Paus Fransiskus baru saja menerbitkan ensiklik ketiganya yang berjudulFratelli Tutti. Diterbitkan di Assisi, kota di mana para pemimpin agama biasa berkumpul untuk mengadakan dialog antaragama, ensiklik ini berbicara tentang persaudaraan dan persahabatan sosial.
Menurut Paus, salah satu pengalaman yang mendorong dia untuk menulis ensiklik ini adalah pertemuannya dengan Ahmed Al-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, pada Februari tahun lalu. Seperti yang sudah umum diketahui, pertemuan kedua tokoh ini diwarnai dengan penandatanganan Dokumen Persaudaraan Manusia (The Document on Human Fraternity forl World Peace and Living Together). Sebuah dokumen yang mengundang semua orang dari pelbagai macam agama dan golongan untuk bekerja sama mewujudkan keadilan, perdamaian, dan menjamin terpenuhnya hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama.
Dengan mengacu pada pertemuan bersejarah tersebut, Paus kiranya ingin memberi pesan bahwa ensiklik yang ditulisnya tidak lahir dari ruang hampa. Fratelli Tutti muncul sebagai refleksi atas pengalaman perjumpaan dengan "yang lain". Dialog dengan "yang lain" membuat Paus Fransiskus semakin yakin bahwa dunia ini hanya bisa menjadi lebih baik jika semua orang memiliki kemauan untuk menjembatani perbedaan dengan terbuka membangun dialog dan kerja sama.
Menurut Paus, salah satu pengalaman yang mendorong dia untuk menulis ensiklik ini adalah pertemuannya dengan Ahmed Al-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar, pada Februari tahun lalu.
Bagi Paus, seperti yang ditulisnya dalam ensiklik ini, dunia tidak bisa diselamatkan hanya oleh satu orang. Tidak ada satu orang pun yang bisa hidup seperti sebuah pulau, terpisah dari yang lain. Hidup manusia mencapai kepenuhannya justru ketika ada ikatan persekutuan dan persaudaraan. Karena itu, ia mendorong semua orang untuk menanggalkan segala bentuk individualisme, karena individualisme adalah virus yang mengancam hidup manusia. Selain itu, individualisme bertentangan dengan kodrat manusia yang diciptakan untuk terbuka pada relasi.
Di tengah pandemi
Fratelli Tutti diterbitkan ketika masyarakat manusia sedang berjibaku melawan Covid-19. Sejak kemunculannya di Wuhan, China, beberapa bulan lalu, virus korona masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Data Worldometers pada 5 Oktober 2020 menyebutkan bahwa di seluruh dunia sudah ada 35.387.775 orang yang terpapar virus dan dari jumlah ini ada 1.041.537 orang yang kehilangan nyawa.
Bukan hanya berdampak serius pada masalah kesehatan, Covid-19 juga telah merusak sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi. Selama masa pandemi ini, angka pengangguran bertambah. Tingkat kemiskinan semakin menanjak. Aktivitas di lembaga-lembaga pendidikan dan perkantoran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Semua sektor kehidupan terkena dampak akibat penyebaran Covid-19 yang begitu cepat dan masif.
Di tengah krisis yang diakibatkan oleh Covid-19, kiranya penting memperhatikan seruan Paus Fransiskus. Ia mengajak semua orang untuk melihat tragedi yang memorakporandakan seluruh tatanan hidup manusia ini sebagai peringatan tentang pentingnya membangun solidaritas global. Ajakan ini sangat tepat.
Virus korona adalah musuh bersama yang hanya bisa dilawan dengan memperkuat kerja sama dan solidaritas di pelbagai level: antarpemimpin negara, antara para pemimpin dan warga, antarkomunitas warga, antar-instansi yang terkait. Kerja sama dan solidaritas bisa terwujud jika di antara sesama manusia terjalin rasa persaudaraan.
Di tengah krisis yang diakibatkan oleh Covid-19, kiranya penting memperhatikan seruan Paus Fransiskus.
Sayangnya, di tengah pandemi ini kita masih menemukan banyak fakta yang bertolak belakang dengan semangat persaudaraan. Di tingkat global, kita menyaksikan drama persaingan dagang yang tidak sehat, konflik dan pertikaian panjang yang melanda beberapa kawasan, menguatnya rasisme dan perlakuan diskriminatif di antara warga, serta munculnya gerakan-gerakan populis yang mengagung-agungkan superioritas bangsa tertentu.
Sementara itu, di tingkat nasional, kita masih bergulat dengan masalah intoleransi dan radikalisme, tingkat kriminalitas yang masih tinggi, polarisasi warga berdasarkan pilihan politik, kemakmuran ekonomi yang tidak merata, penindasan dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, penerapan hukum yang tidak adil, penyalahgunaan dan penyelewengan kekuasaan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Beberapa fenomena tersebut mengakibatkan munculnya perpecahan. Masyarakat terbelah dalam kutub-kutub kepentingan. Padahal, di masa pademi ini, masyarakat seharusnya bersatu, bergandeng tangan untuk menahan laju penyebaran virus korona dan meringankan penderitaan warga yang terkena dampak olehnya. Egoisme pribadi dan kelompok, ketamakan, saling curiga, kebencian dan permusuhan adalah sikap-sikap yang membuat perjuangan kita melawan virus korona tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Dalam masa pandemi ini, Fratelli Tuttimengingatkan semua orang dari pelbagai lapisan dan golongan tentang pentingnya menghidupkan semangat persaudaraan. Di kalangan warga, semangat persaudaraan bisa diwujudnyatakan dengan mengembangkan budaya gotong royong untuk saling meringankan penderitaan dan mengobarkan optimisme.
Semangat persaudaraan juga bisa ditunjukkan dengan kedisiplinan untuk saling menjaga dan menepati protokol kesehatan agar tidak tertular dan menularkan virus kepada orang lain. Sementara bagi para pemangku jabatan dan penentu kebijakan, semangat persaudaraan bisa diterjemahkan dengan menetapkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kemanusiaan, mendatangkan kemaslahatan dan menjamin keselamatan orang banyak.
Semangat persaudaraan juga bisa ditunjukkan dengan kedisiplinan untuk saling menjaga dan menepati protokol kesehatan agar tidak tertular dan menularkan virus kepada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar