Beberapa bulan terakhir, sungguh waspada tiada henti agar terhindar dari wabah, meskipun saya tergolong beruntung masih bisa bekerja atau bepergian sesuai keperluan. Namun, entah mengapa, rasa tegang seperti tak pernah hilang.
Sesekali, saya cari ruang terbuka yang sepi di tengah pandemi yang lebih baik di rumah saja. Saat siang hari, ada saja taman kota yang benar-benar tanpa pengunjung. Di sana, lanskap rumput dan tanaman menjadi bonus istimewa tiada tara.
Kian lega hati dan pikiran, karena setelahnya bisa pulang ke rumah yang nyaman. Jelas sebuah situasi yang patut disyukuri mengingat bagi sebagian orang, kini rumah menjadi kebutuhan yang makin sulit digapai.
Sebanyak 11,4 juta rumah tangga di Indonesia, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun yang non-MBR, menghuni rumah bukan milik sendiri.
Teringat pesan singkat pekan lalu dari seorang teman. Keluarga kenalannya terpaksa pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil dan lebih murah. Tak ada lagi pihak penyewa jasa sang kepala rumah tangga yang pekerja seni pertunjukan. Menghemat seketat mungkin bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Membuka usaha katering dadakan juga belum membuahkan hasil memadai.
Masalah hunian yang kian jauh dari jangkauan pada sebagian orang di masa pandemi menambah persoalan serupa yang telah menumpuk. Situasi ini rupanya menjadi perhatian Program Pemukiman Manusia Perserikatan Bangsa‑Bangsa (United Nations Human Settlements Programme/(UN-Habitat) yang mengunggah film dokumenter The Human Shelter di situsnya bersamaan dengan peringatan Hari Habitat Dunia yang jatuh setiap pekan pertama bulan Oktober.
Film besutan Boris B Bertram tersebut merekam berbagai hunian di muka bumi. Hunian minimalis dalam arti sebenarnya yang jauh dari mewah atau modern, terbatasnya akes terhadap fasilitas publik, juga sempitnya kesempatan meraih penghidupan yang lebih baik, ternyata juga dialami orang-orang di ujung Kutub Utara hingga di kota-kota kaya sekelas Tokyo dan New York.
Bertram mengajak orang mengenal rumah milik penggembala rusa di Arktik. Pemanas sekaligus kompor menjadi jantung rumah berukuran tak lebih dari 3 meter x 3 meter itu. Semua fasilitas rumah numpuk di sana, berimpitan. Pasangan penghuni rumah tersenyum sembari menyesap minuman hangat. Berada di atas hamparan luas lahan salju tebal, dinding rumah mungil itu menjadi benteng pelindung mereka.
Saat menyorot deretan hunian sementara berkonsep bongkar pasang bagi pengungsi di luar Kota Mosul di Irak, Bertram memperlihatkan para pengungsi berupaya menciptakan rumah yang homey di tengah ketakutan akibat tercerabut dari kampung halamannya. Para remaja riang belajar dan bermain beralaskan karpet. Dinding rumah dilapisi kain bermotif khas lokal seakan menyambut bayi yang baru lahir dan menerbitkan bahagia di sela ketidakpastian masa depan.
Kisah mirip muncul dari dalam gubuk-gubuk yang dibangun dari barang-barang bekas di atas genangan air di kawasan kumuh bagian dari Kota Lagos di Nigeria. Hidup serba terbatas, nyaris tanpa akses air bersih dan sistem sanitasi, mereka bekerja demi bertahan hidup sembari menjaga keluarga mereka.
Bertram juga mengajak memasuki kehidupan warga Tokyo di Jepang yang mendiami "kotak-kotak" unit apartemen seluas 6 meter persegi. Kesendirian dan kesepian para lajang penghuni kotak itu serupa dengan kisah pekerja-pekerja di New York yang dikenal banyak menetap di apartemen sempit. Kamar-kamar sempit jadi pilihan karena semua serba mahal, sementara pendapatan pas-pasan.
Dari banyak petikan kisah tersebut, tertangkap bahwa meskipun telah lama dan terbiasa hidup dalam kondisi masing-masing, selalu ada impian suatu saat bisa meraih kondisi lebih baik di dalam rumah yang lebih layak pula. Pesan ini berkumandang dari berbagai sudut dunia di Hari Habitat.
Ledakan penduduk
Dalam "Global Urban Competitiveness Report (2019-2020) The World: 300 Years of Transformation Into City", peneliti UN-Habitat, Marco Kamiya dan Ni Pengfei, menyatakan, ada riset yang masih terus berjalan untuk menangkap perubahan global dari tahun 1750 hingga 2050 mendatang. Pada tahun 1750, baru 5,5 persen warga dunia menghuni kota-kota. Pada 2050, 70 persen dari perkiraan 9,3 miliar penduduk dunia kala itu diprediksi akan memadati kawasan urban.
"Ada perubahan-perubahan penting transformasi ini, di antaranya, perubahan ukuran populasi kota-kota terkemuka dari semula dihuni puluhan ribu menjadi ratusan ribu, jutaan, dan puluhan juta jiwa. Kota-kota terkemuka tidak hanya membawa dunia menjadi kota, tetapi juga mengubah dunia kota," kata Kamiya dan Pengfei.
Salah satu kebutuhan utama yang muncul seiring membengkaknya ukuran kota-kota eksisting dan terbentuknya kota-kota baru adalah fasilitas hunian layak bagi warganya.
Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan atas rumah masih jadi pekerjaan rumah. Laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, angka backlog kepemilikan rumah pada 2015 mencapai 11,4 juta rumah. Angka tersebut menjelaskan bahwa ada 11,4 juta rumah tangga di Indonesia, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun yang non-MBR, menghuni rumah bukan milik sendiri. Hasil konversi terhadap data tersebut menunjukkan, provinsi dengan persentase kepemilikan rumah terendah (di bawah 70 persen) adalah DKI Jakarta (51,09 persen) dan Kepulauan Riau (67,67 persen).
Pada tahun 2025, Kementerian PUPR memproyeksikan ada lonjakan kebutuhan hingga 30 juta rumah tangga. Ditargetkan dengan pemenuhan hingga 1,2 juta unit per tahun, kebutuhan rumah di masa yang akan datang dapat dipenuhi. Namun, angka tersebut belum memperhitungkan kemunduran ekonomi serta pergeseran fokus pembangunan akibat dampak pandemi.
Meski demikian, Presiden Joko Widodo dalam sambutan secara vitual pada Peringatan Global Hari Habitat Dunia 2020 yang dipusatkan di Surabaya, Jawa Timur, menyatakan tetap berkomitmen menyediakan hunian layak untuk setiap warga negara. Hal ini ditempuh dengan program Satu Juta Rumah berikut program pembiayaannya yang fokus membantu MBR.
Presiden, sebagaimana dikutip dari Kompas.id pada 6 Oktober 2020, menyatakan, Indonesia pada 2030 diprediksi akan memiliki jumlah penduduk hampir 300 juta jiwa. Sebanyak 63,4 persen di antaranya tinggal di perkotaan. Oleh sebab itu, persoalan penataan perkotaan dan agenda baru perkotaan menjadi sangat penting. Mewujudkan hak setiap warga untuk mendapat hunian layak, khususnya bagi mereka yang kekurangan, adalah tugas utama negara.
Dukungan kebijakan
Menyediakan rumah bukan pekerjaan mudah. Perlu sederet kebijakan disertai pendanaan mumpuni agar rumah layak terjangkau bagi publik, terlebih bagi MBR. Selain program Satu Juta Rumah sejak 2015, pemerintah telah menelurkan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat, juga ada program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Semua program mencoba membangun kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mempermudah penyediaan rumah terjangkau.
Namun, untuk memiliki rumah, setiap orang tetap harus berdaya. Dengan adanya subsidi sewa maupun bunga pinjaman pun, setiap orang nantinya tetap harus bisa membayar sisa kewajibannya.
Selain sisa sewa maupun cicilan pembayaran rumah, rupa-rupa tagihan air bersih, listrik, dan lain-lainnya akan menunggu untuk dibayar rutin. Membuat setiap warga memiliki sumber penghasilan yang memadai menjadi tuntutan mendasar yang juga sepatutnya dipenuhi pemerintah.
Apakah kebijakan yang ada saat ini sudah menjawab itu semua? Kebijakan terbaru yang memicu kontroversi, yaitu Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, boleh jadi memang akan membuka banyak lapangan usaha dan banyak tenaga kerja terserap.
Akan tetapi, seperti dipaparkan dalam grafis halaman 1 Kompas edisi 9 Oktober 2020, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menyatakan, "Mungkin saja pengangguran terserap, tetapi mereka dibayar dengan standar upah lebih rendah dan tanpa kepastian kerja." Dengan demikian, kualitas hidup warga yang lebih baik belum tentu terpenuhi.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah menelaah kembali kebijakan-kebijakanya. Antarkebijakan yang saling sinkron menjadi kunci terealisasinya janji kepada publik. Pada janji itu, diikatkan asa warga agar rumah impian tidak lepas dan terbang menjauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar