Pembukaan hubungan resmi Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang populer dengan sebutan Abraham Accord, telah mengubah secara signifikan peta dan paradigma politik dunia Arab, khususnya terkait konflik Arab-Israel.
Perubahan lanskap yang sangat signifikan tersebut juga menerpa Liga Arab. Organisasi yang semula menjadi forum perlawanan terhadap Israel, kini malah menolak mengecam hubungan resmi Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Dengan kata lain, Liga Arab secara implisit mendukung hubungan resmi Israel dengan UEA dan Bahrain itu.
Organisasi bangsa Arab yang didirikan pada 22 Maret 1945 dan kini beranggotakan 22 negara Arab selama ini dikenal memiliki tradisi kebijakan sebagai forum melawan Israel. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab yang terkenal adalah KTT Liga Arab di Khartoum, Sudan, pada 1 September 1967, setelah kekalahan bangsa Arab dalam perang Arab-Israel bulan Juni 1967. Pada forum itu, dikeluarkan pernyataan terkenal "Three No's", yaitu tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan terhadap Israel, dan tidak ada perundingan dengan Israel.
KTT Liga Arab yang terkenal pula adalah KTT Liga Arab di Beirut, Lebanon, pada 2002 yang mengadopsi proposal damai Arab yang dicetuskan Raja Arab Saudi Abdullah Bin Abdulaziz al-Saud saat itu. Proposal damai itu menegaskan, kesediaan semua anggota Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan imbalan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Jadi, Palestina selama ini merupakan harga mati bagi Liga Arab yang tidak dikompromikan. Kebijakan klasik Liga Arab tersebut tidak terlepas dari ide pendirian organisasi tersebut. Organisasi yang didirikan oleh enam negara Arab saat itu berangkat dari semangat menjawab tantangan baru setelah berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai oleh semakin terbukanya jalan menuju berdirinya negara Israel di jantung dunia Arab.
Enam negara Arab pendiri Liga Arab tersebut adalah Mesir, Irak, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, dan Jordania. Perang Dunia II di Eropa yang dimenangi oleh negara-negara sekutu (AS, Inggris, dan Perancis), yang notabene merupakan negara-negara pendukung kuat berdirinya negara Israel, disadari oleh para pemimpin Arab saat itu bahwa berdirinya negara Israel hanya soal waktu saja.
Para pemimpin Arab melalui Liga Arab ingin membangun solidaritas bangsa Arab dalam upaya mencegah berdirinya negara Israel itu. Apa yang disadari dan sekaligus dikhawatirkan para pemimpin Arab tersebut akhirnya menjadi kenyataan, yaitu berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948.
Negara-negara Arab pendiri Liga Arab itu segera mengobarkan perang Arab-Israel pada tahun 1948. Namun, negara-negara Arab tersebut gagal mengalahkan negara Israel yang baru dideklarasikan itu.
Pada 13 April 1950, anggota Liga Arab menambahkan klausul kesepakatan kerja sama pertahanan dan ekonomi antar-anggotanya dalam organisasi Liga Arab tersebut. Hal itu jelas melalui klausul itu bertujuan agar Liga Arab menjadi wadah solidaritas dan persatuan dalam menghadapi tantangan dan sekaligus musuh utama bangsa Arab, yaitu Israel.
Sudah dimaklumi, semua negara Arab menjadikan isu Israel sebagai persoalan utama politik luar negeri mereka. Akan tetapi, kebijakan klasik Liga Arab melawan Israel ternyata runtuh setelah 75 tahun berdirinya organisasi ini.
Bermula dari sidang secara virtual Liga Arab tingkat menteri luar negeri pada 9 September 2020, sidang itu secara mengejutkan menggagalkan upaya Palestina mengeluarkan resolusi mengutuk kesepakatan hubungan diplomatik resmi Israel-UEA yang diumumkan Presiden AS Donald Trump, pada 13 Agustus lalu dari Gedung Putih, Washington DC.
Sidang tersebut tentu segera mengubah sejarah misi organisasi yang sebelum ini sebagai forum melawan dan mengutuk Israel menjadi forum mendukung normalisasi hubungan Arab-Israel. Perubahan sikap itu segera pula memperburuk hubungan organisasi itu dengan Palestina.
Pihak Palestina langsung menolak menerima jabatan ketua bergilir Liga Arab sebagai protes atas sikap Liga Arab yang menolak mengecam hubungan resmi Israel-UEA itu.
Bahkan, pimpinan Palestina menyerukan agar Sekjen Liga Arab Ahmed Aboul Gheit segera mundur dari jabatannya. Polemik pun terus bergulir antara pimpinan Palestina dan Sekjen Liga Arab itu yang menghiasi berbagai media massa Arab.
Salah seorang pimpinan PLO yang juga juru runding senior Palestna, Saeb Erekat, Selasa (29/9/2020), mengecam Ahmed Aboul Gheith. Erekat menyebut Aboul Gheit telah kehilangan legitimasinya sebagai sekjen Liga Arab dan hendaknya mundur segera.
Kecaman Erekat terhadap Aboul Gheith itu menyusul wawancaranya dengan stasiun televisi Sky News Arab milik Abu Dhabi yang membela kesepakatan hubungan resmi Israel-UEA. Bahkan, Aboul Gheith mengutuk Palestina yang dituduhnya telah berpihak pada poros Turki-Qatar. Aboul Gheith menyinggung soal upaya rekonsiliasi Hamas-Fatah saat ini yang digalang Turki dan Qatar.
Aksi protes terhadap perubahan sikap Liga Arab terkait isu Palestina tersebut juga datang dari Qatar dan Libya. Setelah Palestina menolak menjabat ketua bergilir Liga Arab itu, giliran Qatar dan Libya juga menolak.
Pada 25 September lalu, Qatar menolak menerima jabatan ketua bergilir Liga Arab menggantikan Palestina. Pada 6 Oktober, Libya menolak menerima jabatan ketua untuk menggantikan Qatar yang sebelumnya menolak.
Perubahan sikap Liga Arab itu tentu tidak terlepas dari pertarungan di antara poros-poros politik dalam peta geopolitik di Timur Tengah. Liga Arab terkooptasi oleh poros Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA yang mendukung dan bagian dari Abraham Accord.
Sebaliknya, Qatar dan Pemerintah Kesepakatan Nasional Libya pimpinan PM Fayez al-Sarraj di Tripoli yang berada dalam poros berseberangan dengan poros Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain kini cenderung membangun aksi perlawanan di tubuh Liga Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar