Tahu, tetapi tidak mau tahu. Hal itu terlintas di benak saat melihat orang-orang berkerumun di restoran, taman, pasar, dan banyak tempat lain di masa pandemi ini. Informasi terkait bahaya korona dan bagaimana cara mencegah penularan sudah begitu tersebar luas lewat berbagai platform media massa dan elektronik, juga spanduk dan baliho mencolok di jalanan ataupun kampanye oral di perkampungan oleh para petugas puskesmas dan RT-RW setempat.
Kebijakan pembatasan sosial masih berlaku, bahkan peraturan daerah terkait sedang dimatangkan di beberapa daerah, termasuk di DKI Jakarta dan Bekasi, yang bakal berlaku tak lama lagi. Namun, sudah lama dirasakan bahwa kebijakan pembatasan itu hampir tidak bergaung lagi di tengah masyarakat. Kala angka kasus positif Covid-19 dan angka kematian meningkat, kerumunan di mana-mana masih terjadi.
Kerumunan justru semakin mudah terlihat seiring hal lain yang memanas selama pandemi ini. Hal lain tersebut, di antaranya, pilkada yang tetap dihelat dan telah membuat beberapa calon pemimpin—juga penyelenggara pemilihan umum—sakit ataupun meninggal karena Covid-19. Di sisi lain, masih ada pejabat turun ke lapangan sambil terus mengumpulkan massa dan berujung menimbulkan kluster-kluster penularan baru.
Melihat itu semua, rasanya persentase orang-orang yang tidak taat protokol pasti besar. Namun, saat dilakukan survei resmi, ternyata jauh lebih besar persentase responden yang patuh protokol kesehatan daripada yang tidak. Survei terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) yang laporannya dapat diunggah di laman Satuan Tugas Penanganan Covid-19 pada 1 Oktober, misalnya, menunjukkan fakta tersebut.
Hasilnya, ada 38,75 persen responden yang makin jarang keluar rumah, 36,62 persen tetap keluar rumah seperti sebelum AKB, dan 24,63 persen yang justru makin sering keluar rumah.
Survei BPS bertujuan untuk mengetahui perilaku masyarakat selama pandemi, khususnya penerapan protokol kesehatan dan upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Survei Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi oleh BPS tersebut dilakukan pada 7-14 September dan diikuti 90.967 responden.
Sebanyak 27,93 persen responden dalam survei BPS ini adalah aparatur sipil negara dan sisanya masyarakat umum. Responden survei didominasi warga berusia kurang dari 45 tahun dan berpendidikan minimal sarjana. Akan tetapi, tidak disebutkan kota atau di wilayah mana responden berasal.
Hasil survei menunjukkan tingkat kepatuhan memakai masker, menjaga jarak, rutin mencuci tangan, menghindari menjabat tangan, memakai handsanitizer, dan menghindari kerumunan secara umum sudah baik. Tercatat 73-92 persen responden mematuhi berbagai protokol kesehatan tersebut. Sebanyak 86-92 persen responden juga yakin bahwa mematuhi protokol kesehatan ampuh untuk memutus penularan wabah.
Responden yang tidak mematuhi semua protokol kesehatan beralasan, di antaranya, harga masker serta peralatan lain untuk menghindari virus tidak terjangkau (23 persen). Selain itu, mereka menjadi sulit melaksanakan pekerjaannya jika mengikuti protokol (33 persen), aparat atau pimpinan mereka tidak memberi contoh (19 persen), serta sekadar mengikuti orang lain (21 persen).
Disebutkan pula bahwa penyebab utama warga melanggar protokol pencegahan penularan virus karena tidak ada sanksi tegas (55 persen) dan tidak ada kejadian orang tertular korona di dekat mereka (39 persen). Alasan lain orang tidak melaksanakan protokol kesehatan ialah terkait rendahnya kesadaran, misalnya menganggap remeh, tidak terbiasa, dan lupa.
Survei BPS yang terakhir ini melengkapi survei serupa pada April lalu. Kala itu, hasil survei menyebutkan bahwa semakin tinggi usia responden, ada kecenderungan mereka semakin taat memenuhi imbauan menjaga protokol kesehatan. Intinya, demi menekan laju penularan Covid-19, sebagian besar warga sudah paham bahwa mereka harus mematuhi protokol kesehatan.
Sebelumnya, pada akhir Juni lalu, dipublikasikan hasil Studi Persepsi Risiko yang dilakukan LaporCovid19.org dan Social Resilience Lab NTU di Jakarta dan Surabaya. Mirip dengan hasil survei BPS, Studi Persepsi Risiko juga menunjukkan bahwa warga di dua kota sudah tinggi tingkat kepatuhannya terhadap protokol kesehatan. Hasil studi itu menyebutkan bahwa 97,8 persen responden selalu bermasker saat berada di luar rumah. Sebanyak 96,5 persen responden juga rutin mencuci tangan dan 93 persen patuh menjaga jarak.
Dengan mematuhi protokol kesehatan, warga di kedua kota metropolitan itu juga yakin dan menilai risiko dirinya terpapar virus sangatlah kecil.
Yakin tidak akan tertular diduga memengaruhi keputusan untuk lebih berani keluar rumah. Pada masa adaptasi kebiasaan baru (AKB) yang kini diadopsi hampir di semua wilayah Indonesia, tren orang keluar rumah untuk berbagai keperluan sungguh nyata terjadi.
BPS dalam survei yang sama pada September lalu juga membandingkan kebiasaan bepergian keluar rumah semasa sebelum dan setelah ada AKB. Hasilnya, ada 38,75 persen responden yang makin jarang keluar rumah, sebanyak 36,62 persen tetap keluar rumah seperti sebelum AKB, dan 24,63 persen yang justru makin sering keluar rumah. Alasan utama keluar rumah ialah untuk bekerja, sedangkan sisanya untuk bersenang-senang dan kebutuhan sosial.
Apakah hasil survei BPS tersebut dan survei-survei sebelumnya dari lembaga lain benar mencerminkan kondisi masyarakat kita? Tentu tidak bisa lugas ya atau tidak karena selalu ada kelemahan dalam setiap survei. Meskipun demikian, sebagai gambaran umum, seperti semakin banyak orang yang ternyata berkegiatan di luar rumah pada saat harus menahan diri, tidak berbeda jauh dengan kondisi di lapangan.
Keluar rumah untuk mengais rezeki di kala kondisi serba susah ini tentu masih bisa dimaklumi, terlebih kalau yang bersangkutan tetap patuh pada protokol kesehatan di mana pun berada. Namun, mereka yang abai dan demi mendapat kesenangan, juga kekuasaan, semata sengaja membuat kerumunan di luar sana, sungguh tidak patut ditiru. Bagai menyalakan api dalam sekam.
Operasi yustisi berikut sanksi teguran, sanksi tertulis, sanksi sosial, penyitaan KTP, hingga denda untuk meningkatkan kepatuhan pada protokol kesehatan Covid-19 sudah dan masih digelar di Ibu Kota. Namun, pelanggaran masih terus terjadi. Masih mudah dijumpai individu tanpa masker dan minim jarak. Kasus positif korona pun tidak juga landai selama hampir tiga pekan pelaksanaan PSBB yang lebih ketat ini.
Yang terbaru, pembentukan satuan tugas penanganan Covid-19 pada level pemerintah se-Jabodetabek dijajaki. Tiga provinsi terlibat, yakni DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Hal itu atas kesadaran bahwa penanganan pandemi di Ibu Kota tidak bisa lepas dari situasi dan kondisi kota/kabupaten di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar