Bulan Sura kali ini, butuh laku khusus. Terlebih lagi wabah korona masih gentayangan. Laku zoobotani budaya Jawa memang harus ditempuh jika ingin selamat dari sengatan korona. Orang Jawa ibaratnya sekarang harus memasuki tiga era, yaitu (1) Sura Lara,(2) Sura Gati, dan (2) Sura Suba, yang penuh teka-teki. Suka tidak suka, kali ini orang Jawa memasuki siklus Sura Lara. Artinya, malam 1 Sura harus diperingati dalam kondisi wabah korona yang masih bertubi-tubi. Saya sebut sebagai bulan Sura Lara karena hanya orang Jawa yang eling lawan waspada yang bisa selamat dari gempuran pandemi korona.
Sura Lara berarti 'bulan yang penuh wabah', membutuhkan spiritual healing. Sura Lara memang penuh tantangan. Biasanya, orang Jawa melakukan siraman atau padusan menjelang malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air dan dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk sembah raga (sariat) dengan tujuan menyucikan badan sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura.
Namun, era Sura Lara ini padusan di beberapa lokasi harus tereliminasi. Doanya dalam padusan tentu satu fokus, yakni memohon keselamatan diri dari gangguan wabah. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi, misalnya ketika mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 siraman merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan.
Sura Lara berarti 'bulan yang penuh wabah', membutuhkan spiritual healing.
Awalnya, tapa mbisu (membisu); ritual tanpa bicara mengelilingi benteng keraton. Ini sebenarnya perilaku simbolik sebagai simbol tirakat sepanjang bulan Sura untuk mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab, dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud.
Bahkan, ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat "numusi" atau terwujud. Dengan demikian, ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri ataupun orang lain. Namun, perkembangan berikutnya, ternyata di era Sura Lara,mbisu menjadi kewaajiban saat korona merebak, orang-orang harus membisu tinggal di rumah.
"Sura Gati"
Sura Gati berarti inti penting pelaksanaan bulan Sura bagi orang Jawa. Pelaksanaan bulan Sura butuh laku zoobotani budaya Jawa. Sura itu bulan permulaan hitungan dalam takwim Jawa. Orang tua-tua dahulu menyebut bulan Sura sebagaigalenganing taun, artinya 'tanggul pembatas tahun'. Oleh karena itu, orang Jawa selalu menganggap bulan Sura sebagai bulan sakral, sebagai kebalikan profan.
Yang menjadi laku bulan Sura meliputi tiga hal, yaitu (1) mangasah mingising budi, artinya membersihkan diri, introspeksi, dan mawas diri agar budi senantiasa jernih, dengan cara tapa ngidang, hanya memakan pupus-pupus daun segar, yaitu daun kacang panjang, bayam, dan kenikir; (2)memasuh malaning bumi, artinya membersihkan, mencegah, mengobati penyakit, termasuk wabah korona yang semakin ganas ini, dengan memasang daun alang-alang di kanan kiri pintu rumah; dan (3) memayu hayuning bawana, artinya menciptakan wajah hijau daun yang menyejukkan agar dunia semakin tenteram. Laku simbolik orang Jawa, yaitu memberdayakan tanaman pisang mara seba di halaman rumah.
Sura Gati juga berpengaruh pada eranew normal. Di era new normal ini, orang Jawa harus memasuki bulan Sura dalam suasana yang berbeda. Orang Jawa memang dalam setiap perilaku dan langkahnya lebih bersifat simbolik. Para petani dan peternak Jawa memiliki tradisi yang unik dalam menghadapi bulan Sura. Mereka ada yang ingin tetap menyiasati new normal agar tak kehilangan roh bulan Sura.
Orang Jawa memang dalam setiap perilaku dan langkahnya lebih bersifat simbolik.
Bagi orang yang masih taat adat, tanggal 1 Sura selalu diisi momentum simbolik yang bersifat zoobotani spiritual. Mereka menjalankan ritual menanam tumbuhan khas sebagaipepeling, yaitu (1) pohon jarak,agar selamat dari gangguan wabah korona, bisa sadar kosmis menjaga jarak, tak bersentuhan raga tetapi hati tetap erat; (2) pohon kemuning, artinya agar pikiran selalu ning (jernih), bersih, dan sehat; serta (3) pohon andong, artinyaandongaa, berdoalah, agar selamat menjalani tahun baru. Tumbuh-tumbuhan tersebut merupakan wujud etnobotani spiritual. Artinya, tumbuhan ekologis yang bisa memberikan sugesti spiritual.
Selain itu, para petani dan peternak Jawa juga memelihara hewan ternak dengan mengalungi leher hewannya menggunakan janur kuning. Hewan, sebagai bagian zoologi, oleh orang Jawa dianggap sebagai raja kaya. Oleh sebab itu, pada bulan Sura mereka mencoba memberikan layanan simbolik, mengalungkan janur sebagai lambang cahaya. Janur berasal dari dua kata, yaitu ja berarti 'lahir' dannur berarti 'cahaya'. Pengalungan janur kuning pada hewan ternak diharapkan akan mendatangkan cahaya ketenteraman.
Beragam daun yang menjadi wahana spiritual yaitu pupus daun kacang panjang, bayam, dan kenikir tergolong makanan atau gastronomi. Dedaunan tersebut boleh disebut gastrobotani kultural, yaitu daun yang sekaligus sebagai makanan dan simbol kultural. Sebagai simbol, daun kacang panjang berarti cencanglah, ikatlah hawa nafsu. Agar hidup terasa seperti daun bayam, lambang ayem tenteram dan tenang. Untuk itu, masih ditambah pupus kenikir, artinya hening pikir.
Untuk menjaga kosmos dari gangguan makhluk halus dan sejumlah wabah, menggunakan simbol daun alang-alang. Alang-alang berbentuk seperti keris, tajam, untuk membunuh segala macam godaan yang berbahaya. Lebih simbolik lagi, orang Jawa melakukan gerakan menanam pohon pisang maraseba.
Pisang berarti tepining sangkan, artinya agar manusia selalu ingat bahwa suatu saat akan seba (sowan), seperti denyut lelagon Ilir-ilir berbunyi mumpung jembar kalangane mumpung gedhe rembulane dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore. Beragam tumbuhan atau botani tersebut saya golongkan sebagai kosmobotani kultural. Artinya, tumbuhan yang memiliki keterkaitan erat dengan kosmologi.
Orang awam kemungkinan akan menyaksikan ada keganjilan dalam setiap peringatan bulan Sura oleh orang Jawa. Masih banyak orang yang kurang paham spiritualitas hidup Jawa itu penuh dengan dunia simbol. Orang Jawa yang aktivitas sehari-harinya sebagai penguasa, agar tetap langgeng kekuasaannya pergi ritual ke Gunung Srandil, Cilacap, Jawa Tengah. Di tempat ini mereka meneges kepada Ki Lurah Semar.
Orang awam kemungkinan akan menyaksikan ada keganjilan dalam setiap peringatan bulan Sura oleh orang Jawa.
Simbol kepercayaan Jawa bersifat dongeng, mitos, dan irasional itu, ada yang disebut laku zoobotani budaya. Artinya, berasal dari kata zoologi (hewan) dan botani atau tumbuhan.
Pada malam 1 Sura, orang Jawa beramai-ramai mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat dengan sesaji berupa hewan dan tumbuhan. Ada yang datang ke makam, lalu membakar kemenyan, disertai bunga tiga macam, yaitu kantil, kenanga, dan mawar sebagai unsur botani. Saat itu pula, ada yang melepaskan hewan berupa sepasang burung perkutut sebagai unsur zoologi.
"Sura Suba"
Sura Suba adalah era bulan Sura yang ditanggapi dengan rasa gembira. Laku zoobotani budaya Jawa pantas menjadi pertimbangan. Biarpun suasana wabah, memasuki era new normal, perlu gembira. Sebab, kalau terlalu takut menghadapi korona, raga akan semakin rentan. Hal ini sesuai dengan istilah sura yang telah lama dikenal oleh masyarakat Jawa, berarti 'berani'. Maka, memasuki bulan Sura harus berani menghadapi berbagai risiko, seperti melawan gangguan wabah korona yang semakin ganas.
Orang Jawa melawan wabah, gangguan duniawi, dan godaan semesta dengan menjalankan ritus tirakat pada malam 1 Sura. Bagi masyarakat Jawa yang hidup berdagang, mereka sering menjalani ritual simbolik agar dagangannya laris.
Beberapa orang yang pergi tirakat di Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur, pun ada yang menunggu jatuhnya daun dewandaru. Sebuah pohon yang oleh masyarakat Jawa diyakini akan mendatangkan keberuntungan spiritual. Apabila tirakat menemukan daun dewandaru yang jatuh, berarti akan sukses hidupnya. Daun dewandaru tergolong etnobotani spiritual yang mampu memberikan petuah berupa kabegjan.
Pada malam Siji Sura di Gunung Kawi juga diselenggarakan ritual kenduri pamong jagat. Sesaji utama pada kenduri yaitu ingkung ayam jantan sebagai aspek hewani. Aspek zoologi berupa ingkung ini sebagai simbol spiritualitas orang Jawa. Suran di Gunung Kawi dilaksanakan sekaligus sebagai wujud industri kreatif spiritual untuk menghormati Mbah Imam Sudjono.
Para peziarah dan wisatawan yang mengikuti Suran pun sebagian besar berusaha ngalap berkah. Untuk maramaikan pengunjung, pemerintah setempat juga menggelar pertunjukan wayang kulit. Lakon wayang kulit yang digelar tentang Wahyu Pamong Jagad. Lakon ini merupakan pertunjukan untuk ketenteraman.
Sebagian besar orang Jawa yang menghadiri tempat-tempat keramat adalah pelaku kejawen. Orang Jawa yang menjadi pelaku kejawen tulen(puritan) masih menjalankan ritual Sura. Selama tiga hari, menjelang tanggal 1 Sura, mereka menjalankantapa mutih atau nganyep. Saat itu para pelaku spiritual tak pernah makan nasi, hewan, dan makanan yang mengandung garam. Lalu, pada malam 1 Sura melakukan ritual dengan caramanekung. Manekung berarti melakukan tapa brata, berdiam diri.
Sebagian besar orang Jawa yang menghadiri tempat-tempat keramat adalah pelaku kejawen.
Ubarampe sesaji yang disiapkan cukup sederhana, berasal dari zoobotani, yaitu hewan/ayam untuk ingkung dan tumbuhan berupa segelas air putih, diberi daun dadap sreb dan kunyit (kunir). Air putih tawar diambil dari tujuh sumber mata air. Artinya, agar memasuki bulan Sura semakin jernih, mendapat pitulungan dari Tuhan.Pitulungan berupa hidup seperti daun dadap sreb, terasa anyep, tenteram, dan tidak bergejolak. Tandanya pada saat hidup seperti kunir, artinya dari kata ku (laku) dan nir (nir ing sambikala).
Biasanya puncak ritual penganut kejawen, menggelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon kaki-nini, mengisahkan sangkan paraning dumadi manusia. Kaki nini itu perwujudannya seperti mimi dan mintuna, yaitu hewan kecil yang hidup rukun. Mimi dan mintuna juga selalu muncul pada ucapan pranatacara manten. Kaki nini adalah simbol zoologi, sebagai kedekatan manusia Jawa dengan hewan.
Kaki nini yang disimbolkan hewan itu akan selamat hidupnya dengan berupaya mencari wahyu yang disebut Kayu Gung Susuhing Angin. Wahyu tersebut akan diterimakan kepada kaki nini oleh Hyang Wisesa Jagad pada malam Siji Sura. Orang yang bisa menerima wahyu tersebut akan bebas dari segala rintangan hidup dan gangguan wabah penyakit.
Orang yang bisa menerima wahyu tersebut akan bebas dari segala rintangan hidup dan gangguan wabah penyakit.
Kaki nini harus menghadap langsung kepada Hyang Wisesa di Kahyangan Alang-alang Kumitir. Nama kahyangan ini juga memuat aspek botani berupa tumbuhan alang-alang. Sebuah tempat yang berbahaya, yang oleh ki dalang disebut gawat keliwat-liwat wingit kepati-pati. Tempat yang sangat tinggi, wingit, dan terhormat.
Di tempat para Sura yang amat wingit ini, ada tanaman yang indah sebagai obat jika ada pagebluk. Tanaman wingit itu disebut Kayu Manik Imandaya Tlutuh Kumalasari. Sebuah pohon yang daunnya bisa sebagai obat mujarab. Tumbuhan wingit ini termasuk dalam Serat Centhini disebut etiobotani spiritual. Maksudnya, tumbuhan yang bisa dijadikan obat. Orang Jawa telah memiliki etiologi penyakit, termasuk mengobati wabah korona.
Akhirnya, harus saya sampaikan bahwa bulan Sura itu memang keramat. Laku zoobotani budaya Jawa menjadi langkah andal untuk mengisi bulan Sura. Bulan yang penuh hikmah. Oleh sebab itu, beragam isian ritual pun perlu didiseminasikan kepada khalayak sehingga tidak terjadi salah paham.
Oleh sebab itu, beragam isian ritual pun perlu didiseminasikan kepada khalayak sehingga tidak terjadi salah paham.
Orang Jawa melaksanakan peringatan bulan Sura menggunakan cara yang proporsional. Cara-cara kultural, yang mengaitkan aspek hewan, tumbuhan, dan alam semesta justru paling tepat untuk menjaga harmoni kosmos.
Jika beberapa wilayah ada yang melarang pesta pernikahan pada bulan Sura, berarti memang sebagai penghormatan saja. Bulan Sura yang keramat itu seyogianya diisi dengan mawas diri. Begitu juga adanya larangan masyarakat Jawa untuk pindah rumah, upaya untuk menjaga keharmonisan kosmos. Yang penting adalah menyikapi bulan Sura dengan sikap dan perilaku yang positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar