Presiden AS Donald Trump menyebut hubungan resmi Israel-Uni Emirat Arab (UEA) yang diumumkan hari Kamis dua pekan lalu (13/8/2020) sebagai kesepakatan Abraham. Namun, ambisi Trump tampaknya tidak hanya berhenti pada tercapainya kesepakatan Abraham, tetapi lebih jauh dari itu, yakni terbangunnya koalisi Abraham di Timur Tengah.
Abraham (Nabi Ibrahim AS dalam agama Islam) adalah yang melahirkan anak cucu bangsa Arab dan Yahudi. Bangsa Arab lahir dari poros putra Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail AS. Adapun Bangsa Yahudi lahir dari poros putra Nabi Ibrahim AS, Nabi Ishak AS.
Koalisi Abraham adalah himpunan sebanyak mungkin negara Arab yang bersedia membangun hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Lawatan Menlu AS, Mike Pompeo, selama lima hari ke Timur Tengah pekan ini, adalah sebagai bagian dari upaya membangun koalisi Abraham tersebut. Dalam lawatan itu, Pompeo mengunjungi Israel, Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain.
Lawatan Pompeo tersebut dilakukan di tengah masih gegap gempitanya media Barat dan Israel memberitakan bahwa akan ada negara Arab lain yang menyusul UEA membuka hubungan resmi dengan Israel.
Pompeo tidak mengunjungi Arab Saudi dalam lawatannya kali ini. Ini jelas merupakan sikap kekecewaan AS terhadap Arab Saudi setelah Riyadh menolak keras membuka hubungan resmi dengan Israel saat ini. Arab Saudi masih memberi syarat bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika ada solusi politik atas isu Palestina sesuai dengan proposal damai Arab tahun 2002.
Sikap Arab Saudi yang masih menolak membuka hubungan resmi dengan Israel itu merupakan pukulan telak atas proyek koalisi Abraham yang hendak dibangun AS tersebut. Namun, AS tampak tidak menyerah dalam upaya membangun koalisi Abraham itu. Bagi Trump, koalisi Abraham untuk tujuan memperkuat posisi politiknya dalam menghadapi pemilu presiden (pilpres) AS pada November mendatang.
Bagi Trump, kesepakatan Abraham Israel-UEA saja sudah merupakan amunisi politik yang cukup signifikan menjelang pilpres AS itu. Apalagi kalau bisa terbangun koalisi Abraham sebelum pilpres AS bulan November nanti, Trump tentu sangat mengharapkan bisa semakin membantu memenangkan kembali pilpres AS.
Kalau melihat nama negara-negara yang dikunjungi Pompeo, yakni meliputi Sudan dan Bahrain, menunjukkan AS kini sedang menyasar negara Arab kelas tiga untuk dibujuk bersedia membuka diplomatik dengan Israel dan selanjutnya masuk koalisi Abraham.
Dalam peta dunia Arab, Sudan dan Bahrain bisa dikategorikan negara Arab kelas tiga atau negara lemah. Sudan dengan penduduk sekitar 41 juta jiwa dan pendapatan per kapita hanya 808 dollar AS, jelas merupakan negara kelas bawah. Sudan kini juga sedang butuh bantuan AS dan Israel agar bisa segera dicabut dari daftar negara pendukung teroris yang diembannya sejak tahun 1990-an, lantaran pernah menampung Pemimpin Tanzim Al Qaeda, Osama Bin Laden.
Pascalengsernya Presiden Omar Hassan Bashir bulan April 2019, Sudan berambisi membangun ekonomi yang ambruk. Namun, hambatan terbesar Sudan untuk membangun ekonominya adalah masih masuk dalam daftar negara pendukung teroris. Negara-negara Barat dan lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF, akan kesulitan—untuk tidak mengatakan dilarang— mengucurkan bantuan ekonomi kepada negara pendukung teroris.
Adapun Bahrain, meskipun ekonominya cukup kuat, tetapi secara geopolitik sangat lemah. Bahrain, negara kecil dengan penduduk hanya sekitar 1,5 juta jiwa, dikenal eksistensinya sangat tergantung kepada Arab Saudi dan AS.
Armada V AS berbasis di Bahrain sejak tahun 1990-an. Sedangkan, ketergantungan Bahrain terhadap Arab Saudi ditunjukkan oleh dihubungkannya Bahrain dengan wilayah Arab Saudi melalui jembatan Raja Fahd sepanjang 25 kilometer. Oleh karena itu, sangat wajar jika Pompeo sangat berharap Sudan dan Bahrain bersedia mengikuti jejak UEA dan bergabung dalam koalisi Abraham.
Meski demikian, di tengah kelemahan Sudan dan Bahrain itu, belum tentu misi Pompeo berjalan mulus. Bahrain akan berpikir dua kali, membuka hubungan resmi dengan Israel saat ini karena Arab Saudi menolak membuka hubungan resmi dengan Israel.
Jika Bahrain mendapat tekanan kuat dari AS, agar membuka hubungan resmi dengan Israel, tentu Bahrain akan minta restu Arab Saudi. Bahrain tidak akan berani melakukan langkah besar sebelum ada persetujuan dari Arab Saudi. Adapun Arab Saudi belum tentu memberi restu Bahrain membuka hubungan resmi dengan Israel saat ini, sebelum ada solusi politik menyeluruh atas isu Palestina.
Misi Pompeo di Sudan juga tampak tidak berjalan mulus. PM Sudan, Abdalla Hamdok menyampaikan kepada Pompeo setiba di Khartoum hari Selasa lalu (25/8/2020), pemerintah transisi Sudan saat ini tidak memiliki mandat membuka hubungan resmi dengan Israel.
Pemerintah transisi Sudan yang dibentuk tahun 2019 akan berakhir tahun 2022. Maka, Sudan sampai tahun 2022 tidak akan bisa membuka hubungan resmi dengan Israel. Gagalnya misi Pompeo di Sudan dan juga di Bahrain, maka koalisi Abraham tampaknya tidak segera terwujud di Timur Tengah.
Jika Trump ingin memaksakan terwujudnya koalisi Abraham antara Israel dengan negara-negara Arab yang sudah punya hubungan diplomatik dengan Tel Aviv, maka mungkin hanya UEA dan Mesir yang bisa tergabung dalam koalisi Abraham. Jordania yang sudah punya hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun 1994, belum tentu bersedia bergabung dengan koalisi Abraham saat ini.
Pasalnya, hubungan Jordania-Israel terakhir ini memburuk, setelah Israel bersikeras menganeksasi Lembah Jordan di Tepi Barat. Jordania menganggap, aneksasi Israel atas Lembah Jordan di Tepi Barat, mengancam keamanan nasionalnya karena akan mengubur solusi dua negara Israel dan Palestina, serta pada gilirannya bisa menghidupkan kembali wacana negara Palestina di Tepi Timur sungai Jordan atau wilayah Jordania sekarang.
Selain itu, hubungan Jordania dan UEA juga buruk setelah kasus perceraian antara Putri Haya Binti al-Hussein (saudara tiri Raja Jordania, Abdullah II) dan Penguasa Dubai yang sekaligus PM UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, tahun 2019.
Ditambah pula, Arab Saudi masih menolak membuka hubungan resmi dengan Israel saat ini, yang ikut mendorong Jordania tidak tertarik bergabung dalam koalisi Abraham.
Maka dalam konteks konflik Arab-Israel, kini ada tiga kubu di Timur Tengah. Pertama, kelompok negara yang menolak membuka hubungan resmi dengan Israel, tetapi bersedia berkomunikasi dengan Tel Aviv secara tidak resmi, seperti Arab Saudi, Sudan, Maroko, Bahrain, Qatar, Mauritania, Djibouti dan Oman.
Kedua, pihak yang membuka hubungan resmi dengan Israel, seperti Mesir, UEA, Otoritas Palestina dan Jordania. Ketiga, pihak yang menolak membuka hubungan resmi dengan Israel dan menolak pula melakukan komunikasi tidak resmi dengan Tel Aviv, seperti Suriah, Lebanon, Irak, Aljazair, Kuwait, Yaman, Libya, Somalia dan Tunisia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar