Seorang perempuan polisi memberhentikan sebuah kendaraan berisi dua penumpang, yakni seorang ibu dan anak perempuannya, yang tengah melaju. Lalu terjadi percakapan di antara mereka.
"Mo kemana bu?" kata polisi.
"Mudik pak," jawab si ibu.
"Ga boleh mudik bu," kata si polisi lagi.
"Maaf pak kami bukan mudik," timpal sang putri pengemudi.
"Trus…," kata polisi.
"Pulang kampung," tukas si anak sambil tertawa.
"Kalo begitu silahkan jalan," kata si polisi.
Tulisan di atas merupakan kutipan dari sebuah meme di dunia maya yang menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo tentang mudik dan pulang kampung. Kedua kata dan gabungan kata yang sedang tren itu, menurut Presiden, mempunyai makna yang berbeda.
Presiden mengatakan hal itu kala Najwa Shihab (dalam program Mata Najwa di Trans 7: Jokowi Diuji Pandemi; Rabu, 22 April 2020) bertanya tentang dilarang tidaknya mudik karena faktanya sudah banyak orang "curi start" mudik sampai saat ini.
"Kalau itu bukan mudik. Itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabodetabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang, karena anak istrinya ada di kampung," ujar Presiden.
Menurut Presiden, pulang kampung berbeda dengan mudik. Mudik, kata Presiden, dilakukan saat menjelang Lebaran, tetapi pulang kampung tidak terbatas pada momen Lebaran.
"Ya, kalau mudik itu di hari Lebaran-nya, beda, untuk merayakan Idul Fitri. Kalau yang namanya pulang kampung itu bekerja di Jakarta, tetapi anak-istrinya ada di kampung," kata Presiden.
KBBI sebagai patokan
Kasus mudik dan pulang kampung seharusnya menyadarkan kita, pengguna bahasa, bahwa tidak sedikit kosakata yang bermakna (hampir) sama sesungguhnya berbeda penggunaannya.
Hal ini dapat kita temukan dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Adakalanya hal itu dilakukan dengan tidak sadar oleh penggunanya. Adakalanya hal itu juga disebabkan pengguna, misalnya, berpatokan pada sumber rujukan berbahasa.
Telaah terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjukkan ada beberapa kata yang bermakna (hampir) sama, tetapi sesungguhnya berbeda penggunaannya.
Kata tanding (pertandingan) dimaknai KBBI sebagai 1. perlombaan dalam olahraga yang menghadapkan dua pemain (atau regu) untuk bertanding (contoh: pertandingan sepak bola); 2. persaingan; perbandingan. Akan halnyalomba (perlombaan) dimaknai sebagai 1. kegiatan mengadu kecepatan (keterampilan, ketangkasan, kepandaian, dan sebagainya); 2. tempat berlomba.
Jika melihat makna tanding danlomba di atas, sesungguhnya perbedaannya tampak jelas, yaknitanding jika menghadapkan dua pemain atau regu, sedangkanlomba tidak. Namun, pengguna bahasa kerap menyamakan kata tanding (pertandingan) dengan lomba (perlombaan), atau sebaliknya.
Perhatikan dua contoh berikut:
Nama Fauzal dan Funky tidaklah asing dalam olahraga gulat di tanah air. Dua anak muda ini kerap menjuarai berbagai lomba gulat yang diselenggarakan. (jatengprov.go.id, 6 Agustus 2019)
Dia berharap pertandingan panahan ini juga bisa menarik minat generasi muda di daerah sekitar untuk menjadi atlet panahan sehingga bermunculan bibit-bibit atlet berprestasi. (tempo.co, 24 Januari 2020)
Penggunaan kata lomba (perlombaan)dan tanding (pertandingan) pada kedua contoh di atas tidak tepat.Lomba seharusnya dipasangkan dengan panahan (lomba panahan) dan pertandingan dipasangkan dengan gulat (pertandingan gulat).
Ketika menulis, mungkin si penulis di atas tidak pernah membayangkan apa jadinya jika dalam olahraga panahan, atlet yang terlibat harus berhadapan untuk saling memanah, karena si penulis keliru menggunakan kata yang maknanya (hampir) sama, tetapi sesungguhnya penggunaannya berbeda. Bagaimana pula kita bisa berharap generasi muda mau menjadi atlet panahan kalau dalam melakukan kegiatannya harus saling memanah.
Adapun cabang olahraga yang termasuk perlombaan adalah angkat besi, angkat berat, atletik, balap mobil, balap sepeda, binaraga, bungee jumping, kano, renang, berkuda, dayung, layar, menembak, memanah, selancar, senam, ski air, ski es, snorkeling, dan terjun payung.
Kata lain dalam KBBI yang dimaknai (hampir) sama, tetapi sesungguhnya penggunaannya berbeda adalahhampir dan nyaris. Hampir dimaknai sebagai 1. kurang sedikit; nyaris (kapal itu hampir tenggelam); 2. tidak lama lagi (kereta api dari Surabaya tidak lama lagi tiba); 3. dekat (pada, dengan); menjelang (Hampir senja dia datang). Sementara nyaris dimaknai sebagai 'hampir saja terjadi (terutama tentang sesuatu yang membahayakan)', misalnya gedung SMUnyaris terbakar.
Kata hampir dan nyaris menyatakan hal yang dekat dengan peristiwa atau keadaan tertentu. Namun, jika katahampir bersifat netral, bisa dikaitkan dengan sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak diinginkan, katanyaris cenderung dikaitkan dengan sesuatu yang tidak diinginkan, sesuatu yang membahayakan.
Fakta bahasa yang ditemukan di lapangan menunjukkan sebagian besar pengguna bahasa menggunakan katanyaris untuk semua peristiwa, bahkan untuk peristiwa yang netral, yang cenderung bukan suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Perhatikan pula bahwa kata hampir atau nyarisbiasanya diikuti oleh kata benda dan kata kerja.
"Kau tahu, bagian terburuknya adalah dia nyaris selamat. Dia meninggal beberapa minggu sebelum pembebasan." (The Fault in Ours Stars, John Green, 2018)
"Nyaris tak ada yang menonton karena keterbatasan bahasa," katanya. (Kompas, 4 Januari 2020)
Sebaliknya, budidaya lobster di Tanah Air nyaris tak berkembang. (Kompas, 10 Januari 2020)
Ada baiknya kita kutip contoh dari Badan Bahasa berikut.
1. Mobil kami hampir kehabisan bensin ketika sampai di Semarang.
2. Kedua pesawat penumpang itunyaris bertabrakan.
Kata hampir mengandung makna 'belum' dan mengisyaratkan bahwa peristiwa yang dimaksudkan itu selanjutnya dapat terjadi. Pada kalimat 1, misalnya, mobil itu dapat benar-benar kehabisan bensin setelah melewati Semarang.
Kata nyaris tidak mengisyaratkan berlangsungnya suatu proses. Pada kalimat 2 di atas, misalnya, tidak diisyaratkan bahwa peristiwa tabrakan betul-betul terjadi sesudah itu. Dalam hal ini, kata nyaris sepadan denganhampir saja seperti pada kalimat berikut: kedua pesawat penumpang itu hampir saja bertabrakan.
Untuk peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan bahaya atau kecelakaan, kita dapat menggunakanhampir saja dan bukan nyaris: ia hampir saja menjadi juara dalam turnamen itu.
Untuk menyatakan hal yang mendekati keadaan atau sifat tertentu dapat digunakan kata hampir-hampir dan bukan nyaris. Contoh: gerakannya hampir-hampir sempurna; ia manusia yang hampir-hampir tidak mengenal menyerah.
Lema lain dalam KBBI yang dimaknai (hampir) sama, tetapi penggunaannya berbeda antara lain mantan dan bekas,gizi dan nutrisi, serta semua danseluruh.
Mudik dan pulang kampung
Terlepas dari pandangan warganet, dan juga para cerdik pandai, mengenai pendapat Presiden Jokowi, hemat saya, fenomena kata mudik dan pulang kampung menambah catatan bagi pembuat KBBI agar menyempurnakan pemberian makna pada lema yang dicantumkan dan juga dalam penyajian contohnya.
Beberapa contoh di atas menjadi bukti bahwa pemberian makna pada lema kamus, dan contoh yang ditampilkan, bukan masalah yang sederhana.
Mudik tentu sudah berubah jauh maknanya dari pertama kali kata ini digunakan pengguna bahasa. Jika dulumudik dimaknai sebagai '(berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman)', karena lahir dari peradaban maritim (Fariz Alniezar, Universitas Nahdlatul Ulama, Juni 2017), kini makna yang disandang memang lebih banyak terkait dengan ritual tahunan yang wajib dilakukan pada saat Idul Fitri (Lebaran).
Dalam masa-masa perkembangan makna itu, kata (pulang) mudik bahkan pernah dipakai untuk peristiwa lain, selain Lebaran. Pada Jumat, 2 Juli 1971, umpamanya,Kompas menulis kata(pulang) mudik yang dikaitkan dengan pemilihan umum.
"Pada hari-hari menjelang pemilihan umum, banyak orang dari Jakartapulang mudik untuk melaksanakan hak pilihnya. Tidak mengherankan kalau stasiun kereta api pun berjejal-jejal orang. Mungkin lebih ramai daripada sewaktu menjelang Lebaran. Harga karcis di luaran tentu saja melonjak. Keadaan itu juga menandakan bahwa penghuni Ibu Kota sebenarnya banyak yang masih belum menjadi penduduk yang sah." (Kutipan sudah diselaraskan)
Mudik dari dulu hingga kini identik dengan kemacetan, hiruk-pikuk perbaikan jalan, jalur pantura dan Tol Cipali, serta silaturahmi di kampung halaman. Mudik juga identik dengan aktivitas kebudayaan yang dilakukan serentak oleh seluruh masyarakat Indonesia yang bekerja di kota agar bisa merayakan Lebaran bersama keluarga dan anggota masyarakat di tempat kelahiran. Suasana kota-kota besar pada hari Lebaran mungkin akan sedikit lengang karena ditinggalkan sebagian penduduknya. (Sukron Abdullah, Kompas, 11 Oktober 2007)
Dalam konteks kekinian, makna mudik jadinya lebih kompleks daripada sekadar pulang kampung.
Dalam konteks kekinian, makna mudikjadinya lebih kompleks daripada sekadar pulang kampung. Tidak hanya kembali ke udik, soal kemacetan, silaturahmi, hiruk-pikuk perbaikan jalan, dan Lebaran, tetapi juga banyak faktor yang menyebabkan kondisi itu disebut mudik.
Kata ini tidak sekadar pulang kampung karena kondisi ekonomi sebagai akibat penyebaran wabah, bisa dilakukan kapan saja, dan belum tentu terjadi secara serentak.
Meminjam ungkapan Prof Mahsun dari Universitas Mataram, makna kata dalam bahasa diciptakan penuturnya secara manasuka, arbitrer, sesuai dengan sifat bahasa yang berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan penuturnya. Maka, katanya, jika melihat dua sifat dasar bahasa tersebut, tidak ada alasan menolak pemaknaan baru dari katamudik dan pulang kampung seperti yang disampaikan Presiden Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar