Kalau harus berumpama, Jakob Oetama adalah sumur tua kebudayaan yang berlimpah kemuliaan. Setiap kali kau menimba, wadahmu selalu dipenuhi air bening yang menjanjikan kehidupan baik di masa datang.
Kau tahu, air bening itu "anehnya" berasal dari senyawa tradisi, ilmuniteni ala Jawa dengan pengetahuan rasional dari Barat. Keduanya berpadu, saling menjalin dalam racikan tutur kata, perilaku, kepedulian, komitmen, dan eksekusi bisnis yang mumpuni.
Kepadaku, ia pernah berkata, "Kita ini punya modal budaya, dibandingkan Jepang kita jauh lebih kaya, tetapi mengapa Jepang lebih maju?" Aku yang tiba-tiba diminta datang ke ruang kerjanya tergagap-gagap. Tidak menduga akan diajak berdiskusi tentang sesuatu yang kebetulan juga menjadi keresahanku pada awal-awal bergabung dengan harian Kompas di Jakarta.
Jakob Oetama selalu memilih subyek perkataan secara positif. Dalam tutur katanya, kita paham bahwa yang dimaksudkan dengan pertanyaan tadi ditujukan kepada negara kita. "Mengapa Indonesia tidak bisa maju?" begitu sesungguhnya yang dia maksudkan, bukan? Tetapi, itulah etika khas Jakob Oetama.
Kepadaku, ia pernah berkata, "Kita ini punya modal budaya, dibandingkan Jepang kita jauh lebih kaya, tetapi mengapa Jepang lebih maju?"
Sudah pasti pertanyaan ini mengusik, bukan sesuatu yang sederhana. Jakob Oetama, aku yakin, sedang mengajakku membuat semacam pemetaan tentang kebudayaan, yang menyangkut cara berpikir, berkata-kata, dan berperilaku dalam praktik hidup sehari-hari. Setahuku, Pak Jakob tak pernah menerjemahkan kebudayaan menjadi sekadar kesenian, apalagi cuma tempat untuk berkumpul dan klangenan lalu mengelap-ngelap tradisi agar kembali berkilau.
Setelah beberapa lama berdiskusi, perlahan aku menyadari bahwa tak lama sebelum pertemuan ini, aku pernah berkirim surat kepadanya. Dalam surat itu, intinya aku ingin pencerahan dari Pak JO, begitu kami semua menyapanya, bahwa simpul-simpul kultural sebagai garis depan pertahanan masyarakat dalam mengelola kebudayaannya perlu dibentuk di banyak kota.
Pada simpul-simpul itulah rakyat bisa melakukan eksperimentasi untuk menemukan satu formula baru dalam menghadapi ancaman "kepunahan" karena tertinggal dalam mengakses kebudayaan baru yang berembus sangat kencang dari waktu ke waktu.
Waktu itu, Pak JO secara spontan mengambil contoh Bali. Intensitas kontak budaya yang tinggi bukan tidak mungkin mengarahkan pulau itu pada krisis kebudayaan yang tak bisa dikendalikan. Percepatan industri pariwisata budaya yang digagas pemerintah sejak tahun 1970-an bisa jadi membawa dampak signifikan pada "kehancuran" kebudayaan lokal. "Jadi perlu Bentara, ya, Bung?" tanya Pak JO.
Memang itulah tujuanku berkirim surat. Aku ingat, perdebatan panjang telah mulai merebak di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama tentang "menjual" seni sakral kepada turis, sawah-sawah yang berubah jadi properti, penggusuran rakyat dari tanah-tanah adat, kekurangan air dan energi listrik, serta banyak hal yang seluruhnya substansial dalam tatanan kehidupan masyarakat.
"Kalau semua untuk turis, lalu sisa-sisanya, bahkan ampasnya mungkin barulah buat rakyat?" tanyaku retoris. Pak JO tersenyum kecut. Ia hanya berucap, "Jadi begitu, ya? Menurut Bung, apa yang mesti dilakukan?"
Baca juga : Roti Penawar Nasib
Aku tahu pasti, Pak JO bukan tipe pemikir yang frontal. Ia tidak akan memberi penilaian bahwa pariwisata akan merusak seluruh tatanan kehidupan masyarakat Bali. Ia hanya ingin, jika toh terjadi perubahan, perubahan itu haruslah bisa dikontrol oleh rakyat paling bawah.
Inilah salah satu alasan mengapa jurnalisme Kompas selalu memberi tempat bagi orang-orang yang tidak bisa menyuarakan aspirasinya, yakni rakyat jelata. Tetapi, jurnalisme punya keterbatasan, terutama karena satu isu segera akan ditumpuk oleh isu berikutnya.
Karakter media massa yang serba cepat dan ringkas, mudah melupakan dan kemudian dilupakan. Selain itu, sering kali jurnalisme berhenti di meja-meja para pengambil keputusan, tak kunjung menjadi kebijakan yang berdampak sampai ke tatatan paling bawah.
Oleh sebab itu, jika menginginkan hasil yang menyeluruh dan menukik sampai ke dasar pemikiran dan perilaku, pilihannya membangun institusi kebudayaan, di mana rakyat akan memiliki akses leluasa untuk menyalurkan aspirasinya tanpa melalui "kontrol" media massa dan penguasa.
Beberapa hari setelah diskusi itu, Suryopratomo, yang waktu itu menjabat sebagai Pemimpin RedaksiKompas, mengutusku ke Bali. Pokoknya, kata Mas Tommy, kami semua memanggilnya begitu, tolong siapkan cikal bakal Bentara Budaya di Bali.
Seperti kau tahu kemudian, Bentara Budaya Bali berdiri pada 9 September 2009 dan diresmikan oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Bentara Budaya Bali menjadi lembaga kebudayaan keempat yang didirikan setelah sebelumnya Bentara Budaya Yogyakarta (1982), Bentara Budaya Jakarta (1986), dan Balai Soedjatmoko atau Bentara Budaya Solo (2003).
Sungguh sebuah "keajaiban", lembaga bisnis media punya lembaga kebudayaan sampai di empat kota. Padahal, kau tahu, umumnya di dunia, lembaga kebudayaan itu menjadi tanggung jawab negara. Pasti kau akrab dengan sebutan Goethe Haus, lembaga kebudayaan Jerman, lalu ada Institute Francais Indonesia (IFI) milik negara Perancis, dan tentu saja ada Erasmus Huis milik Belanda. Oh, ya, ada juga Japan Foundation dan Korean Cultural Centre Indonesia (KCCI) di Jakarta. Adakah Indonesia memiliki lembaga ini di negara-negara sahabatnya di dunia?
Sebelum negara benar-benar sadar betapa pentingnya membangun sebuah pusat kebudayaan, Pak JO telah meresmikan Bentara Budaya Yogyakarta pada 26 September 1982, dan sebentar lagi akan berusia 38 tahun!
Dalam skala lebih lokal jika dibandingkan pusat-pusat kebudayaan sebuah negara, Bentara adalah utusan untuk melakukan sebuah "diplomasi" kultural, yang menampung dan mewakili wahana bangsa dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawala yang mungkin berbeda.
Balai ini, seperti dicatat dalam visi-misinya, berupaya menampilkan bentuk dan karya cipta yang mungkin pernah mentradisi, atau bentuk-bentuk kesenian massa yang pernah populer dan merakyat, juga karya-karya baru yang seolah tak mendapatkan tempat dan "tak layak" tampil di sebuah gedung terhormat.
Singkatnya, Bentara menjadi titik temu aspirasi yang pernah ada dengan aspirasi yang sedang tumbuh. Syukur-syukur pertemuan itu kemudian menjadi sintesis yang mewakili kebudayaan Indonesia di masa kini.
Dalam konsep dan pemikiran Pak JO, kebudayaan tak berhenti pada kesenian, sebagaimana telah kukatakan pada awal tulisan ini. Kebudayaan adalah untaian cara berpikir, etika perkataan dan perilaku, yang kemudian mengejawantah dalam ekspresi subtil bernama kesenian.
Sesungguhnya, ketika kau menyimak tari klasik, seperti legong, gandrung, dan jaipong, atau opera tradisi, seperti arja dan wayang orang, kau sedang mengasah ketajaman hatimu untuk merasakan dan mengetahui karakter sebuah bangsa dari mana kesenian itu berakar.
Bukankah itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mempresentasikan karakter bangsa di hadapan negara-negara lain di dunia?
Bukankah itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk mempresentasikan karakter bangsa di hadapan negara-negara lain di dunia? Dari padanya diharapkan akan lahir hubungan yang harmonis, saling pengertian, dan saling menghormati di antara bangsa-bangsa di dunia.
Sekarang kau bisa jawab pertanyaan banyak orang, mengapa negara-negara, seperti Jerman, Perancis, Belanda, dan Jepang, selalu "terasa" lebih maju dan bermartabat dibandingkan dengan negara kita sendiri? Padahal, dalam waktu bersamaan kita sesungguhnya juga mengingat negara-negara ini sebagai negara penjajah, bukan? Ingatan memang jadi begitu permisif ketika kita mulai membicarakan segala sesuatunya dari sisi kebudayaan.
Kau juga tahu, Pak JO telah mengambil tanggung jawab dengan mendirikan Bentara Budaya, yang seharusnya menjadi "beban" negara. "Jika harus menunggu, entah kapan, ya?" kata Pak JO kepadaku dalam satu "diskusi" di toilet lantai dasar kantor kami di Palmerah Selatan, Jakarta. Secara tanpa sengaja kami bertemu, tepat di saat-saat Mas Tommy telah mengutusku ke Bali, tetapi belum sempat bertemu Pak JO kembali.
Selain sapaan basa-basi sebagai seorang teman, Pak JO sangat efektif dalam menggunakan kesempatan. Ia bisa berbicara tentang hal-hal besar dan strategis, tetapi tak segan-segan menyentuh kami secara personal.
Ketika mendengar aku meluncurkan buku kumpulan cerpen Bunga Jepun tahun 2002, Pak JO mengutus sekretarisnya untuk mengirimkan "tanda mata" dukungan kepadaku. Padahal pada tahun-tahun itu, aku bukan siapa-siapa di RedaksiKompas yang dihuni oleh nama-nama besar dalam dunia kebudayaan, seperti GM Sudarta, JB Kristanto, Efix Mulyadi, dan Bre Redana.
Baca juga : Benci Rindu Singkong Keju
Dalam berbagai kesempatan, Pak JO selalu bilang, "Puncak seorang wartawan adalah buku." Maka itu, ia sungguh gembira dan kemudian mendukung dengan caranya jika mendengar seorang wartawan berhasil menulis buku.
Sejak Bunga Jepun, buku-buku yang kemudian aku tulis berikutnya hampir selalu mendapatkan perhatian Pak JO. Lewat Mas Agung Adiprasetyo, yang telah menjabat sebagai CEO Kompas Gramedia, Pak JO juga mendukung peluncuran dan pementasan novelku,Gandamayu, oleh Teater Garasi tahun 2012 di Gedung Kesenian Jakarta.
Aku tak ingin membuat pengultusan terhadap Pak JO, tetapi cuma memaparkan serba sedikit pengalaman pribadi kepadamu. Sesungguhnya ketika kabar tentang kepergian Pak JO aku terima, hari Rabu (9/9/2020) pukul 13.05, aku teringat tokoh Jumena Martawangsa dalam lakonSumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noer.
Dalam permenungannya, Jumena mengatakan, "Kalau saya bisa percaya, saya tenang. Kalau saya tidak bisa percaya, saya tenang. Kalau saya percaya dan bisa tidak percaya, saya tenang. Tapi saya tidak percaya dan tidak bisa tidak percaya, jadi saya tidak tenang. Tapi kalau saya tenang, tak akan pernah ada sandiwara ini…."
Renungan eksistensial Jumena disederhanakan Pak JO dengan mengatakan segala sesuatunya melalui falsafah "lumayan" dan "bersyukur". Sayangnya, Jumena mengalami kiris eksistensial pada masa tuanya, bahwa semua orang ia anggap akan mencuri darinya. Sumur tua dalam versi Arifin adalah sumur tanpa dasar, kau tidak akan memperoleh apa pun di dalamnya, kecuali kehampaan yang menyiksa.
Pada galibnya, Pak JO menjadi antitesis dari sandiwara tokoh Jumena dalam lakon Arifin. Pak JO adalah sumur kebudayaan yang mengalirkan kelimpahan kemuliaan, tidak saja di hadapan sekitar 22.000 karyawan yang bernaung di bawah bendera Kompas Gramedia, tetapi bagi negerimu sendiri yang bernama Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar