Pembukaan hubungan resmi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, yang terkenal dengan sebutan Abraham Accord, memberikan dampak signifikan terhadap dinamika internal Palestina. Abraham Accord telah ditandatangani dalam seremoni di Gedung Putih, Washington DC, AS, pada 15 September 2020.
Dampak tersebut tidak hanya munculnya narasi dalam bentuk tentang pentingnya strategi baru Palestina, tetapi juga mengenai isu perlu lahirnya generasi pemimpin baru Palestina untuk menghadapi realitas politik baru terkait konflik Arab-Israel saat ini.
Publik dan elite politik Palestina cukup tersentak dan sekaligus marah ketika Dubes AS untuk Israel, David M Friedman, pada 17 September lalu, secara mengejutkan melontarkan isu bahwa Pemerintah AS tengah menimbang untuk mengusung salah seorang tokoh Palestina, Mohammed Dahlan (58), sebagai pemimpin baru Palestina menggantikan Presiden Palestina Mahmoud Abbas (85).
Mereka tersentak, bukan hanya karena isu itu dilontarkan dua hari setelah penandatanganan Abraham Accord dan disampaikan oleh pemerintah AS, melainkan juga figur Dahlan yang diusung itu dikenal sebagai tokoh kontroversial Palestina selama ini. Dahlan sejak tahun 2011 telah dipecat dari faksi Fatah dan berdomisili di Abu Dhabi, UEA. Ia kini menjadi salah seorang penasihat politik Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Muhammad Bin Zayed (MBZ).
Dahlan ditengarai sebagai salah seorang arsitek di balik hubungan resmi Israel-UEA yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 13 Agustus lalu. Dahlan sejak era Yasser Arafat sudah dikenal sebagai salah seorang tokoh pembangkang dan selalu membangun intrik atau konspirasi. Pada akhir era Yasser Arafat, Dahlan dengan dibantu Israel sempat dituduh ingin menggulingkan Yasser Arafat yang saat itu sedang sakit-sakitan.
Pada era Presiden Mahmoud Abbas saat ini, Dahlan terlibat konflik berat dengan Abbas karena juga dituduh membangun intrik dengan kekuatan luar dan dalam Palestina untuk menggerogoti kepemimpinan Abbas. Abbas akhirnya memecat Dahlan dari keanggotaan faksi Fatah dan mengusirnya dari Ramallah, Tepi Barat.
Kubu Abbas kini langsung sewot karena khawatir ada koalisi dan sekaligus transaksi AS-Israel untuk mengantarkan Dahlan dengan segala cara menjadi pemimpin baru Palestina menggantikan Abbas. AS-Israel tampaknya saat ini sudah memiliki asumsi bahwa hanya Dahlan dari kalangan tokoh Palestina yang bisa dan mampu menerima proposal damai AS yang dikenal dengan sebutan "Transaksi Abad Ini".
Sebaliknya, Abbas telah menolak keras "Transaksi Abad Ini" yang dilontarkan Presiden Trump pada Januari lalu. Bahkan, Abbas kini menolak AS sebagai satu-satunya mediator perdamaian Timur Tengah karena AS terlalu memihak Israel. Presiden Palestina itu juga meminta Rusia, China, Uni Eropa, dan PBB sebagai mediator, selain AS, agar tercipta keseimbangan dalam proses mediasi konflik Israel-Palestina.
Sikap Abbas yang menolak keras "Transaksi Abad Ini" membuat hubungan Trump-Abbas kini sangat buruk. Sejak Februari lalu, sudah bergulir wacana keinginan AS mengganti Abbas dengan pemimpin Palestina lain menyusul kekecewaan AS terhadap sikap Abbas itu.
Juru bicara kepresidenan Palestina, Nabil Abu Rudeinah, menegaskan, hanya rakyat Palestina yang menentukan pemimpin mereka melalui proses demokrasi, bukan AS dan antek-anteknya di kawasan Timur Tengah. Anggota dewan revolusi faksi Fatah, Osama al-Qawasimi, juga menyatakan, hanya rakyat Palestina yang menentukan pemimpin mereka melalui pemilu.
Guru Besar Bidang Media Universitas Birzeit, Tepi Barat, Nasyaat al Aqtash, mengatakan, AS dan Israel dengan kekuatan militer dan finasial dengan dibantu UEA bisa saja memaksakan Dahlan sebagai pemimpin baru Palestina. Namun, rakyat Palestina akan melawannya.
Ia mengakui, Dahlan memang punya dukungan kuat di regional karena ia didukung UEA, Bahrain, Arab Saudi, dan Mesir. Namun, menurut Nasyaat al Aqtash, Dahlan tidak akan menang dalam pemilu karena tidak punya basis massa di Palestina. "Jika Abbas dan Dahlan bersaing dalam pemilu, Abbas akan menang mudah atas Dahlan," lanjutnya.
Dalam upaya menjegal skenario AS-Israel dalam suksesi kepemimpinan Palestina, kubu Abbas dari faksi Fatah segera melakukan pendekatan terhadap Hamas untuk menggulirkan penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden Palestina dalam waktu dekat.
Presiden Abbas, Selasa (22/9/2020), menelepon Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, meminta bantuan agar bisa menjadi mediator untuk rekonsiliasi Fatah-Hamas.
Sekjen komite pusat faksi Fatah, Jibril Rajoub, dan anggota komite pusat faksi Fatah, Rouhi Fattuh, Selasa (22/9), di Istanbul, Turki, melakukan pembicaraan dengan sejumlah pemimpin Hamas membahas tentang penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden dalam waktu dekat untuk memilih pemimpin baru Palestina. Di antara pemimpin Hamas yang hadir dalam pembicaraan itu Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniya dan wakilnya, Salah al-Aruri.
Baik Fatah maupun Hamas kini semakin menyadari bahwa tantangan Palestina saat ini dan ke depan kian kompleks. Tantangan itu, antara lain, semakin banyak negara Arab memilih membuka hubungan resmi dengan Israel tanpa harus menunggu selesainya isu Palestina, seperti UEA, Bahrain, dan kemungkinan Sudan, serta digulirkannya isu suksesi kepemimpinan Palestina untuk mencetak pemimpin baru yang lebih akomodatif terhadap skenario AS-Israel.
Bagi kubu Abbas, ada dua skenario untuk menjegal atau menutup pintu kemungkinan Dahlan bisa tampil sebagai pemimpin baru Palestina. Skenario pertama, melakukan rekonsiliasi dengan Hamas serta kemudian menggelar pemilu parlemen dan presiden. Skenario ini paling ideal, karena selain mewujudkan rekonsiliasi Hamas-Fatah yang pecah sejak 2007, juga bisa menghidupkan kembali proses demokrasi Palestina dengan cara menggelar pemilu.
Selanjutnya, melalui skenario itu, akan lahir pemimpin baru Palestina melalui jalur demokrasi yang dipastikan akan mendapat dukungan masyarakat internasional secara luas dan sekaligus mencegah keinginan AS-Israel memaksakan skenario mereka dalam proses suksesi kekuasan di Palestina.
Jika skenario ini berhasil, Abbas disinyalir sudah menyiapkan tokoh-tokoh kuat faksi Fatah untuk berlomba dalam pemilu presiden mendatang. Tokoh itu, antara lain, Jibril Rajoub, Ketua Intelijen Palestina Majid Farah; mantan Menlu Palestina yang juga saudara sepupu Yasser Arafat, Nasser al-Qudwah; dan juru runding senior Palestina, Saeb Erekat. Adapun Jibril Rajoub dikenal sebagai musuh bebuyutan politik Dahlan. Dari kubu Hamas, yang akan berlaga dalam pemilu presiden adalah Ismail Haniya.
Skenario kedua, upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah gagal serta kemudian tidak bisa menggelar pemilu parlemen dan presiden, karena pemilu harus melibatkan semua rakyat Palestina yang kini sebagian besar berada di bawah payung faksi Fatah dan Hamas. Jika hal itu yang terjadi, Hamas dan Fatah direkomendasikan memilih solusi kompromi dengan mendukung bersama Abbas tetap sebagai presiden Palestina untuk mencegah manuver AS-Israel memaksakan Dahlan menggantikan Abbas.
Abbas ditengarai telah membangun barikade di lingkaran Fatah dan PLO untuk mencegah Dahlan dan loyalisnya yang dibantu AS, Israel, dan UEA menyusup ke faksi Fatah maupun PLO.
Abbas yang saat ini menjabat ketua Fatah dan PLO diberitakan telah menyiapkan pemimpin kolektif untuk mengambil alih kekuasaan sementara di faksi Fatah dan PLO jika terjadi kemungkinan terburuk pada diri Abbas, seperti tewas karena diracun seperti yang dialami Yasser Arafat. Pemimpin kolektif itu di dalamnya terdapat Jibril Rojoub, Saeb Erekat, Majid Farah, Nasser al-Qudwah, dan Mohammad Shtayyeh yang kini menjabat PM Palestina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar