Enam bulan sejak dideteksi pertama kali di Wuhan, China, virus SARS-CoV-2 menyebar secara cepat. Nyaris tak ada bagian dunia yang terlewat. Saat ini, tercatat sedikitnya 3,4 juta kasus positif Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru tahun 2019.
Dibandingkan epidemi sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang berlangsung pada tahun 2002-2004 dengan hanya sekitar 8.000 kasus positif, atau sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang dimulai pada 2012 dan berlangsung hingga kini dengan sekitar 2.500 kasus positif, Covid-19 yang menyebabkan lebih dari 240.000 kematian sungguh luar biasa.
Tim gabungan dari Irak, Pakistan, dan Turki yang meneliti informasi virus korona baru dari berbagai negara yang disimpan di GenBank, National Microbiology Data Center (NMDC), serta National Genomics Data Center (NGDC) Genome Warehouse, China, sejak Desember 2019 hingga 5 April 2020, mendapatkan 116 mutasi SARS-CoV-2.
Mutasi ini diduga mempengaruhi tingkat keparahan penyakit dan penyebaran virus. Karena itu, perjuangan melawan Covid-19 diperkirakan akan berlangsung lama sampai bisa didapatkan vaksin atau terapi yang efektif.
Sebelum ada vaksin dan terapi ampuh untuk mengatasi virus yang menular lewat percikan bersin dan batuk ini, mau tidak mau manusia harus membatasi jarak dengan manusia lain. Tak hanya itu, sejumlah negara dan wilayah harus menerapkan pembatasan sosial berskala besar bahkan penguncian. Hal itu menyebabkan perekonomian nyaris lumpuh.
Untuk itu, para ilmuwan di seluruh dunia berlomba mengembangkan lebih dari 160 kandidat vaksin serta berbagai jenis obat, baik antivirus, antibiotik, antibodi monoklonal, penekan imunitas, maupun kortikosteroid. Ada yang masih di tahap uji praklinis (in vitro ataupun pada hewan), ada pula yang di tahap uji klinis pada manusia.
Terapi plasma
Kini jalan pintas yang bisa ditawarkan bagi penderita Covid-19, menurut laman Genetic Engineering & Biotechnology News, 13 April 2020, adalah terapi kekebalan pasif berupa pemberian plasma darah pasien yang sudah sembuh. Jadi, antibodi yang diproduksi tubuh pasien dimanfaatkan untuk melawan Covid-19.
Metode lama yang pernah digunakan untuk mengatasi campak, cacar air, ebola, dan berbagai penyakit lain itu dipandang yang paling cepat bisa membantu pasien. Namun, plasma darah harus ditapis dan dipastikan bebas dari virus lain seperti HIV dan Hepatitis C.
Terapi dengan plasma darah pasien yang telah sembuh diuji klinis oleh tim gabungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg, Mayo Clinic, Pusat Medis Montefiore/Fakultas Kedokteran Albert Einstein, dan Universitas Washington, St. Louis, Amerika Serikat (AS). Juga oleh peneliti di berbagai negara seperti China, Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Iran, India.
Di Indonesia, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bersama sejumlah lembaga lain seperti Palang Merah Indonesia, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat RSPAD Gatot Subroto, Biofarma, sedang menguji terapi tersebut. Kementerian Riset dan Teknologi bersama dengan Kementerian Kesehatan akan memperluas uji klinis ke banyak rumah sakit, termasuk di Kota Malang, Surabaya, dan Solo.
Terapi kekebalan pasif yang lebih aman dan kuat, yakni fraksi antibodi murni, sedang diteliti dan diharapkan tersedia dalam waktu dekat. Tim gabungan dua perusahaan farmasi, CSL Behring and Takeda Pharmaceutical, kini giat mengembangkan terapi imunoglobulin hiperimun poliklonal anti-SARS-CoV-2.
Adapun terapi kekebalan pasif yang lebih canggih, berupa antibodi monoklonal juga masih dalam penelitian.
Khlorokuin
Terkait obat, salah satu yang banyak dibicarakan dan digunakan saat ini adalah kombinasi hidroksikhlorokuin dengan antibiotik azitromisin. Obat ini sempat digadang-gadang Presiden Amerika Serikat Donald Trump "berpotensi menjadi salah satu terobosan besar dalam sejarah kedokteran".
FDA kini sedang menyelenggarakan uji klinis formal obat yang sebelumnya digunakan untuk malaria ini.
Dasar dukungan pada kombinasi obat ini adalah hasil riset tim China yang dimuat di jurnal daring Cell Discovery,18 Maret 2020, yang menunjukkan, hidroksikhlorokuin efisien menghambat infeksi SARS-CoV-2 secara in vitro (percobaan pada kultur sel atau jaringan di laboratorium). Namun diakui, kepastian efektivitasnya masih menanti uji klinis. Sebelumnya, tim peneliti juga melaporkan hasil positif uji praklinis dari khlorokuin fosfat-remdesivir.
Sebuah penelitian tahun 2005, seperti dikutip Livescience, 9 April 2020, menunjukkan, khlorokuin mengganggu kemampuan virus SARS-CoV untuk masuk dan bereplikasi pada sel manusia dalam percobaan di laboratorium. Demikian juga turunan khlorokuin, yakni hidroksikhlorokuin. SARS-CoV menyebabkan wabah sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS) pada 2002.
Hasil penelitian di Perancis pada sejumlah kecil pasien Covid-19 yang diberi hidroksikhlorokuin saja, atau kombinasi hidroksikhlorokuin-azitromisin, konsentrasi virus SARS-CoV-2 turun signifikan secara cepat dibanding pasien yang tidak mendapatkan obat itu.
Namun, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS menyatakan, penelitian terbatas itu tidak cukup untuk menilai manfaat klinis obat. Selain itu, dokter diingatkan untuk berhati-hati memberikan obat kepada pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal, serta pasien yang minum obat lain yang interaksinya bisa menimbulkan aritmia (gangguan detak jantung).
Menurut Scientificamerican.com, 16 April 2020, khlorokuin dan hidroksikhlorokuin diduga bekerja dengan mengubah pH (derajat keasaman) yang diperlukan virus untuk bereplikasi. Di sisi lain, mengingat obat itu bisa menekan respons kekebalan tubuh, hidroksikhlorokuin berisiko membuat pasien rentan terhadap infeksi virus dan bakteri lain.
Obat-obatan yang terbukti efektif untuk penyakit lain juga diteliti efektivitasnya melawan Covid-19. Uji klinis antara lain dilakukan padafingolimod (obat penyakit sklerosis),celecoxib (obat antiinflamasi nonsteroid). Bahkan ada peneliti yang mengevaluasi sildenafil citrate (obat impotensi).
Menjanjikan
Obat antivirus spektrum luasremdesivir, demikian Bloomberg.com, 11 April 2020, dipandang para peneliti dan dokter sebagai yang paling menjanjikan untuk melawan Covid-19. Hasil riset terdahulu tim dari Universitas North Carolina dan Universitas Vanderbilt, AS, mendapatkan, obat itu memiliki aktivitas kuat melawan berbagai jenis virus korona yang mirip dengan virus korona baru.
Penelitian pada akhir Januari hingga awal Maret 2020 oleh tim gabungan yang dimuat di the New England Journal of Medicine (NEJM), 10 April 2020, terhadap para pasien Covid-19 di AS, Eropa, dan Kanada, yang diberiremdesivir selama 10 hari mendapatkan, 68 persen pasien menunjukkan perbaikan klinis.
"Meski belum bisa ditarik kesimpulan pasti, pengamatan terhadap para pasien yang diberi remdesivirmemberikan harapan," kata penulis utama penelitian Jonathan Grein, Kepala Epidemiologi Rumah Sakit Cedars-Sinai, Los Angeles, AS. Saat ini beberapa uji klinis besar sedang berlangsung untuk mengevaluasi manfaat obat tersebut terhadap Covid-19.
Potensi remdesivir ditegaskan Bruce Ayward, Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memimpin misi gabungan WHO-China terkait Covid-19. "Saat ini baru remdesivir yang kami pikir berkhasiat nyata mengatasi Covid-19," ujarnya seperti dikutipLivescience, 9 April 2020.
Namun, remdesivir tidak terlepas dari efek samping. Para pasien ada yang mengalami pendarahan dubur, peningkatan enzim hati, mual dan muntah.
Sementara itu, obat baru yang disebut EIDD-2801 dinilai menjanjikan dari penelitian in vitro pada sel saluran pernapasan dan paru manusia, demikian Livescience mengutip hasil penelitian yang dimuat di jurnalScience Translational Medicine, 6 April 2020.
Obat ini dinilai lebih efisien menghambat virus korona baru dibanding remdesivir. Kalau remdesivir menghambat replikasi SARS-CoV-2 dalam sel manusia, maka EIDD-2801 memicu mutasi genetik pada RNA virus sehingga tidak mampu menginfeksi sel. Kelebihan lain, jikaremdesivir harus disuntikkan ke pembuluh darah, EIDD-2801 bisa diberikan dalam bentuk tablet/pil.
"Obat ini bisa diminum di rumah oleh pasien begitu didiagnosis. Jika terbukti aman dan efektif, nantinya obat ini bisa seperti Tamiflu," kata pemimpin penelitian, Timothy Sheahan dari Departemen Epidemiologi Universitas North Carolina (UNC), Chapel Hill. Penelitian dilakukan tim gabungan dari UNC, Universitas Emory, dan Rumah Sakit Universitas Vanderbilt, Nashville, AS.
Obat antivirus lain yang diteliti untuk Covid-19 adalah favipiravir (Avigan) yang digunakan di Jepang sebagai obat influenza. Obat ini diuji pada 340 pasien di Wuhan and Shenzhen, China.
Obat ini bisa diminum di rumah oleh pasien begitu didiagnosis. Jika terbukti aman dan efektif, nantinya obat ini bisa seperti Tamiflu.
Menurut Zhang Xinmin dari Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi China, 17 Maret lalu, sebagaimana dikutip Guardian, obat ini sangat aman dan efektif mengobati Covid-19. Dalam riset yang belum dimuat di jurnal ilmiah itu disebutkan, favipiravir menghambat replikasi virus sehingga kondisi paru pasien membaik.
Penelitian lain yang belum dikaji ilmuwan sejawat, adalah membandingkan favipiravir dengan obat flu lain, umifenovir (Arbidol). Dalam penelitian yang melibatkan 240 pasien tersebut diketahui, favipiravir tidak lebih cepat memulihkan pasien dibanding umifenovir. Namun, favipiravir signifikan memperpendek masa demam dan batuk pasien.
Adapun hasil penelitian terhadap Kaletra, kombinasi lopinavir dan ritonavir, yang dilakukan tim China dan dimuat di NEJM, 18 Maret 2020, mendapatkan, obat tersebut tidak memberi manfaat signifikan pada pasien.
Sementara itu, Badan Pengawas Produk Medis Nasional China (the National Medical Products Administration of China), demikianClinicaltrialsarena.com, 16 April 2020, menyetujui penggunaan obat antivirus favilavir sebagai obat Covid-19. Obat itu menunjukkan keampuhan dengan efek samping minimal dalam uji klinis terhadap 70 pasien di Shenzhen, China.
Antiradang dan antibiotik
Bagi sejumlah pasien, virus korona sebenarnya tidak terlalu mengganggu. Yang menimbulkan bahaya adalah respons kekebalan tubuh mereka yang berlebihan sehingga terjadi badai sitokin.
Sitokin adalah protein yang dilepaskan oleh sel-sel tubuh yang memicu peradangan untuk melawan infeksi. Namun, peradangan berlebihan justru merusak jaringan, dalam hal ini paru, dan bisa mematikan.
Untuk meredam badai sitokin, demikian Scientificamerican.com, peneliti memanfaatkan imunosupresan (penekan kekebalan tubuh) tocilizumab (Actemra). Obat yang semula untuk artritis rematik ini bekerja dengan menghambat reseptor sel yang mengikat sitokin (interleukin 6/IL-6). Penghambat IL-6 lain yang juga diteliti adalah sarilumab (Kevzara).
Beberapa waktu lalu, ada obat yang sempat viral di berbagai media sosial dan media massa daring di Indonesia, yakni karimisin (carrimycin). Sebenarnya, posisi obat ini tidak lebih maju dibanding obat-obat lain yang sedang diteliti.
Obat yang dikembangkan ilmuwan China tersebut diteliti efektivitas dan keamanannya di Rumah Sakit YouAn, Beijing, mulai 23 Februari 2020 dan direncanakan berakhir pada 28 Februari 2021, demikian desain penelitian yang dimuat di lamanClinicalTrials.gov.
Menurut Trialsitenews.com, 7 April 2020, antibiotik hasil kolaborasi Institut Bioteknologi Obat (Akademi Ilmu Kedokteran China) dan Shenyang Tonglian Group Co itu disetujui penggunaannya untuk mengobati infeksi saluran pernapasan atas oleh Badan Pengawas Produk Medis Nasional China pada 24 Juni 2019.
Penelitian obat itu untuk mengatasi Covid-19 didanai oleh Pemerintah China dan dilaksanakan sejumlah lembaga penelitian terkemuka di China. Sejauh ini belum ada hasil uji klinis yang diumumkan dari obat yang disebut-sebut potensial itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar