Setiap kali guru Bahasa Indonesia masuk kelas aku selalu gemetar. Perawakannya yang kecil membuatnya bergerak lincah; dan matanya yang tajam justru tak memberiku kesempatan untuk bergerak, seperti tak ada yang bakal luput dari amatannya.
Ketika langkah-langkahnya yang kecil, tetapi dalam ritme yang cepat mendekati pintu masuk kelas, jantungku berdetak lebih cepat. Entah mengapa wajahnya yang putih pucat dengan rambut lurus di atas kepalanya begitu meneror.
Hampir semua teman-temanku semasa SMP berpendapat serupa. Pelajaran Bahasa Indonesia, terutama saat-saat guru itu meledakkan kata-kata, "Hari ini pelajaran menulis! Ambil kertas dan tulis, temanya tentang guru. Waktunya 1 jam saja, selesai tak selesai kumpulkan!" membuat kami jadi ketakutan.
Pelan-pelan kami semua, terutama aku, membenci pelajaran bahasa Indonesia! Selain itu, harap kau pahami, awal tahun 1970-an kami lebih akrab dengan bahasa ibu: bahasa Bali. Jadi bahasa Indonesia menjadi bahasa yang masih sulit kami pahami.
Suatu hari guru itu memberi kami tugas menulis hal-hal yang menyenangkan semasa liburan semesteran. Dengan cepat aku menulis tentang pengembaraanku bersama Bapak mengangon bebek-bebek kami di keluasan sawah-sawah desa tetangga. Aku kisahkan, bagaimana kami kedinginan di tenda-tenda darurat yang kami dirikan di sudut-sudut sawah. Terkadang tenda dari terpal plastik bekas itu bocor dan air hujan leluasa mendera tubuhku.
Sore hari, hujan benar-benar lebat mengguyur sawah. Aku dan Bapak sedang mondok, istilah kami untuk berkemah saat mengangon bebek, di sebuah desa di mana sawah-sawah petani baru saja memasuki musim panen. Ini waktu yang baik buat para bebek untuk memperoleh sisa-sisa biji padi yang rontok. Kata Bapak, biji-biji padi bisa mempercepat bebek-bebek bertelur dengan kualitas terbaik.
Kau bisa bayangkan, berdiri di keluasan sawah tanpa pohon pelindung, di mana hujan merajam kepalamu, itulah saat-saat kita merasa paling tersiksa. Bebek-bebek berteriak ketakutan ketika petir mulai menyambar. Mereka tercerai-berai mencari semak-semak sebagai tempat berlindung. Sangat tidak mungkin meninggalkan bebek dalam keadaan tanpa arah.
Cara terbaik buat berlindung dari sambaran petir adalah telungkup di atas pematang sawah. Itu artinya sama dengan membiarkan bebek berlarian ke mana-mana. Benar saja banyak kelompok-kelompok bebek berlarian menuju semak belukar di pinggir kali.
Sementara itu, kami tidak mungkin pergi begitu saja menuju pondok, sementara bebek-bebek kebingungan mencari perlindungan. Petang hari ketika hujan mulai mereda, aku dan Bapak mulai menggiring para bebek ke kandang, yang kira-kira jauhnya 1 kilometer.
Sambil menggiring denganpengisis (galah bebek) itulah, Bapak mulai menghitung: se, dua, telu, pat, lime, nem, pitu, kutus, sie, dase,…duang dase, selikur, dua likur…(satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, depalan, sembilan, sepuluh,…dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua). Sampai pada hitungan telung dase kutus (tiga puluh delapan), bebek-bebek sudah habis.
"Masih kurang dua ekor," kata Bapak,"Kamu terus giring ke kandang. Bapak cari yang tertinggal..."
Pelan-pelan aku menggiring para bebek yang berbaris rapi di atas pematang menuju kandang. Petang hampir menjadi gelap. Lampu-lampu minyak di rumah-rumah penduduk di barat persawahan, hanya kelap-kelip kecil. Kabut setelah hujan menyungkup persawahan. Obor-obor dari bambu masih tersimpan di pondok, tidak mungkin aku nyalakan sekarang. Dengan susah payah aku mengarahkan kawanan bebek agar tak tersesat dalam perjalanan pulang.
Ketika petang benar-benar menjadi gelap, aku berhasil memasukkan 38 ekor bebek ke dalam kandangnya. Tak lama kemudian Bapak datang dengan sedikit menyesal.
"Seharusnya kita tak terlalu dekat dengan semak-semak di kali itu," katanya.
"Bebeknya ketemu, Pak?" tanyaku segera.
"Ini tinggal kaki dan kepalanya!"
"Mati?"
"Habis dimakan rase!" ucap Bapak dengan nada kesal.
Di belukar dekat kali itu memang berumah keluarga rase, si karnivora sawah yang hidup liar. Rase (Viverricula malaccensis) adalah sejenis musang belang dengan ujung ekor yang selalu putih. Sudah lama rase jadi musuh para pengangon bebek. Ia tidak seperti musang yang biasa hidup di pepohonan. Rase umumnya hidup di semak belukar. Dengan kaki-kakinya yang pendek hewan ini bisa bergerak begitu lincah.
Kematian dua ekor bebek menjadi hari paling sial bagi pengangon bebek. Artinya esok hari, telur yang kami hasilkan akan berkurang dua butir. Selain itu, efek kejut dari petir dan pemangsa seperti rase, bisa membuat beberapa bebek lainnya mogok bertelur.
"Besok pagi kita pindah ke utara jalan," kata Bapak kemudian.
Setelah pagi benar-benar terang, aku bertugas memungut telur di kandang. Pelan-pelan aku hitung, jumlahnya cuma 20 butir. Artinya banyak bebek tidak bertelur tadi malam. Seharusnya, paling sedikit setiap pagi aku memungut di atas 35 butir telur setiap hari.
Ketika kubilang jumlah telur hanya 20 butir, Bapak berkata, "Cepat kita pindah ke utara." Beberapa menit kemudian setelah membongkar pondok dan kandang bebek, kami sudah bergerak ke arah utara, semakin jauh dari rumah….
Beberapa hari setelah kami mengumpulkan tulisan, guru bahasa Indonesia masuk kelas kembali. Ia bilang sebagian besar tulisan kami tepat seperti tema yang diharapkan, yakni menulis masa liburan semester yang menyenangkan. Ia menjelaskan bahwa menulis hal-hal yang menyenangkan itu penting agar para murid nantinya menjadi orang yang berhasil.
Guru itu kemudian satu per satu membagikan kertas pelajaran menulis kami. Ia panggil nama-nama murid untuk kemudian maju ke depan kelas mengambilnya. Hampir semua murid kembali duduk dengan muka cerah. Bahkan ada yang setengah berteriak mengatakan, "Ooh aku dapat 75!" Padahal, setahuku, ia murid paling kurang untuk semua mata pelajaran. Kupikir, pasti nilaiku jauh di atas itu….
"Arcane…!" panggil guru itu. Secepat kilat aku berdiri dan maju ke depan kelas.
"Apa yang kamu tulis! Anak-anak, ini contoh anak paling tidak bahagia semasa liburan," kata guru itu. Secara serempak seisi kelas mengejekku dengan kata-kata yang merendahkan. "Nak lacur… ada anak lacur…." Kira-kira artinya, ada orang miskin dan sial.
Perasaanku campur aduk, antara ketakutan, terhina, dan ketidakmengertian, apa salahnya aku menulis pengalaman yang benar-benar aku alami selama menjadi pengangon bebek bersama Bapak.
Baca juga: Kelepak Kata di Sayap Sapardi
Secara mengejutkan kemudian guru itu meremas-remas kertas pelajaran menulisku. Mukaku merah padam karena takut, seluruh tubuhku bergetar hebat, campur baur antara terhina dan marah.
"Duduk! Nanti datang ke ruang BP," kata guru itu. Kata "BP" bagi anak-anak belasan tahun sepertiku cukup menakutkan. Itu artinya, aku akan diberikan bimbingan dan penyuluhan soal-soal seputar prilaku, etika, dan kondisi psikologis. Sekarang mungkin namanya BK (bimbingan konseling).
Kesan kami waktu itu, ruang BP adalah ruang untuk memperbaiki prilaku buruk. Bahkan bisa menstigma seseorang bahwa selama ini ia telah melakukan kesalahan yang berat dan itu bisa berdampak pada nilai mata pelajaran.
Sejak itu aku benci pelajaran bahasa Indonesia. Setiap pelajaran menulis, aku cuma menuliskan namaku di sudut kanan atas kertas. Aku tidak menulis cerita secarik kata pun. Bukan karena protes, tetapi lebih-lebih karena takut tulisanku diremas-remas di depan kelas dan kemudian dirujuk kembali ke ruang BP.
Anehnya guru itu tak pernah memanggil namaku. Setiap membagi-bagikan kertas ulangan, di mana guru itu merasa seperti membagi-bagikan sekerat roti kepada anak-anak miskin, namaku selalu luput. Sejak itu pula aku tak pernah maju ke depan kelas setiap pelajaran menulis. Lebih aneh lagi, ketika menerima rapor di akhir semester nilaiku baik-baik saja untuk pelajaran Bahasa Indonesia.
Menjelang tamat di SMP, setelah segala urusan mengikuti ujian akhir sekolah selesai, di mana kami hanya tinggal menunggu nilai kelulusan, guru BP memanggilku. Meski sudah mulai tenang dan bisa menerima kenyataan secara lebih tegar, aku tetap berdebar-debar menemui guru BP.
Guru BP dengan pelan mulai berkata, "Teruskan bakat menulismu. Kami semua guru dan kepala sekolah sudah baca tulisanmu tentang angon bebek itu. Kamu sudah mengajarkan kepada kami tentang kejujuran, menerima segala hal sebagai refleksi hidup…."
Aku hanya bisa menunduk mendengarkan guru BP bicara panjang lebar.
"Tulisan yang baik, adalah tulisan yang dimulai dengan kejujuran, lalu ketulusan, keterbukaan, sebab hanya dengan begitu kamu menghasilkan tulisan yang bisa dipercaya, bahkan meraih empati dari pembacamu. Jadi ini soal sikap, sikap hidup yang melandasi setiap tulisan…"
"Maksud Bapak?"
"Ya kamu telah memberi pelajaran penting kepada guru Bahasa Indonesia tentang kejujuran, karena menulis itu bukan hanya memindahkan pengalaman, tetapi juga tentang sikap hidup. Dan kamu tahu, banyak orang sekarang sudah tidak lagi memiliki sikap, bahkan tidak mengerti mengapa ia perlu menulis…" Aku dengarkan guru BP seperti berpidato di depanku.
"Jadi atas persetujuan kepala sekolah, kami ingin kamu membacakan tulisanmu tentang angon bebek itu pada saat perpisahan…"
Tiba-tiba kata "nak lacur, nak lacur" itu mengiang-ngiang di telingaku. Aku tidak mau lagi dipermalukan di depan kelas. Apalagi nanti saat perpisahan semua guru dan murid, bahkan para orangtua diundang untuk hadir.
"Kenapa? Kamu takut? Tidak perlu. Berikan pelajaran hidup itu kepada banyak orang. Dan itulah tugas seorang penulis seperti kamu," kata guru BP.
Aku cuma mengangguk tanda setuju.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar