Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Mei 2020

Kawan Lama (TRIAS KUNCAHYONO)


INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, Wartawan Kompas 1988-2018

Kami berkawan sejak masih sama-sama sekolah di taman kanak-kanak. Itu artinya, perkawanan kami sudah lebih dari setengah abad. Kami tinggal di desa. Karena itu, taman kanak-kanaknya pun model desa zaman dulu. Tidak sehebat sekarang ini, baik gedung maupun peralatan sekolahnya, tentu. Dinding gedung sekolah dari bambu, gedek. Murid-murid tidak berseragam, pun tidak bersepatu. Kami masih ingat ibu guru kami: Ibu Bariyah.

Kenangan lebih dari setengah abad itu hingga kini masih melekat dalam batin dan hati kami berdua. Sehabis sekolah, kami selalu makan bersama di rumahnya yang hanya terletak sekitar 10 meter dari pagar sekolahan. Kalau mengenang masa lalu, kami selalu tertawa, senang. Meskipun, menurut Jalaluddin Rumi (1207-1273), salah seorang sufi yang begitu kondang, "Hari kemarin telah berlalu, dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh." Tetapi, toh tetap menyenangkan merawat benih-benih baru sambil mengingat hari kemarin.

Sebenarnya kami sudah berpisah sebelum menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Keluarganya pindah karena ayahnya sebagai seorang polisi pindah tempat tugas. Sejak berpisah, kami tidak pernah berkomunikasi karena memang tidak ada alat untuk komunikasi seperti zaman kiwari yang serba modern. Apalagi, bertemu. Kami bertemu lagi sekitar 10 tahun kemudian, yakni tahun 1975. Kami tinggal satu asrama.

Sejak itu, perkawanan kami kembali bersemi dan tumbuh. Bahkan menjadi semakin dekat, seperti saudara. Di kemudian hari, kami berpisah lagi dan bersua kembali ketika ia sudah menjadi seorang tokoh dan dikenal sangat pandai: doktor dalam bidang antropologi dan sejarah agama-agama di Universitas Sorbonne, Paris IV, dan doktor dalam bidang ilmu etika politik (moral sosial) di Institut Catholique de Paris, Perancis.

Meski demikian, kami tetap bersahabat seperti dahulu. Akrab. Bersaudara. Menurut kata-kata bijak, "Alter ego est amicus, cuncta mecum habet communia, sahabat adalah diriku yang lain, dengannya semua menjadi milik bersama." Begitulah kami.

Belum lama ini, di tengah-tengah sepak terjang Covid-19 yang nggegirisi(sangat menakutkan) itu, kami berkomunikasi lewat video calls. Ia membongkar kembali pengalaman masa kecil kami ketika masih hidup dan tinggal di desa. Yang ia ceritakan tentang betapa kuatnya rasa persaudaraan penduduk desa pada masa lalu. Mereka guyub, rukun, saling tolong menolong, dan memegang prinsip hidup gotong royong, toleran, saling hormat-menghormati walau berbeda keyakinan dan agama, beda kelas sosial. Dulu di desa ada istilah sambatan, tolong-menolong.

"Tahu enggak, mengapa bisa seperti itu di masa lalu?" katanya.

"Mengapa?" tanya saya pendek.

"Di masa lalu, hal itu bisa terjadi barangkali karena masih kuatnya rasa di antara penduduk desa bahwa orang tidak bisa hidup sendiri. Mereka menyadari bahwa dalam hidup, seseorang membutuhkan bantuan orang lain," katanya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga Desa Tambakua, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, bergotong royong membantu menyemai bibit jagung di ladang milik salah seorang warga, Selasa (6/8/2019). Budaya gotong royong masih bertahan di pedesaan.

Sebelum saya berkomentar, ia sudah mengatakan, "Salah satu karya penyair John Donne adalah 'No Man is an Island'. Dua baris pertama puisi itu berbunyi demikian, 'No man is an island/ entire of itself/ every man/ is a piece of the continent/ a part of the main'. Jauh sebelumnya, sejarawan Romawi, Gaius Sallustius Crispus (86 SM-34 SM), sudah mengatakan,alterum alterius auxilio est, seseorang membutuhkan bantuan orang lain," katanya sambil menjelaskan siapa John Donne itu, yang ternyata seorang penyair dari Inggris yang hidup pada tahun 1572-1631.

"Memang, orang tidak bisa hidup sendirian. Tak peduli orang lain. Mengucilkan diri, seperti pulau yang jauh dari utara dan selatan," komentar saya.

Dengan cepat ia menyambung, "Ya, karena sama-sama menyadari perlunya orang lain, maka kalau ada tetangga yang kesulitan, kerepotan, dirundung malang, sedang duka, dulu orang di desa kita biasanya akan segera membantu. Bantuan akan diberikan dengan tulus, tanpa mengharapkan adanya imbalan. Bukannya memberikan bantuan dengan memegang prinsip do ut des, saya beri agar engkau memberi."

"Hal itu berarti berkait dengan kerelaan untuk bertanggung jawab terhadap hidup orang lain. Hidup dengan orang lain—di desa, di kampung, di kota baik dalam komunitas kecil maupun besar, atau di mana pun—di sekitar kita menuntut hal yang paling penting, yakni turut bertanggung jawab terhadap mereka. Tidak ada orang yang hidup bagi dirinya sendiri. Setiap orang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain," katanya.

Cara orang hidup bersama di tengah masyarakat sering kali menentukan mutu kehidupan. Dan, karena itu menentukan keadaan dalamnya setiap orang memahami dirinya dan mengambil berbagai keputusan tentang dirinya serta panggilannya.

"Bukankah di masa kecil dulu, kita tidak pernah mendengar ada masalah dalam hal kerukunan hidup bermasyarakat, dalam hubungan antar-penduduk desa yang berbeda agama, misalnya. Semuanya rukun, saling menghormati. Atau kita masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu? Barangkali demikian," katanya lagi menyinggung soal agama, karena ia memang ahli dalam bidang agama.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Mural menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama terlihat di Jalan Ciledug Raya, Petukangan, Jakarta Selatan, Jumat (3/4/2020).

Ia masih melanjutkan, "Dalam refleksi saya saat ini, waktu itu agama benar-benar memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang rukun, yang saling membantu, yang solider dengan mereka yang miskin, yang lemah, yang menderita, yang tidak berdaya, yang sedang didera derita. Agama juga menjadi pendorong umatnya untuk membangun masyarakat yang aman dan damai, saling menghormati, saling peduli, bersama-sama melawan ketidakadilan, melawan penindasan, melawan kebodohan, dan pendek kata agama mendorong terciptanya kesejahteraan bersama."

"Semua itu terjadi," ia masih melanjutkan khotbahnya, "mungkin karena pada waktu itu penduduk desa, mungkin juga di kota-kota, menyadari dan menjalankan prinsip-prinsip hidup beragama secara benar, tidak hanya diomongkan, tidak hanya diteriakkan, tetapi benar-benar dijalankan dalam praktik hidup sehari-hari. Misalnya, dalam hal kepemilikan harta, meminjam rumusan orang-orang pintar sekarang ini, masyarakat pada waktu itu sudah memiliki kesadaran bahwa harta itu berfungsi sosial. Artinya, harta pribadi diharapkan membawa manfaat bagi semua orang."

"Kalau kamu bertanya, mengapa bisa seperti itu? Jawabannya jelas, bukankah agama mengajarkan, orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri, ia tidak kaya di hadapan Gusti Allah," katanya sambil menambahkan, "Kalau Rene Descartes, bapak filsafat modern yang hidup dari 1596 hingga 1650, mengatakan, 'cogito ergo sum', aku berpikir maka aku ada, maka prinsip orang, prinsip masyarakat pada waktu itu adalah 'saya berbagi, maka saya ada'."

Lalu, ia melanjutkan, "Apalagi orang Jawa memegang falsafah hidup, urip mung mampir ngombe, orang hidup di dunia itu hanya sebentar ibarat kata seperti orang mampir minum saja. Ada yang mengatakan, urip mung sak wengi, hidup cuma semalam. Karena sebentar, maka hidup harus benar-benar bermakna, bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Begitu nasihat orang-orang tua. Karena itu, untuk membuat hidupnya bermakna, urip iku urup, hendaknya hidup itu bermanfaat bagi orang lain, maka orang lalu mentransformasikan apa yang dimilikinya, apa itu harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya untuk menjadi 'harta' di hadapan Gusti Allah."

KOMPAS/BUDI SUWARNA

Dua mahasiwa sukarelawan menyiapkan paket nasi dan lauk di Dapur untuk Rakyat di Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (8/4/2020), untuk membantu warga terdampak Covid-19. Kedermawanan seperti ini sangat dibutuhkan saat krisis seperti sekarang.

"Kalau orang Jawa memegang falsafahurip mung mampir ngombeurip iku urup, untuk mengingatkan bahwa hidup itu harus berarti, bermakna, maka dalam rumusan lain Benjamin Franklin (1706-1790), salah satu bapak aangsa Amerika Serikat, mengatakan, 'Jika kamu tidak mau segera dilupakan setelah kamu mati, tulislah sesuatu yang layak dibaca atau lakukanlah sesuatu yang layak untuk ditulis'," katanya.

Pepatah mengatakan, "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama". Apakah nama baik atau nama buruk yang ditinggalkan? Tergantung orangnya. Dalam cerita orang kaya dan Lazarus, yang dikenal orang hanya Lazarus. Sementara orang kaya yang pelit, tak memiliki bela rasa, misericordia (belas kasihan), kemurahan, kedermawanan terhadap Lazarus yang miskin sama sekali tidak dikenal namanya.

"Sekarang ini, untuk bisa dikenal, terutama dikenang karena rasa bela rasanya, kedermawanannya, kemurahan hatinya yang tinggi, atau karena uripe urup, sangat mudah. Yakni dengan mendermakan kekayaannya, harta miliknya, untuk membantu pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, membantu mereka yang kehilangan pekerjaan, mereka yang kehilangan gantungan hidupnya, apalagi setelah nanti pandemi ini berhasil diatasi. Bukan justru sebaliknya, menutup pintu rapat-rapat rumah-rumah mewah mereka, dan benar-benar nggak peduli pada dunia luar, pada penderitaan orang lain," katanya serius.

Banyak contoh di tingkat internasional. Dua bintang sepak bola dunia, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, mendonasikan bantuan untuk melawan Covid-19. Langkah serupa juga dilakukan legenda tenis dunia, Roger Federer. Orang-orang kaya dunia pun, seperti Bill Gates, Elon Musk, Jack Ma, Jack Dorsey, Jeff Bezos, James Dyson, Marc Benioff, dan Mark Zuckerberg, sekadar menyebut nama, merelakan harta mereka untuk membantu melawan Covid-19.

Memang, orang-orang kaya, para konglomerat, para pesohor di negeri ini juga sudah ada yang melakukan hal yang sama. Tetapi, mungkin masih ada yang belum atau mungkin mereka tidak berteriak-teriak. "Mungkin mereka membantu, tetapi diam-diam saja. Karena mengikuti kata-kata bijak, 'selagi memberi sedekah, jangan biarkan tangan kirimu mengetahui apa yang tangan kananmu lakukan, sehingga sedekahmu itu ada dalam ketersembunyian, dan Gusti Allah yang melihat dalam ketersembunyian akan membalas dalam keterbukaan'," katanya sambil menambahkan, "Tetapi, semoga semakin banyak yang terketuk hatinya untuk membantu sesama, yang memang membutuhkan bantuan."

"Semoga," komentar saya pendek.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas bergotong royong memindahkan paket bahan makanan untuk dimasukkan ke truk dan dikirim ke kantor kecamatan di Convention Hall, Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (26/4/2020). Pemerintah Kota Surabaya bersiap mendistribusikan bahan makanan kepada 68.000 keluarga kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang belum masuk sebagai penerima program bantuan pemerintah.

"Kita semua tahu, saat ini dunia dalam keadaan perang. Bukan perang agama. Sebab, bukankah semua agama menginginkan perdamaian. Dunia berada dalam keadaan perang karena hilangnya perdamaian. Perdamaian bisa hilang bukan hanya karena perang, melainkan juga karena korupsi, ketidakadilan, diskriminasi rasial, perbenturan kepentingan, kebodohan, perdagangan manusia, kemiskinan, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Saat ini rasanya kepedulian sosial, kepedulian kepada sesama, sangat dibutuhkan. Kita harus berpikir, bersikap, berkata, dan berbuat menurut prinsip solidaritas. Artinya, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing hidup berbela rasa dengan sesama. Bukankah begitu?" katanya.

Lalu ia tertawa lepas, seperti biasanya. Dan, akhirnya ia mengatakan, "Wis yo, aku wis ngantuk. Aku sudah ngantuk."

"Baik, terima kasih. Selamat malam dan istirahat," jawab saya sambil membatin, "Kamu, kawan lama yang baik hati, selalu mau berbagi ilmu."

Kompas, 5 Mei 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger