Sekalipun jumlah kasus terus bertambah dan korban Covid-19 masih berjatuhan, tapi euforia menuju normal baru (the new normal) di Indonesia begitu membuncah. Bahkan, data Ismail Fahmi dari Drone Emprit menunjukkan, Indonesia paling bersemangat menyuarakan istilah ini di jagat Twitter.
Dalam periode 16-27 Mei 2000, kata normal baru disebutkan 86.569 kali di Indonesia, disusul Amerika Serikat 11.073 kali, Inggris 8.039 kali dan India 3.836 kali. Mereka yang paling riuh menyuarakan normal baru ini adalah akun yang berasosiasi dengan Polri, serta para pendukung pemerintah dengan tagar utama "NewNormal" dan "TataKehidupanBaru." Sebagian cuitan ini dicuitkan mesin atau bot.
Wacana ini kemudian disikapi kelompok kritis dengan tagar "IndonesiaAbnormal". Sekalipun tak sebesar tagar "NewNormal", tapi wacana tanding ini lebih tersebar dan klusternya lebih besar besar. Wacana kritis ini juga lebih banyak dicuit ulang.
Pembelahan menyikapi kebijakan pemerintah di media sosial memang terus terjadi di Indonesia selama pandemi Covid-19 ini. Namun, terkait normal baru, pembelahan juga mencerminkan kontradiksi yang terkandung dari frasa ini.
Normal baru bisa dikategorikan sebagai oxymoron, frase kiasan yang memiliki arti bertentangan. Kata oxymoron sendiri berasal dari bahasa Yunani oxy yang berarti tajam danmoron yang berarti tumpul. Jadi, tajam atau tumpul? Ya begitulah, normal baru mengandung pertentangan: apakah sudah waktunya memasuki dunia baru atau sebaliknya kembali ke situasi lama?
Sebelum digunakan untuk merujuk situasi di tengah pandemi ini, istilah normal baru banyak digunakan pascatragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat guna menggambarkan kondisi psikis para penyintas dan keluarganya. Misalnya, Vicki Taylor (2002) menulis buku kondisi normal baru dari petugas pemadam kebakaran di New York setelah peristiwa itu.
Istilah ini kemudian diadopsi pebisnis dan investor, Roger McNamee (2004) sebagai peluang ekonomi di tengah ketidakpastian dalam bukunya, "The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk." Berikutnya, istilah ini banyak digunakan dalam bisnis dan ekonomi yang mengacu pada normalisasi setelah krisis keuangan di Amerika Serikat pada 2007-2008 dan resesi global 2008-2012.
Dari riwayat penggunannya ini, kita bisa melihat, normal baru merupakan konstruksi sosial yang dapat ditempa, dan itu berarti dapat dipengaruhi narasi dominan yang mendefinisikan sistem kita. Fleksibilitas penggunaan ini, memang menjadi daya tarik frasa ini.
Demikianlah yang terjadi di Indonesia. Dengan cepat, frasa anyar yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ini menjadi populer di kalangan publik setelah berulangkali diwacanakan pemerintah. Normal baru seolah menjadi muara dari rentetan narasi "kurva harus melandai di bulan Mei" dan "saatnya berdamai dengan korona."
Berikutnya, pemerintah daerah berkreasi dengan frasa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan pelonggaran dan "PSBB dengan pengecualian yang diperluas, dan bukan tidak mungkin nantinya PSBB tanpa pembatasan.
Maka, keramaian dan pengabaian pembatasan sosial menjadi banal, bahkan seperti bola salju yang terus menggelinding: jika mal sudah dibuka, kenapa tak boleh berjamaah di tempat ibadah?
Pemerintah memang menyampaikan, normal baru tetap harus dengan menerapkan protokol ketat, seperti memakai masker dan rajin cuci tangan. Namun, dalam komunikasi massa, publik biasanya hanya akan menangkap kesan pertama yang menyenangkan dan mengabaikan anjuran berikutnya yang memberatkan.
Apalagi, masyarakat kita itu cenderung gampang lupa. Ibaratnya, ketika sang bos mengumumkan akan menaikkan gaji, bahkan sebelum tanggal gajian, banyak yang sudah memesan kredit motor dan lupa dengan utang yang menggunung.
Daripada mendengungkan normal baru, pemerintah sebaiknya fokus meningkatkan kapasitas dan memberikan stimulus sosial ekonomi agar masyarakat lebih disiplin menerapkan pembatasan guna menekan penularan.
Sebagaimana disyaratkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada enam syarat yang harus dipenuhi sebelum suatu negara bisa memasuki normal baru. Keenam syarat itu meliputi, harus ada bukti bahwa tranmisi virus korona dikendalikan, kapasitas sistem kesehatan mampu mengantisipasi potensi ledakan kasus lagi dengan tes, penelusuran kontak dan perawatan, meminimalisasi risiko penularan di wilayah dengan kerentanan tinggi, memantau risiko penularan impor kasus, dan melibatkan masyarakat.
Jika syarat-syarat itu terpenuhi, bahkan tanpa mengerahkan juru propaganda, masyarakat pun akan kembali produktif seperti semula. Kita semua sudah lelah dan ingin kembali beraktivitas secara normal, bukan normal baru yang hanya ilusi karena Covid-19 belum terkendali…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar