Di hari raya Idul Fitri, seperti halnya sepanjang bulan ramadhan, ada banyak makanan dan minuman manis untuk dinikmati. Berbagai jenis kue, minuman dan makanan tradisional tersaji untuk disantap. Semua berlimpah ruah gula.
Gula bagaikan buah simalakama. Makanan manis mengandung gula mampu menimbulkan rasa bahagia. Gula membantu kinerja otak sehingga mampu berpikir lebih jernih dan cepat. Gula juga merupakan sumber energi yang bisa langsung digunakan tubuh untuk bergerak.
Namun, konsumsi gula berlebihan membuat hidup menderita. Berbagai penelitian membuktikan, gula menyebabkan sejumlah penyakit kronis yang sulit disembuhkan.
Mengonsumsi gula menimbulkan lonjakan besar zat kimia dopamin dalam otak yang menimbulkan rasa bahagia.
Mengonsumsi gula, demikian lamanWebmd, menimbulkan lonjakan besar zat kimia dopamin dalam otak yang menimbulkan rasa bahagia. Ini menjelaskan mengapa orang cenderung menginginkan camilan manis dibanding makan buah atau sayuran. Buah-buahan dan sayuran tidak memicu otak melepaskan banyak dopamin.
Di sisi lain, tubuh perlu mentransfer glukosa dari aliran darah ke dalam sel untuk mendapatkan energi. Agar kadar gula darah turun dengan cepat, diperlukan hormon insulin yang diproduksi pankreas.
Namun, ketika kadar gula turun, tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol, seperti saat kita stres. Kadar gula darah yang tidak stabil ini dapat membuat Anda mengalami perubahan suasana hati, rasa cemas yang tidak jelas, letih, lemas, gemetar, dan sakit kepala.
Pada situasi ini, otak akan memberi sinyal membutuhkan gula untuk membuat tubuh kembali segar dan bahagia. Ini merupakan awal siklus kelaparan palsu yang membuat orang terus mengemil.
Gula mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Zat ini merupakan makanan bakteri dan kapang yang ada dalam tubuh. Kelebihan gula menyebabkan organisma itu berkembang biak dan menimbulkan infeksi.
Gangguan kekebalan tubuh dan peradangan akibat gula memperburuk nyeri sendi. Penelitian menunjukkan, konsumsi gula dapat meningkatkan risiko terkena rematik artritis.
Sisa gula di mulut dan sela-sela gigi menyebabkan bakteri berkembang biak, menimbulkan karies dan gigi berlubang. Infeksi kronis pada gigi dan gangguan gusi pada gilirannya menyebabkan penyakit jantung.
Pada anak-anak, gula mempengaruhi kemampuan kognisi. Saat sekolah-sekolah negeri di Kota New York, Amerika Serikat, mengurangi gula dalam sarapan dan makan siang, prestasi belajar anak-anak meningkat. Peringkat akademis mereka naik 15 persen.
Pola makan tinggi gula dapat menghambat penyerapan kromium, kalsium, magnesium, vitamin A, B12, C dan D. Padahal, kromium membantu mengatur kadar gula darah dalam tubuh. Zat mineral mikro itu diperlukan untuk mengikat insulin, dan meningkatkan jumlah reseptor insulin.
Defisiensi kromium menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Kromium banyak terkandung dalam daging, makanan laut, dan bahan pangan nabati seperti brokoli, jamur, anggur, kacang hijau, dan jagung.
Gula diyakini bisa menyebabkan penuaan dini. Dalam aliran darah, gula berikatan dengan protein. Ikatan tersebut merusak kolagen dan elastin, serat protein yang menjaga kulit tetap kencang dan awet muda. Akibatnya, kulit kehilangan elastisitas, menjadi keriput, dan kendor.
Sindrom metabolik
Menurut laman Sugarscience dari Universitas California, San Francisco (UCSF), gula menyebabkan sindrom metabolik (MetS). Sindrom itu merupakan sekelompok gejala yang meningkatkan risiko terkena penyakit kronis, seperti diabetes, gangguan jantung, dan hati. Banyak riset kedokteran terkait MetS sejak 1980-an karena peningkatan dampak penyakit kronis pada kesehatan masyarakat dunia.
Lima gejala MetS yang perlu diwaspadai adalah membesarnya ukuran pinggang. Pada perempuan, ukuran pinggang 88,9 sentimeter (cm) atau lebih, dan 101,6 cm atau lebih pada laki-laki. Peningkatan tekanan darah (hipertensi), 135/85 mmHg atau lebih tinggi. Tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg.
Pemeriksaan darah menunjukkan, tingginya kadar trigliserida, 150 mg/dL atau lebih tinggi, yang diukur tanpa minum obat kolesterol. Selain itu, kolesterol total tinggi atau kadar HDL (kolesterol baik) di bawah 50 mg/dL untuk perempuan, dan 40 mg/dL untuk pria. Terakhir, kadar gula darah tinggi, 100 mg/dL atau lebih.
Menurut Asosiasi Jantung Amerika (AHA), 56 juta orang Amerika Serikat, atau satu dari lima orang di atas usia 20 tahun, mengidap sindrom metabolik. Hal tersebut membuat mereka berisiko lebih tinggi terkena penyakit kronis.
Salah satu tanda paling jelas dari sindrom metabolik adalah perut gendut (sugar belly), di mana ukuran pinggang lebih besar dari pinggul. Jika Anda atau anggota keluarga cenderung gemuk di pinggang, sangat penting untuk membahas sindrom metabolik dengan dokter, sehingga bisa dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan tes darah yang diperlukan untuk mengonfirmasi.
Bagaimana gula menyebabkan MetS?
Seiring waktu, konsumsi gula dalam jumlah besar menimbulkan peradangan pada dinding arteri, sehingga tumbuh lebih tebal dan kaku. Kondisi ini membuat jantung yang bertugas memompa darah bekerja lebih keras dan lama kelamaan rusak. Akibatnya, terjadi gagal jantung, serangan jantung, ataupun stroke.
Hal serupa terjadi pada pankreas yang memproduksi insulin untuk memproses gula. Jika bekerja terlalu keras, pankreas bisa terganggu. Akibatnya, gula darah tidak ada mengontrol sehingga kadarnya terus naik. Hal ini menyebabkan terjadinya diabetes tipe 2.
Adapun ginjal berperan penting dalam menyaring darah. Setelah kadar gula darah mencapai nilai tertentu, ginjal mulai melepaskan kelebihan gula ke urin. Diabetes yang tidak terkendali menyebabkan ginjal bekerja terlalu keras sehingga rusak.
Gula juga membanjiri hati yang bertugas memetabolisme serta mengubah kelebihan gula menjadi lemak yang disimpan di hati. Sebagian lemak dilepas ke aliran darah. Hal ini menyebabkan timbulnya elemen kunci MetS, yakni kadar lemak darah (trigliserida), kolesterol, dan tekanan darah tinggi, serta besarnya simpanan lemak dalam bentuk perut gendut.
Meski demikian, ada pengidap sindrom metabolik yang tidak kelebihan berat badan atau berperut gendut. Dengan kata lain, tubuh kurus maupun sedang bukan jaminan tak mengidap sindrom metabolik.
Penumpukan lemak dalam hati bisa berlanjut menjadi steatohepatitis (radang hati) non alkohol, dan steatosis (perlemakan hati), yang menimbulkan jaringan parut pada hati. Kondisi ini mengganggu pasokan darah ke hati sehingga berkembang menjadi sirosis (pengerasan hati).
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan pola makan tinggi gula dengan berbagai bentuk kanker.
Efek lain dari tingginya kadar gula dalam aliran darah yang berlangsung lama (kronis) adalah impotensi pada laki-laki. Hal itu karena ereksi memerlukan aliran darah yang terkontrol baik ke seluruh tubuh. Gangguan pada aliran darah akibat pengerasan dinding pembuluh darah membuat ereksi terganggu.
Sumber gula
Meski tahu bahwa gula berakibat buruk, secara umum masih banyak orang mengonsumsi gula berlebihan. Sebagai gambaran, orang Amerika mengonsumsi sekitar 17 sendok teh gula atau 270 kalori per hari. Rekomendasi Asosiasi Jantung Amerika (AHA), perempuan perlu membatasi asupan gula hanya 6 sendok teh per hari atau 100 kalori. Sedangkan jumlah gula maksimal yang boleh dikonsumsi laki-laki 9 sendok teh atau 150 kalori.
Permen, kue dan susu manis merupakan sumber gula. Begitu juga sirup, madu, gula palem, jus tebu, serta buah-buahan.
Bahkan, makanan yang cenderung asin seperti kecap, saus tomat, saus barbekyu, saus pasta, saus salad, kacang panggang, kopi dengan aneka rasa, juga mengandung gula.
Meski Anda tidak suka manis dan lebih memilih makan nasi, roti, keripik, atau kentang goreng, jangan dikira tidak mengandung gula. Karbohidrat kompleks dalam makanan itu akan dipecah menjadi gula sederhana di dalam tubuh.
Akibatnya, tubuh juga kebanjiran gula. Hal sama terjadi pada konsumsi nasi dan tepung terigu. Karena itu roti, kue, biskuit, mi, dan pasta juga buruk.
Mengatasi kecanduan
Penelitian menunjukkan, konsumsi lebih sedikit gula bisa membantu menurunkan tekanan darah, faktor risiko utama penyakit jantung. Orang yang mengonsumsi banyak gula (setidaknya 25 persen kalori berasal dari gula) berisiko dua kali lebih tinggi meninggal karena penyakit jantung dibandingkan orang yang total kalori dari gula kurang dari 10 persen.
Konsumsi lebih sedikit gula bisa membantu menurunkan tekanan darah, faktor risiko utama penyakit jantung.
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di JAMA Internal Medicine, 2014, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard, Frank Hu, dan kolega menemukan hubungan antara pola makan tinggi gula dengan risiko kematian akibat penyakit jantung yang lebih besar.
Dalam riset yang berlangsung selama 15 tahun itu didapatkan, orang yang 17- 21 persen kalorinya berasal dari gula berisiko 38 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit kardiovaskular dibandingkan mereka yang hanya 8 persen kalorinya dari gula.
Kajian Clara R Freeman dan kolega dari Institut Nasional Penyalahgunaan Alkohol dan Alkoholisme, Institut Kesehatan Nasional (NIH), AS, yang dipublikasi di Bioscience tahun 2018, menunjukkan, konsumsi gula berlebihan dapat memicu adaptasi saraf sehingga menimbulkan kecanduan gula.
Untuk mencegah berbagai penyakit kronis, mulailah mengganti gula dengan karbohidrat kompleks dalam buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian. Serat dalam makanan itu difermentasi oleh mikroba usus, menghasilkan asam lemak rantai pendek yang memperbaiki peradangan akibat gula.
Masalahnya, bisakah kita begitu saja berhenti mengonsumsi makanan manis?
Beberapa metode diet, misalnya diet keto, dan detoks gula, mengharuskan menghindari semua makanan manis. Idenya adalah membersihkan tubuh dari gula.
Namun, perubahan pola makan seperti ini terlalu drastis untuk diikuti. Akibatnya, sulit untuk menjadikan sebagai gaya hidup. Bisa jadi Anda hanya mampu melakukan dalam jangka pendek lantas kembali ke kebiasaan lama.
Cara yang lebih baik adalah melatih indra pencecap untuk menikmati makanan yang tidak manis. Jadi, secara bertahap menghilangkan makanan manis dari menu. Sebagai contoh, tidak mengonsumsi makanan manis setelah makan. Cara lain adalah, mengurangi gula dalam kopi atau teh. Mengganti gula dengan rasa manis buah segar, jus buah murni, ataupun buah kering.
Karena tubuh mencerna makanan alami secara perlahan, kandungan gula memberi pasokan energi yang stabil ke sel-sel tubuh. Konsumsi buah, sayuran, dan biji-bijian, terbukti mengurangi risiko penyakit kronis.
Pemanis buatan tidak disarankan, karena tidak membantu mengatasi keinginan untuk makan makanan manis. Sebaliknya, meningkatkan kecanduan.
Konsumsi protein merupakan cara mudah untuk mengatasi kecanduan makanan manis. Makanan tinggi protein akan dicerna perlahan, sehingga Anda merasa kenyang lebih lama.
Protein tidak membuat kadar gula darah melonjak tajam seperti saat mengonsumsi karbohidrat atau gula. Untuk susu, minumlah susu atau yogurt rendah lemak. Pilihan lain, ayam tanpa lemak, telur, ikan, dan berbagai jenis kacang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar