Di tengah pandemi dengan berbagai kabar mendungnya, salah satu pelopor ekonomi berbagi, Airbnb, dikabarkan tetap akan melakukan penawaran saham perdana di bursa. Rencana yang sempat bocor ke media itu membuat banyak pihak terkaget-kaget karena perusahaan teknologi dengan basis persewaan penginapan itu mengalami penurunan pendapatan yang drastis dan sempoyongan di tengah pandemi.
September tahun lalu, Airbnb memang telah mengumumkan akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada tahun ini. Namun, sejak pandemi menghantam, valuasi Airbnb dikabarkan turun drastis dari 31 miliar dollar AS menjadi 18 miliar dollar AS. Pendapatan Airbnb semester pertama tahun ini turun sekitar 67 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Mereka memecat sekitar 2.000 karyawannya di seluruh dunia. Airbnb juga mencari pendanaan darurat di tengah masalah yang menumpuk. Kabar rencana IPO itu pun sempat kabur.
Publik juga tidak yakin IPO akan dilakukan tahun ini. Meski demikian, pada Juni CEO Airbnb Brian Chesky mengatakan, dalam beberapa pekan ke depan akan mulai ada kenaikan pemesanan kamar. Orang mulai memilih wisata jarak dekat, terutama di daerah pinggiran, dan melibatkan komunitas sangat kecil. Optimisme muncul karena orang akan kembali memesan kamar, terutama di perdesaan dan kota-kota yang kurang dikenal. Tak lama setelah itu, muncul kabar soal bocoran rencana penawaran saham perdana perusahaan ini.
Hingga pekan lalu, kepastian IPO muncul setelah mereka menyerahkan sejumlah dokumen ke otoritas bursa di Amerika Serikat. Rencana itu menurut beberapa analis pada beberapa bulan lalu sulit dibayangkan akan terjadi. Apalagi, saat itu, Chesky menyebutkan, bisnis yang dibangun bertahun-tahun runtuh hanya dalam waktu empat sampai enam minggu. Banyak orang menduga masa depan bisnis berbagi penginapan ini akan tamat karena pandemi yang meluas.
Pilihan sudah diambil. Apabila Airbnb ingin sukses dalam IPO, mereka harus berhasil meyakinkan investor bahwa mereka akan mampu melalui masa sulit saat ini dan kemudian menjadi perusahaan yang profit di tengah tren pariwisata jarak pendek dan penuh dengan pembatasan. Meski rencana itu berat, seorang analis di The New York Times mengatakan, rencana IPO itu terbantu oleh pasar saham yang tengah bersemangat. Pasar saham juga dilaporkan masih kuat meski ekonomi tengah dihantam pandemi.
Konteks yang menguntungkan juga adalah banyak investor yang melirik perusahaan teknologi sekalipun tengah terjadi pandemi. Dua perusahaan teknologi yang telah melantai di bursa sebelumnya, yaitu sebuah perusahaan penyedia layanan asuransi Lemonade dan perusahaan penyedia data bisnis ZoomInfo, mengalami lonjakan harga saham. Tidak mengherankan tahun ini beberapa perusahaan teknologi lainnya juga berencana menawarkan saham di tengah pandemi.
Meski demikian, masih muncul pertanyaan, mengapa Airbnb begitu percaya diri dan tetap merencanakan IPO pada tahun ini? Sejumlah analisis meyakini kenyataan tren wisata jarak pendek bakal menjadi andalan perusahaan itu. Seorang analis malah mengatakan wisata jenis ini bakal mengalami lonjakan. Airbnb diakui sebagai perusahaan paling siap mengantisipasi perubahan tren dari wisata jarak jauh ke wisata jarak dekat.
Kekuatan Aibnb di wisata perkotaan selama ini ternyata malah jadi titik lemah. Ada duit besar di sana, tetapi akibat pandemi wisata perkotaan tak bisa lagi diandalkan. Oleh karena itu, kemampuan mereka untuk beralih konsentrasi dari area perkotaan ke area pinggiran dan perdesaan bakal menentukan masa depan bisnis mereka. Ada pesaing di pasar itu, yaitu aplikasi yang selama ini melayani pemesanan vila di perdesaan. Akan tetapi, dengan keunggulan berupa kemudahan dalam pemesanan serta nama Airbnb yang melekat di masyarakat, kemungkinan bakal menjadikan dia lebih unggul.
Untuk urusan ini, Airbnb tidak main-main. Mereka tidak sekadar melihat peluang saja, tetapi juga memastikan para calon konsumen merasa aman dan nyaman. Oleh karena itu, pada saat mereka mengincar pasar wisata jarak dekat, Airbnb memperketat aturan bagi para pemilik properti dan tamunya agar tidak menyebarkan dan tidak terinfeksi selama berada di properti yang bergabung di Airbnb. Mereka membuat aturan, yaitu satu properti maksimal dihuni 16 orang. Pemilik properti juga dilarang menyelenggarakan pesta karena dikhawatirkan menjadi tempat penularan Covid-19.
Untuk menanganai isu virus korona, Airbnb menyewa seorang ahli kesehatan masyarakat. Ia membuat panduan kesehatan bagi para pemilik properti ataupun tamu selama berada di penginapan. Mereka juga membuat aplikasi untuk mendeteksi pemilik properti yang mengikuti protokol. Penanganan kebersihan dan kesehatan di properti berbagi penginapan ini memang harus ditangani lebih merepotkan dibandingkan dengan di hotel. Secara umum, persepsi masyarakat, fasilitas hotel lebih sehat dibandingkan dengan fasilitas persewaan penginapan, seperti Airbnb dan sejenisnya. Persepsi ini yang hendak diubah.
Ujung dari semua itu adalah kembali soal kemampuan manajemen Airbnb meraih keuntungan. Investor pasti akan menanyakan hal ini. Sebagaimana isu yang muncul pada akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, investor tidak lagi terlalu peduli dengan valuasi. Mereka fokus pada pendapatan dan profit. Airbnb harus bisa meyakinkan bahwa bisnis mereka bakal bertahan dan mendapat keuntungan.
Informasi yang beredar menyebutkan, pada bulan Juli pemesan kamar meningkat 25 persen dibandingkan dengan tahun lalu di wilayah pinggiran. Pada awal bulan itu juga muncul permintaan 1 juta malam untuk menginap hingga beberapa waktu ke depan secara global. Untuk pertama kali terjadi lonjakan permintaan sejak Maret lalu.
Apakah Airbnb akan sukses dalam IPO? Semua pihak masih menunggu detail langkah mereka. Banyak yang optimistis, tetapi tak sedikit yang pesimistis. Rencana itu menjadi semacam batu ujian bagi ketahanan perusahaan teknologi di tengah pandemi, terutama untuk generasi awal usaha rintisan dengan konsep ekonomi berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar