana keadaan membutuhkan. Selalu akan ada masa-masa krisis yang menyertai perjalanan hidupmu sebagai seorang penyair. Ketika krisis itu mencapai puncaknya, hanya penyair yang punya buku tabungan dengan nilai tabungan yang tinggi yang bisa tetap produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar