Sejak menjelang 17 Agustus dan diprediksi sampai Minggu (23/8/2020), libur panjang dinikmati sebagian warga Jabodetabek. Jumlah pelancong di seluruh tempat wisata di Jakarta dan sekitarnya melonjak, tak terkecuali di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kicauan informasi akun Traffic Management Center Polda Metro Jaya dan PT Jasamarga di Twitter menginformasikan, akibat melonjaknya volume kendaraan bermotor pribadi, sejak Kamis (20/8/2020) sudah diberlakukan sistem satu arah ke Puncak. Kondisi supermacet diprediksi bakal terjadi di Puncak, Sabtu ini.
Kendaraan pribadi, khususnya mobil, mendominasi sepanjang 22 kilometer jalan dari Simpang Gadog hingga Puncak Pass. Data Jasa Marga pada Minggu, 16 Agustus, jumlah kendaraan bermotor, khususnya roda empat, yang meninggalkan Jakarta ke arah timur, barat, dan selatan metropolitan ini meningkat hampir 65 persen dari lalu lintas normal.
Sebagian dari total penambahan volume kendaraan itu menyesaki ruas jalan arah Puncak. Terhitung pada 16 Agustus, ada lebih dari 119.000 unit kendaraan bermotor memenuhi Puncak. Jumat kemarin, 75.000-an kendaraan terpantau sudah ada di lokasi yang sama dan diperkirakan bertambah pesat hari ini.
Baca juga : (R)Evolusi Pusat Belanja
Kerumunan orang dilaporkan ada di berbagai titik di area Puncak, terutama terkonsentrasi di tempat wisata, seperti Kebun Teh Gunung Mas dan Taman Safari Indonesia.
Saat diberlakukan kebijakan satu arah, arus kendaraan yang tengah melaju ke arah berlawanan dihentikan. Antrean kendaraan berjam-jam tak terhindarkan. Melepas penat dan jenuh menunggu lama, pengemudi dan penumpang pun keluar dari kendaraan, sekadar membeli makanan dari para pedagang keliling hingga mencari kamar kecil dadakan.
Terbayang susahnya menjaga jarak menerapkan protokol pencegahan penyebaran Covid-19. Seperti beberapa pemberitaan di media ini, ratusan petugas satuan polisi pamong praja setempat maupun polisi berupaya meminta warga selalu patuh pada protokol pencegahan wabah. Namun, sebagian tetap bandel tidak bermasker dan tidak menjaga jarak.
Sampah, mulai plastik bekas bungkus makanan sampai popok sekali pakai, biasa ditemukan di tengah antrean kendaraan itu. Mudah menemukan berbagai jenis sampah di sepanjang saluran air di bentangan area pegunungan berjarak sekitar 1,5 jam dari Jakarta saat tidak macet itu.
Sesekali tengok juga rumah makan, vila, atau permukiman warga yang berbatasan langsung dengan sungai atau anak-anak sungai, dijamin menemukan pipa-pipa paralon yang menyalurkan limbah dari dapur, kamar mandi, dan WC mereka langsung ke badan air.
Bermula di abad ke-18
Sikap manusia, baik pelancong, pemilik usaha, pemegang kebijakan, maupun warga setempat, yang sekadar mau enak, tetapi "ogah" bertanggung jawab terhadap kebersihan dan kesehatan publik, apalagi kelestarian kawasan Puncak, tidak sekarang saja terjadi. Eksploitasi terhadap benteng tutupan hijau, hulu sungai sekaligus daerah resapan air, bagian penting dari sistem pengendalian banjir Ibu Kota dan sekitarnya ini terjadi sejak awal abad ke-18.
Buku The Dutch Colonial System in the East Indies (1983) menjelaskan sistem perkebunan yang dikenalkan dan diterapkan kolonial Belanda merambah kaki Gunung Gede-Pangrango yang sejuk, sering berkabut tebal, dan subur luar biasa itu setidaknya dimulai tahun 1710-1730.
Kawasan tersebut kian terbuka saat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada tahun 1808 membangun Jalan Raya Pos (Kompas, 19 Februari 2018). Rute tahap awal jalan raya itu meliputi Bogor, Cipanas, Cianjur, Bandung, Sumedang, hingga Karangsambung (Cirebon). Perluasan pembukaan kawasan perkebunan berbagai komoditas, termasuk kopi, semakin masif di era tanam paksa di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830-an.
Saat hutan alam dengan berbagai jenis pohon dibabat dan lantas diganti dengan satu jenis tanaman saja di luas area yang sama, keseimbangan lingkungan jelas terpengaruh. Dalamsalah satu jurnal yang diterbitkan Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, disebutkan secara umum tanaman teh berakar dangkal yang peka terhadap sifat fisik tanah dan memiliki tipe akar tunggang dengan panjang mencapai 50-150 sentimeter (cm) dan diameter 7,5 cm.
Masih dari jurnal tersebut, akar teh tumbuh ke arah lateral, penyebarannya dibatasi oleh perdu di dekatnya. Perakaran utama berkembang pada lapisan tanah atas sedalam 0-25 cm, yang merupakan tempat utama berakumulasinya unsur-unsur hara tanaman di dalam tanah.
Penetrasi akar teh tersebut terhitung tidak terlalu merasuk mencengkeram ke dalam tanah. Hal ini melatari pemikiran ahli-ahli masa kini bahwa pembukaan besar-besaran tutupan hijau untuk perkebunan teh selama berpuluh tahun menyebabkan tanah di Puncak lebih mudah erosi.
"Pemerintah kolonial jugalah yang mengubah lahan di Puncak, Bogor, dari hutan jadi kebun teh pemicu erosi serta sedimentasi besar-besaran di sungai-sungai di hilir," kata sejarawan Restu Gunawan (Kompas, 1 September 2016).
Terbukanya kawasan Puncak semakin menjadi-jadi saat demam tetirah mulai merasuki warga Ibu Kota dan sekitarnya pada kurun 1950-1960-an (Kompas, 19 Februari 2018). Kesejukan Puncak menarik orang kota di bawahnya untuk melepaskan diri sejenak dari panasnya dataran Teluk Jakarta. Mulanya muncul bangunan yang didirikan instansi pemerintah pengelola usaha perkebunan di Puncak, lama-lama instansi lain yang tidak terkait perkebunan pun memiliki gedung di sana. Rata-rata bangunan itu untuk pelatihan dan wisata karyawan beserta keluarga.
Pada tahun 1970-an, gejala yang sama kian berkembang, bahkan terbilang menandai era baru Puncak sebagai pusat rujukan wisata kaum urban Jabodetabek. Bangunan vila dan tempat wisata milik pribadi maupun perusahaan swasta menjamur. Lahan di Puncak banyak dimiliki dan dikelola warga dari luar, terutama dari Jakarta.
Malu pada Gunung Fuji
Separuh abad berlalu, cerita tentang Puncak selalu tak jauh berulang dari rusaknya tutupan hutan alam yang turut menyumbang pada tidak terkendalinya banjir di Ibu Kota dan sekitarnya. Banjir bandang dan longsor menjadi bencana alam yang bertubi menerpa. Selain itu, informasi kemacetan berjam-jam diselingi kecelakaan maut dengan korban-korban jiwa yang banyak berjatuhan rutin hadir nyaris tiap tahun.
Kabar tidak baik itu selalu diimbangi ulasan rutin yang menyorot gemerlap menggoda obyek-obyek wisata di Puncak. Tak lupa munculnya tempat-tempat rekreasi baru, terus meluas dan beragamnya daerah tujuan melancong di sana.
Pengelolaan Puncak yang masuk area Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ini bisa dibilang belum terbukti bisa menyatukan antara kepentingan bisnis wisata dan mendesaknya pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan ini tidak semata agar Jakarta tak lagi banjir, melainkan demi kelangsungan hajat hidup warga setempat sendiri.
Terhitung dalam dua tahun terakhir, terobosan pengelolaan Puncak yang digadang-gadang pemerintah pusat maupun daerah adalah pembangunan Bendungan Ciawi dan Sukamahi serta pelebaran jalan sepanjang 22 kilometer diiringi penataan pedagang kaki lima dan penyediaan fasilitas trotoar. Bendungan diproyeksikan akan menjadi salah satu faktor kunci pengendali banjir untuk kawasan perkotaan Jabodetabek. Penataan jalan terutama demi membuat arus kendaraan di kawasan itu lebih nyaman.
Namun, sampai saat ini, tidak diketahui pasti program pemerintah yang fokus ke pelestarian lingkungan alam Puncak. Padahal, pada 2013, santer dikabarkan tentang tutupan hijau Puncak yang hanya tersisa di bawah 10 persennya saja dibandingkan dengan 20-30 tahun sebelumnya.
Kondisi yang mendera daerah berjarak sekitar 90 kilometer dari Jakarta ini memilukan. Namun, sebenarnya Puncak tidak sendirian mengalami situasi buruk itu. Meskipun tidak separah Puncak, kondisi Gunung Fuji di Jepang sampai 10-15 tahun lalu pun dilaporkan tidak bagus.
Tetsuya Hanamura dalam laporannya tentang pengelolaan lingkungan Gunung Fuji dan gunung-gunung lain di Jepang menjelaskan bahwa hingga tahun 2009, lautan sampah yang dibuang ribuan pendaki membuat Fuji kotor dan bau. Gunung ini berjarak sekitar 100 kilometer dari Tokyo, kawasan metropolitan dan pusat bisnis terbesar di Jepang.
[embed]https://www.slideshare.net/sustainablesummitsinitiative/tetsuya-hanamura-environmental-management-on-mt-fuji-and-mountains-in-japan[/embed]
Doktor anggota komite koordinasi konservasi gunung di Jepang ini memaparkan, data tahun 2013 mencatat Gunung Fuji didaki 300.000 orang per tahun atau rata-rata maksimal 10.000 orang per hari. Fuji masuk jajaran sedikit gunung yang paling banyak didaki di dunia. Selain melambungkan nama Fuji dan Jepang sebagai destinasi wisata, Hanamura menyatakan pendakian gunung ini berdampak pada terusiknya lingkungan suci di Negeri Matahari Terbit itu.
Ia mencatat ada rentang panjang menyelamatkan Fuji yang dimulai sejak 1994. Dua tahun kemudian, dicanangkan Operasi Bersih Gunung Fuji yang melibatkan publik, termasuk para sukarelawan. Tekad itu makin bulat dan kukuh saat Jepang didorong mengajukan Gunung Fuji sebagai Situs Warisan Dunia ke Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Dunia (UNESCO) pada 2005.
Pekerjaan utama pemerintah setempat dan warganya agar cita-cita meraih gelar Situs Warisan Dunia adalah mengenyahkan sampah dan limbah. Fuji sempat dikenal sebagai tempat sampah raksasa. Di gunung itu dulu ada "Sungai Putih" alias jalur berpuluh meter yang dipenuhi sisa kotoran manusia serta tisu toilet di dekat jalur pendakian.
Selain itu, mereka harus memastikan lingkungan alam sekitar terjamin kelestariannya. Ini artinya melindungi kekayaan vegetasi, tinggalan sejarah dan budaya, serta semua yang terkait dengan predikat Fuji sebagai tempat keramat bagi publik Jepang, sekaligus sumber inspirasi seni dan budaya luhur mereka.
Dana pemulihan Fuji dikumpulkan dari pembiayaan pemerintah pusat, daerah, pihak swasta, serta donasi warga. Sukarelawan pemungut sampah hampir setiap hari bergerak naik turun menyisir, memungut, dan membawa turun berbagai jenis limbah. Pondok-pondok peristirahatan pendaki ditata dan dilengkapi toilet ramah lingkungan. Bahan-bahan yang bisa didaur ulang digunakan, mulai dari alat makan hingga air limbah. Arus pendaki dibatasi dan diatur serta jalur pendakian dibenahi.
Pada tahun 2013, Gunung Fuji resmi dinobatkan menjadi Situs Warisan Dunia. Kerja keras dan jerih payah selama hampir dua dekade terbayar sudah. Kini, Gunung Fuji makin moncer sebagai tujuan wisata sekaligus terjaga kelestarian dan kesuciannya.
Sentimen kepedulian serupa rasanya bisa ditiru dan diterapkan dalam upaya merawat Puncak. Warga Nusantara dikenal mudah tersulut rasa sosialnya, termasuk dalam jajaran lima besar negara dengan rakyat paling dermawan sedunia. Kondisi itu sepatutnya bisa dikelola untuk fokus bekerja bersama pemerintah menyelamatkan Puncak.
Jika merujuk pada Jepang dan Gunung Fuji, kuncinya satu, yakni fokus pada tujuan dan ada kejelasan tahapan cara mencapai target. Hingga suatu hari nanti, terwujudlah asa Puncak yang tetap menjadi pujaan dan tak lagi malang. Pasti bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar