Banyak perspektif tentang hubungan resmi Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) yang diumumkan Kamis (13/8/2020). Bisa dari perspektif teknologi, ekonomi, keamanan, isu konflik Israel-Palestina, hingga geopolitik.
Tulisan ini ingin lebih fokus menyorot perspektif geopolitik dalam hubungan resmi Israel-UEA itu.
Sesungguhnya hubungan resmi Israel-UEA tidak kalah kuat dampak pengaruhnya secara geopolitik dibandingkan dengan hubungan damai Israel-Mesir yang dicapai di Camp David, Amerika Serikat, 1979.
Dulu, tercapainya kesepakatan damai Israel-Mesir pada 1979 mengubah total peta geopolitik di Timur Tengah, persisnya peta konflik Arab-Israel, dengan keluarnya Mesir dari front konflik melawan Israel. Keluarnya Mesir dari front konflik dengan Israel sangat melemahkan kekuatan barisan bangsa Arab melawan Israel. Hal itu mengingat Mesir adalah negara Arab terbesar dalam demografi, sumber daya manusia (SDM), dan kekuatan militer.
Hingga ada anekdot, tanpa Mesir tidak ada perang besar bangsa Arab melawan Israel. Itulah memang yang terjadi. Perang Arab-Israel tahun 1973 menjadi perang terakhir bangsa Arab melawan Israel. Pasca-perjanjian damai Mesir-Israel pada 1979, memang tidak ada lagi perang besar Arab-Israel.
Perang Arab-Israel pasca-1979 terjadi dalam skala lebih kecil yang dilancarkan faksi-faksi Arab bersenjata, seperti perang Israel-PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Lebanon tahun 1982, Israel-Hezbollah pada 1996 dan 2006, serta Israel-Hamas di Jalur Gaza pada 2009, 2012, dan 2014.
Kini, perjanjian damai Israel-UEA bisa mengubah pula secara signifikan peta pertarungan geopolitik di Timur Tengah, persisnya pertarungan poros UEA melawan poros Iran dan poros Turki. Perjanjian damai Israel-UEA itu tentu sangat memperkuat posisi poros UEA yang menghimpun Mesir, Arab Saudi, dan Bahrain melawan poros Iran dan poros Turki.
Israel juga sangat bisa mengambil manfaat secara strategis melalui hubungan resminya dengan UEA dalam melawan Iran. Israel selama ini menetapkan Iran sebagai musuh terbesarnya di Timur Tengah. Namun, wilayah Israel dan Iran terpisah 2.342 kilometer. Pesawat tempur terbaru Israel buatan AS, F-35, harus mengisi bahan bakar di udara untuk mencapai wilayah Iran. Hal itu menjadi kendala dalam operasi militer besar.
Namun, kehadiran Israel di UEA pasca-kesepakatan damai itu membuat Iran berada di depan mata Israel. Jarak antara pantai kota Sharjah di UEA dan pantai Iran hanya sekitar 105 km.
Impian Israel selama ini bisa mencapai perbatasan langsung dengan Iran, baik darat maupun laut, untuk memudahkan mobilisasi militer dan intelijen dalam menghadapi Iran. Kini, impian Israel itu terwujud dengan bisa berada di perbatasan laut langsung dengan Iran melalui keberadaannya di UEA.
Sebaliknya, Iran menjadi pihak yang merasa dirugikan dari hubungan resmi Israel-UEA itu. Oleh karena itu, para pemimpin Iran, seperti Pemimpin Spiritual Iran Ali Khamenei, Presiden Iran Hassan Rouhani, dan Menlu Iran Mohammad Javad Zarif, sangat mengutuk hubungan resmi Israel-UEA.
Iran pun kini menyadari bahwa Israel sudah berada hanya beberapa kilometer dari wilayahnya. Tentu bagi Iran hal itu dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap keamanan nasionalnya. Visi besar Iran adalah kawasan Teluk harus bersih dari kekuatan asing dan persoalan kawasan Teluk harus ditangani sendiri oleh negara-negara di kawasan tersebut.
Maka, kehadiran Israel di UEA semakin mengubur visi besar Iran tersebut. Selama ini, Iran menganggap kehadiran armada V AS di Bahrain merupakan hambatan terbesar atas terwujudnya visi besar Iran itu.
Menurut pengamat militer Israel pada harian Yedioth Ahronoth, Alex Fishman, hubungan resmi Israel-UEA akan membuka pintu bagi Tel Aviv untuk semakin hadir langsung secara militer dan intelijen di UEA serta kawasan Teluk. Apalagi, ujar Fishman, UEA kini sedang gencar berusaha melakukan pembaruan persenjataannya untuk menggantikan armada persenjataannya yang sudah usang.
Seperti diketahui, UEA saat ini ingin sekali memiliki pesawat tempur terbaru buatan AS, F-35, dan meningkatkan pesawat tempur buatan AS F-16 yang dimilikinya saat ini.
Menurut Fishman, salah satu motif UEA membangun hubungan resmi dengan Israel itu adalah sebagai jembatan untuk mendapatkan pesawat tempur F-35 dan bisa menggunakan tenaga ahli Israel untuk prosesupgrade pesawat tempur F-16.
Alex Fishman mengatakan, hubungan resmi Israel-UEA semakin memperkuat posisi Israel dalam melawan Iran dan loyalisnya di Irak, Suriah, Jalur Gaza, dan Lebanon.
Hal yang sama disampaikan analis politik pada harian Haaretz, Zvi Bar'el. Menurut Bar'el, hubungan resmi Israel-UEA yang akan mengantarkan terciptanya kerja sama militer, keamanan, dan intelijen kedua negara itu, membawa Israel masuk ke dalam barisan kubu UEA melawan Iran.
Perubahan signifikan secara geopolitik dari hubungan resmi Israel-UEA itu tidak hanya terjadi di kawasan Teluk, tetapi juga di kawasan Laut Merah dan kawasan Laut Tengah. Israel dan UEA saling membutuhkan di Laut Merah. UEA butuh bantuan suplai informasi intelijen dari Israel untuk melawan kelompok Al- Houthi yang menguasai sebagian besar pantai barat Yaman, khususnya Pelabuhan Hodeidah.
Sebaliknya, Israel juga punya kepentingan meredam pengaruh kelompok Al-Houthi pro-Iran di Yaman. Israel melihat kehadiran kelompok Al-Houthi di pantai barat Yaman sama halnya dengan kehadiran Iran di Laut Merah.
Israel selama ini berjuang melalui kerja sama dengan negara-negara Afrika, khususnya Etiopia, untuk mencegah Laut Merah menjadi laut yang dikontrol negara atau kelompok radikal. Karena itu, Israel-UEA punya kepentingan strategis bersama, yakni meredam Iran dan loyalisnya di Laut Merah. Seperti dimaklumi, UEA bersama Arab Saudi melancarkan perang melawan kelompok Al-Houthi sejak 2015.
Salah satu klausul perjanjian damai Israel-UEA adalah meningkatkan kerja sama militer dan intelijen di Laut Merah. Menurut dokumen yang dikeluarkan dinas intelijen Israel, kerja sama militer dan keamanan merupakan prioritas dalam hubungan resmi Israel-UEA.
Di Laut Tengah, menurut pengamat politik Israel pada harian Haaretz, Zvi Bar'el, UEA siap ikut membiayai pembangunan pipa bawah laut oleh Israel, Mesir, dan Siprus untuk mengalirkan gas dari ladang-ladang di bawah Laut Tengah menuju Eropa.
Proyek itu untuk menyaingi proyek pembangunan pipa di bawah laut Tengah yang, menurut rencana, akan dibangun Turki-Libya untuk mengalirkan gas dari Libya ke Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar