Dunia sepak bola berduka. Salah satu tokoh terhebatnya sepanjang masa, Diego Maradona, berpulang untuk selamanya, Rabu (25/11/2020) waktu Argentina, akibat serangan jantung. Seperti tokoh-tokoh berpengaruh global lainnya, kepergiannya ditangisi jutaan orang dari berbagai penjuru dunia.
Bukan hanya warga sepak bola, berbagai kalangan pun ikut berkabung. Pemimpin umat Khatolik dunia, Paus Fransiskus, misalnya, ikut menyampaikan duka mendalam atas kepergian legenda sepak bola Argentina itu.
"Pesepak bola yang luar biasa, namun rapuh," bunyi ulasan Vatican News, Kamis, yang menyebut Maradona sebagai seorang "pujangga" sepak bola.
Maradona memang laik disebut sebagai pujangga, seperti halnya Shakespeare. Mulutnya tidak pernah berkata manis, tetapi penampilannya kala masih aktif bermain bola sangatlah magis. Karya indahnya itu, antara lain, ia perlihatkan saat menghadapi Inggris pada babak perempat final Piala Dunia Meksiko, 1986 silam.
Ia merebut bola di wilayah pertahanan timnya, menggiring bola, lalu menari-nari melewati sejumlah pemain Inggris, termasuk kiper Peter Shilton, sebelum mencetak gol kedua Argentina. Semua itu dilakukannya sendirian. Sungguh ajaib.
Baca juga : Dunia Beri Penghormatan Terakhir untuk "Dewa Sepak Bola"
Momen menakjubkan yang tercipta selama 11 detik itu lantas dikenang FIFA dan publik sepak bola dunia sebagai "Gol Terbaik Abad Ini (ke-20)". Berkat gol itu, Argentina lolos ke semifinal hingga menjadi juara dunia. Laga versus Inggris itu seolah adalah refleksi panjang perjalanan jalan hidupnya sebelum menemui Penciptanya, kemarin. Dua wajah kehidupan Maradona, yang buruk dan indah, hadir sekaligus dalam laga itu.
Gol "Tangan Tuhan"
Sebelum gol 11 detik itu tercipta, Maradona membuat peristiwa bersejarah lainnya. Ia membuat Argentina unggul lewat gol kontroversial, yaitu berbau handsball, yang lantas dikenang dengan istilah "Gol Tangan Tuhan". Seolah tak berdosa, padahal menipu wasit dan para penonton kala itu, Maradona melakukan selebrasi gol itu dengan penuh penghayatan.
Padahal, video rekaman saat terjadinya gol itu, yang disaksikan puluhan juta orang hingga saat ini, menunjukkan ia mencetak gol lewat tangannya. Namun, sisi gelap Maradona yang terus dikutuki pendukung Inggris hingga detik ini itu ditutupi oleh kegemilangannya saat mencetak gol kedua Argentina.
"Untuk pertama kali dalam karier saya, gol itu membuat saya bertepuk tangan untuk tim lawan," ujar Gary Lineker, mantan pemain timnas Inggris, mengenang gol terindah dalam sejarah Piala Dunia itu.
Tidak peduli tindak-tanduk dalam hidupmu selama ini, Diego, hal terpenting adalah apa yang telah kamu berikan untuk kita. (Pep Guardiola)
Jika "Albiceleste" alias timnas Argentina ibarat grup musik legendaris, Maradona adalah Freddie Mercury dari Queen. Serupa Mercury, tokoh Queen penulis dan pelantun lagu-lagu hit dunia seperti Don't Stop Me Now dan We are the Champions, Maradona memiliki dua sisi kehidupan yang bertolak belakang. Itu ibarat siang dan malam. Di balik talenta hebat dan popularitasnya, Maradona sempat lama terseret masalah kecanduan narkotika dan alkohol.
Tak heran, koran ternama Inggris, The Telegraph, menyebut Maradona sebagai seorang genius di dalam drama kehidupan "hitam dan putih". Hal itu sejalan prinsip hidupnya. "Saya hitam atau putih. Tidak pernah abu-abu," tukasnya suatu ketika mengenai kehidupannya yang banyak diwarnai masalah kecanduan alkohol.
Baca juga : Selamat Jalan Maradona
Totalitas tanpa batas
Bagi Maradona, mencintai sesuatu hal lebih baik total atau tidak sama sekali. Hal itulah yang konsisten diperlihatkannya di sepak bola, khususnya untuk Argentina, hingga jelang akhir hayatnya. Kompas kebetulan menjadi saksi mata langsung dari gairah membara dan totalitas kecintaan Maradona akan Albiceleste.
Dalam hajatan Piala Dunia Rusia 2018, yang diliput langsung Kompas, sang legenda yang identik dengan kostum nomor 10 Argentina itu rajin menyaksikan penampilan langsung Albiceleste dari tribune penonton.
Suatu ketika, Maradona bahkan menjadi penonton paling berisik, bahkan norak, saat Argentina menghadapi Perancis pada babak 16 besar Piala Dunia itu di Kazan, Rusia. Mengenakan kaus polo biru, Maradona kerap berteriak-teriak, bahkan sesekali meloncat dari kursinya, setiap kali Lionel Messi dan kawan-kawan melakukan tembakan ke gawang Perancis.
Padahal, empat hari sebelumnya, mantan bintang Napoli dan Barcelona itu sempat kolaps di tribune penonton. Peristiwa itu terjadi di sela-sela laga Argentina versus Nigeria di Saint Petersburg. Pria eksentrik, blak-blakan, dan kerap meledak-ledak ini sempat didatangi tim medis karena terjatuh dan nyaris pingsan pada laga yang dimenangi dramatis Argentina, 2-1, kala itu.
Saat itu, Maradona diduga terkena serangan jantung ringan, penyakit yang menjemput nyawanya, kemarin. Hadirnya penyakit itu, sejak lama, diyakini muncul akibat gaya hidup tidak sehatnya.
Bertubi-tubi gagal
Meskipun kerap mengkritik pedas timnas Argentina yang bertubi-tubi gagal meraih trofi Piala Dunia, Maradona adalah pendukung nomor satu tim tersebut. Seperti prinsip hidupnya, ia berkali-kali juga kerap memberikan kritik pedas ke Messi walaupun di sisi lain ia juga kagum dan menyayanginya. Maradona sangat ingin melihat Argentina kembali meraih trofi emas Jules Rimet, hal yang kali terakhir mereka raih di Meksiko, 1986 silam.
Padahal, banyak bintang hebat, termasuk Messi, membela Argentina setelah masa itu. Namun, tiada satu pun mampu menyamai capaian Maradona, sosok yang sering disebut-sebut memenangi gelar Piala Dunia 1986 secara solo. Capaian serupa dilakukannya saat "nyaris sendirian" membawa Napoli juara Liga Italia pada musim 1987 dan 1990. Sebelum dan setelah itu, klub Italia itu tidak pernah bisa sesukses masa tersebut.
Pencapaian-pencapaian fenomenal itu membuat Maradona seolah mematahkan adagium dalam olahraga beregu. Ia menunjukkan, satu talenta hebat cukup membuat sebuah tim berjaya. Kehebatan itu pun diakui Messi. Bintang Barcelona dan Argentina saat ini itu menyebut (karya) Maradona akan tetap abadi.
Mahakarya Maradona itu tidak akan pernah lekang zaman. "Tidak peduli tindak tanduk dalam hidupmu selama ini, Diego, hal terpenting adalah apa yang telah kamu berikan untuk kita," ujar Pep Guardiola, manajer Manchester City, mengenai Maradona, dikutip BBC, suatu ketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar