Banyak kisah tentang merek muncul pada saat krisis besar. Pandemi kali ini termasuk krisis besar. Berbagai korporasi telah memberi bantuan bagi orang-orang terdampak. Meski demikian, kisah-kisah tentang merek tidak terbangun karena mereka memberi bantuan kepada masyarakat semata.
Cerita tentang merek di tengah krisis merupakan jalinan panjang perjalanan merek itu sendiri. Belajar dari pengalaman, menanam sekarang baru memetik kelak berlaku untuk merek di tengah krisis.
Kisah cokelat Cadbury di Birmingham di Inggris yang ditangisi warganya ketika saham perusahaan itu dibeli oleh sebuah konglomerat pangan dari Amerika Serikat bisa menjadi contoh kisah sukses merek berada di tengah krisis. Merek cokelat ini sudah melekat bagi warga kota itu. Ketika krisis akibat Perang Dunia I dan PD II, Cadbury memberi bantuan pangan, selimut, dan ambulans bagi warga Inggris.
Karyawan yang baru menikah juga mendapat kenang-kenangan unik. Cadbury telah menjadi kebanggaan kota itu sehingga ketika sahamnya berpindah mereka sangat sedih. Merek ini memetik buah dari peran mereka selama dua perang dunia itu dan kisah bersama warga.
Cerita lainnya, setelah serangan teroris 11 September 2001 yang mengguncang dunia, banyak maskapai yang merugi dan mengalami krisis akibat kejadian itu. Peristiwa itu juga berdampak pada Southwest Airlines. Di tengah masalah, sejumlah konsumen maskapai mengirimkan uang, salah satunya berupa cek senilai 1.000 dollar AS, untuk menunjukkan dukungan mereka kepada perusahaan ini.
Di dalam secarik kertas, penumpang Southwest Airlines ini menulis, "kamu telah sangat baik terhadap saya sejak bertahun-tahun lalu, pada saat sulit seperti ini saya ingin mengucapkan terima kasih agar kamu bisa keluar dari masalah yang berat ini".
Uang tersebut pasti tak bisa membuat maskapai bangkit dari keterpurukan saat itu, tetapi dukungan tersebut menjadi simbol perasaan konsumen terhadap merek. Merek memiliki relasi melampaui hubungan penjual-pembeli atau penumpang-pemilik pesawat.
Merek yang baik memberi ketenangan pikiran kepada konsumen dan pegawai sehingga mereka memiliki loyalitas yang tinggi kepada perusahaan atau merek.
Maskapai ini sampai membuat situs mikro di laman mereka untuk komunitas konsumen Southwest Airlines. Kisah-kisah di dalam situs mikro berisi bukan soal komplain atau caci maki penumpang, melainkan saling dukung dan berbagai cerita terkait dengan penerbangan mereka di maskapai itu.
Seorang penumpang yang bercerita mengenai ketakutannya karena suami tengah dalam penerbangan akan mendapat penghiburan dari konsumen lain di dalam komunitas itu. Seorang anak yang ingin menjadi pilot karena terbantu oleh penerbangan ini.
Adakah merek di Indonesia bisa membangun cerita seperti kisah dua perusahaan di atas? Sangat banyak. Hanya saja kisah mereka masih terserak dan kadang tidak muncul menjadi jalinan utuh. Salah satu penyebab adalah kisah itu kadang masih menjadi milik perusahaan semata, bukan milik konsumen.
Mereka kadang enggan membagikan cerita dan ada pula yang malu untuk bercerita. Persoalan lain, cerita itu memang harus dijalin alias bukan muncul begitu saja. Orang yang menjalin kadang tidak ada sehingga tidak muncul cerita.
Konsumen mungkin juga tidak punya wadah atau kanal untuk bercerita. Sebagai contoh, mereka yang sebelum pandemi setiap hari memilih menggunakan ojek daring tentu ingin memberikan bantuan kepada pengojek pada saat susah seperti sekarang ini. Kini penumpang berada di rumah dan tak menggunakan jasa mereka. Peluang untuk memberi bantuan langsung ke pengojek itu tidak ada.
Bila saja ada, bantuan dikumpulkan menjadi satu oleh perusahaan, maka cerita personal tidak muncul. Tidak beda dengan bantuan perusahaan lain, sekadar pengumpulan barang atau uang, tanpa ada relasi pengguna dengan pengojek. Ceritanya menjadi sangat umum, perusahaan X memberi bantuan sekian juta. Pengalaman personal dan kisah yang lebih menyentuh tak akan terungkap, padahal kisah tentang merek muncul karena ada kisah personal dan otentik. Akhirnya, merek pun tidak akan memiliki cerita.
Merek meniti di tengah pandemi memang tak mudah. Korporasi juga tidak bisa melakukan manipulasi agar nama mereka dikenang konsumen saat krisis besar. Manipulasi hanya akan membuat pegal dan linu dalam membawa merek pada masa depan. Semua ahli pemasaran sepakat, kisah itu harus otentik dan muncul dari perasaan konsumen dalam merespons merek.
Kisah itu terjalin tidak serta-merta, tetapi melewati ujian waktu. Tidak ada merek yang sempurna dengan kisah yang selalu sempurna juga, tetapi merek pasti pernah memiliki kisah yang unik dengan konsumen sehingga bisa menjadi awal cerita relasi merek dengan konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar