Mendiang penyanyi Arie Wibowo aku ingat sebagai musisi yang membangkitkan kenangan kelam dengan cara yang satire. Frasa "anak singkong" yang sebenarnya sudah populer sejak masa Hindia Belanda ia parodikan dan menjadi hits di pertengahan tahun 1980-an. Seolah-olah, kesenjangan sosial dan perbedaan kelas, yang mula-mula digambarkan dalam "anak singkong", luluh ke dalam humor pahit, tetapi mengundang senyum.
Setelah album pertama Madu dan Racun yang meledak di pasar musik populer Tanah Air, Arie dan band Bill and Brod meluncurkan album kedua berjudul Anak Singkong. Dalam waktu sekejap, lirik-lirik dalam lagu ini seakan-akan mewakili lebih dari 80 persen rakyat Indonesia yang hidup sederhana di desa-desa, kalau tak mau dikatakan miskin. Coba saja kita simak lirik berikut:
//Kau bilang cinta padaku/aku bilang pikir dulu/selera kita terlalu jauh berbeda/Parfummu dari Paris/Sepatumu dari Itali/Kau bilang demi gengsi/semua serba luar negeri/Manakah mungkin/mengikuti caramu/yang penuh hura-hura/Aku suka jaipong kau suka disko/Aku suka singkong kau suka keju/Aku dambakan seorang gadis/yang sederhana/Aku ini hanya anak singkong…//
Mudah sekali ditebak frasa "suka jaipong" berantonim dengan frasa "suka disko", lalu dikeraskan lagi pada frasa berikutnya "suka singkong" dan "suka keju". Suka disko menemukan konteks sosial gaya hidupnya pada tahun 1980-an, ketika banyak anak muda menggandrungi musik disko di kota-kota besar. Tetanggaku yang baru pulang dari Jakarta setelah bermukim beberapa tahun, menggelar "diskotek" dadakan di ruang tamu rumahnya. Meluncurlah lagu-lagu seperti "Stayin Alive" (Bee Gees), disusul kemudian "Dancing Queen" (ABBA), dan seterusnya.
Kami anak-anak kampung kemudian beranggapan lagu-lagu disko adalah simbol kemodernan hidup di kota besar seperti Jakarta. Bukankah juga pada tahun-tahun itu merebak diskotek-diskotek atau pub-pub yang memutar musik disko, di mana orang-orang kota menyalurkan hasratnya untuk berdisko.
Oh ya, kata "disko" yang mengacu pada jenis musik dari Barat kemudian perlahan lahir menjadi kata kerja, "berdisko", artinya bergoyang bebas keluar dari aturan-aturan menari seperti dalam pakem tari tradisi. Tarian tradisi seperti jaipong (Sunda) tiba-tiba saja mengandung narasi tentang kemiskinan, kekunoan, dan disko menjadi kata baru yang menyihir anak muda kota karena dianggap membawa kemajuan, kemodernan.
Pertengahan tahun 1980-an, aku sudah tinggal di Kota Denpasar, tetapi masih kerap mengunjungi Dadong (nenek) di Desa Tuwed, Kecamatan Melaya, Jembrana, kira-kira jaraknya 10 kilometer dari Kota Negara. Dadong selalu sibuk kalau aku datang. Selain memasak sayuran, ia akan pergi ke kebun dan memanen singkong atau jagung untuk aku bawa kepada ibu sebagai oleh-oleh.
Saat usiaku setara dengan anak-anak SD, Dadong pernah membawaku ke seorang tamyu, yang tinggal tak jauh dari kebun kami. Tamyu adalah istilah untuk keluarga-keluarga yang menumpang tinggal di kebun seseorang. Tahun 1963, setelah meletusnya Gunung Agung, banyaktamyu yang mengungsi di kebun-kebun kelapa di daerah Bali barat.
Keluarga tamyu yang tinggal di sebelah kebun kami bernama Dadong Dayuh. Ia tinggal dengan beberapa anak lelakinya, yang hampir semua berbadan langsing tetapi berotot. Merekalah tukang panjat kelapa di kebun kami saat-saat masa panen tiba. Dadong Dayuh punya usaha sehari-hari membuat gula merah dari tuak kelapa. Ia menampung tuak dari beberapa tukang panjat, termasuk anak-anaknya.
Aku ingat Dadong selalu memberiku hadiah singkong rebus bergula merah. Sajian ini menjadi istimewa karena singkong direbus langsung pada cikal bakal gula dalam kuali besar. Coba kau bayangkan, tekstur singkong yang merekah putih ditimpa cairan gula kelapa yang memerah. Yum… ada rasa manis yang dominan di tengah rasa pulen dari singkong. Ia mirip rasa kolak, tetapi cairan gula meresap jauh sampai ke inti daging singkong. Di balik rasa itu semua, ada kelembutan yang diam-diam membaluri seluruh lidahku. Bahagia itu sederhana, bukan?
Kenangan tentang singkong tuak, begitu kami menyebutnya, tak akan terlupakan. Terkadang, kami cucu-cucu Dadong, siap bekerja memungut kelapa saat-saat panen seharian tanpa sarapan nasi. Cukup singkong tuak, semua masalah perut bisa selesai. Aku dan cucu-cucu Dadong selalu membantu memungut kelapa di sela-sela tanaman kakao setelah dipanen oleh para tukang panjat. Panen kelapa selalu berlangsung tiga bulan sekali. Pada periode itulah, aku selalu menikmati saat-saat menggigit singkong tuak itu….
Harus kuakui, sebagian singkong kini telah luluh menjadi daging yang membalut seluruh tubuhku. Singkong tuak telah jadi penganan terindah yang pernah dikecap oleh lidahku. Rasa itu melekat seterusnya sebagai kenangan yang memicu ingatan tentang singkong di masa-masa penjajahan Jepang dahulu. Kakekku, tepatnya suami Dadong, tak akan bisa lupa bahwa singkong telah berjasa besar dalam hidupnya. Ia banyak punya simpanan padi di lumbung keluarga, tetapi seluruhnya dirampas oleh tentara Jepang. "Cuma kebun singkong tersisa, tanpa itu ibumu tak bisa besar mungkin," kata Kakek.
Singkong tak hanya dimakan umbinya, tetapi sambil menunggu akar-akarnya menggelembung, pucuk-pucuk daun singkong jadi sayuran yang banyak mengandung protein. Terkadang, kata Kakek, jika singkong belum layak dipanen, ia memetik pisang muda untuk kemudian disayur dengan daun singkong. Begitulah cara para leluhurku melalui hari-hari yang berat dan penuh tekanan hidup di masa penjajahan.
Kau pasti sepakat denganku bahwa singkong adalah pangan alternatif di masa sulit. Tak sepenuhnya keliru. Kau ingat kisah orang-orang Gunung Kidul dan Wonogiri di bagian selatan dari Pulau Jawa? Mereka punya tradisi membuat tiwul atau gaplek di musim kemarau, saat padi-padi tak mungkin ditanam. Daerah selatan Jawa yang berkarang dengan lapisan tanah yang tipis justru menghasilkan singkong yang legit dan manis. Pohonnya boleh kerdil karena kekurangan air, tetapi rasa singkongnya berbeda dengan singkong yang ditanam di tanah subur.
Pada bulan-bulan Juli-September, frasa "makan tiwul" sangat populer di daerah Gunung Kidul karena pada bulan-bulan itu terjadi kemarau panjang. Kau akan tercengang melihat hamparan tiwul yang dijemur sepanjang jalanan. Di daerahku, di Bali belahan barat, gaplek disebut dengankerkeran, berupa singkong parut yang dijemur. Kerkeran sebenarnya dijadikan pakan bebek untuk mempercepat tumbuhnya bulu, tetapi ketika masa krisis pangan, ia jadi sumber makanan alternatif.
Kerkeran atau tiwul kemudian berasosiasi pada kata "kemiskinan", "krisis", "kelaparan", "kampungan", "kurang gizi", dan bahkan "kebodohan".
Kenyataan ini sesungguhnya berbeda jauh dengan apa yang terjadi di masa Hindia Belanda. Istilah "anak singkong" mengacu kepada kaum pribumi yang berantonim dengan "anak keju", anak-anak Belanda yang dianggap memiliki strata sosial lebih tinggi. Meski begitu, Pemerintah Hindia Belanda pernah sangat bergantung kepada singkong sebagai komoditas andalan.
Setelah dibawa dari Brasil oleh orang-orang Portugis ke Maluku pada 1810, singkong menjadi tanaman yang dikembangkan menjadi pangan utama di Hindia Belanda. Dalam buku Politik Singkong Zaman Kolonial, Haryono Rinardi menulis, Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Di daerah-daerah seperti Jawa banyak dibangun pabrik-pabrik pengolahan singkong menjadi tapioka.
Tahun 1928, tercatat 21,9 persen produksi tapioka Hindia Belanda diekspor ke Amerika Serikat, 16,7 persen ke Inggris, 8,4 persen ke Jepang, dan hanya sekitar 7 persen dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark, dan Norwegia. Biasanya tepung tapioka dipakai sebagai bahan dasar lem, permen, industri tekstil, dan furnitur. Karakter tanaman singkong yang tak mengenal musim dan bisa ditanam kapan pun dibutuhkan membuatnya dijuluki, "Gudang persediaan makanan di bawah tanah," tulis Haryono.
Sayangnya, era itu memudar ketika pemerintah Orde Baru menggembar-gemborkan swasembada pangan seturut dengan embusan angin revolusi hijau dari Amerika. Merebaklah penanaman padi-padi varietas baru dengan seri IRRI (International Rice Research Institute) yang berpusat di Los Banos, Laguna, Filipina. Di Indonesia kemudian dikembangkan padi-padi jenis baru dengan seri IR dan PB untuk mengejar swasembada pangan. Beras menjadi simbol hidup modern, hidup di era kemajuan, dan makan singkong berarti ndeso, melarat, miskin, kurang gizi, dan bodoh.
Beras menjadi simbol hidup modern, hidup di era kemajuan, dan makan singkong berarti ndeso, melarat, miskin, kurang gizi, dan bodoh.
Aku jadi ingat apa yang disebutkan Antonio Gramsci, pemikir politik pada abad modern dari Italia. Bahwa kekuasaan sering kali memainkan perannya yang hegemonik, bukan dalam pengertian dominasi politik. Pada kenyataannya, kekuasaan diselenggarakan melalui praktik dominasi yang bersifat koersif, sebagai otoritas tertinggi kehidupan bernegara, yang menginfiltrasi alam kesadaran warga.
Infiltrasi itu dilakukan dengan praktik-praktik ideologis, yang kalau terus-menerus diterapkan kian menjadi sesuatu yang terasa wajar dan benar. Swasembada pangan di bawah Soeharto adalah ideologi yang menancapkan beras sebagai pangan "pembebas" dari kemiskinan. Oleh sebab itu, secara serta-merta makan singkong, makan sagu, makan jagung, atau jenis pangan lainnya identik dengan kemelaratan dan bahkan keprimitifan. Celakanya, ideologi itu menancap di kepala banyak rakyat Indonesia sampai kini.
Sayangnya, Soeharto tak pernah bertanya, mengapa di Eropa atau di Amerika orang makan roti dan bukan nasi? Roti berbahan baku tepung terigu yang diolah dari gandum dan (lagi-lagi) bukan padi! Pertanyaannya, mengapa orang yang makan roti kita anggap lebih maju? Di situlah aku berjalan seiring dengan Gramsci dan Frederich Engels. Keduanya menyitir tentang kesadaran kelas pekerja yang dicekoki negara lewat ilusi-ilusi ideologis. Ilusi itu muncul dalam berbagai bentuk paham dogmatis, seperti agama atau elusan angin surga nasionalisme.
Swasembada beras yang (konon) terjadi tahun 1984 kini menyisakan ilusi ideologis berkepanjangan, bahwa padi berseri IRRI adalah jalan keluar permanen dari ancaman kelaparan. Rasanya, masih segar dalam ingatanmu, untuk mengejar swasembada itu, petani telah ditindas secara berganda. Selain harus membeli bibit, mereka juga harus membeli pupuk kimia dan pestisida. Petani yang menanam padi jenis lain dianggap subversif. Maka, aparat negara akan menciduknya.
Jadi, beras akhirnya secara revolusioner menjadi sangat ideologis. Di luar itu, tak ada pangan yang bisa menggantikannya, termasuk singkong. Tadinya, aku pikir singkong, walau bukan tanaman asli dari Nusantara, dengan jumlah produksi mencapai 24 juta ton per tahun dan nomor tiga di dunia setelah Nigeria dan Brasil, akan membawa sedikit harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar