Pahlawan hadir dalam lagu pop Indonesia dari masa ke masa. Sosok pahlawan muncul seturut gejolak perjuangan bangsa dan dinamika kehidupan masyarakat. Orang-orang dalam budaya pop menghadirkan sosok pahlawan sesuai kaidah yang lazim dalam lagu pop.
Suatu kali pada awal 1960-an Titiek Puspa lewat di sekitar Lapangan Banteng, Jakarta. Saat itu tengah berlangsung upacara pelepasan pasukan yang akan diberangkatkan dalam Operasi Trikora atau operasi pembebasan Irian Barat.
Titiek Puspa melihat adegan yang di matanya mengharukan. Ketika itu ada seorang prajurit diantar istrinya yang tengah mengandung. Peristiwa itu kemudian menginspirasi Titiek Puspa untuk menulis lagu "Pantang Mundur". Lagu ini dibawakan sendiri oleh Titiek Puspa pada 1965.
Baca juga: Lagu dan Jejak Masa Lalu
Seperti peristiwa yang dia lihat, Titiek memulai lagu dengan menggambarkan seseorang melepas sosok yang ia sebut "kakanda" untuk berjuang. "Kulepas dikau Pahlawan/ Kurelakan dikau berjuang...."
Pada bagian berikutnya, dikisahkan bahwa tokoh yang menyebut diri "Ananda" ini telah melahirkan anak pertamanya. "Putra pertama lahir sudah. Kupintakan nama padamu pahlawan...."
Lagu ditutup dengan harapan dan dorongan moral kepada sang pahlawan. Bagian yang bisa dikatakan sebagai klimaks lagu ini diekspresikan Titiek Puspa dengan penuh tenaga, dalam nada tinggi. "Jayalah dikau pahlawan/ maju terus pantang mundur...."
Heroisme dan romantisisme
Pada awal 1960-an sejumlah lagu bertema kepahlawanan meramaikan musik pop di Indonesia. Selain Titiek Puspa, ada pula Lilies Suryani, Tuti Subardjo, dan Anna Mathovani menyanyikan lagu bertema kepahlawanan. Sejarah mencatat, pada masa tersebut ada sejumlah operasi militer, seperti operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora dan Dwi Komando Rakyat atau Trikora.
Musik pop merekam dinamika sejarah seputar masa tersebut dengan lagu-lagu. Hal ini juga terjadi pada masa revolusi 1940-an dan 1950-an. Kala itu juga lahir lagu-lagu tentang pahlawan, antara lain dari Ismail Marzuki dan Maladi. Seperti yang lazim dalam lagu pop, pahlawan dalam lagu diberi latar yang katakanlah romantik. Ada dramatika kehidupan, kisah kasih di antara manusia, dalam hal ini antara sosok yang disebut pahlawan dan kekasihnya.
Pada masa yang hampir bersamaan dengan "Maju Terus Pantang Mundur", Tuti Subardjo menyanyikan "Berikan Daku Harapan" ciptaan M Jusuf. Pada lagu ini disebutkan, sang pahlawan menunaikan tugas negara "di perbatasan". Sebelum menunaikan tugas, pahlawan dan kekasihnya itu sudah berjanji, yang dalam lagu ditulis sebagai "ucapan janji setia".
Baca juga: Menjelajah Tanah Air Lewat Lagu
Janji setia ini di dalam lagu dikatakan menjadi "permata hati", dan digunakan sebagai pegangan dan harapan. Itu mengapa meski sang pahlawan berada di perbatasan, tapi tetap dekat di hati. Ungkapan ini sebenarnya klise, tetapi menemukan makna yang kontekstual di lagu ini. Pada lagu ini juga ada doa dan dorongan moral, "Menangkan tugasmu/ Restu sluruh bangsamu..." Lagu ditutup dengan rasa bangga, "Kubangga duhai pahlawan."
Hubungan pahlawan dan kekasihnya juga menjadi dramatika di lagu "Di Keheningan Malam" dari Anna Mathovani. Seperti pada lagu-lagu itu, lagu ini juga bertutur tentang keterpisahan. Sang pahlawan berada di medan laga. Adapun sang kekasih menunggu dengan setia. Pada "Di Keheningan Malam" posisi sang pahlawan disebut jelas, yaitu "di rimba raya Kalimantan Utara", suatu lokasi yang dalam lagu dijelaskan sebagai "medan gerilya".
Sementara itu, sang kekasih berada "di keheningan malam". Ia berada dalam situasi sunyi, rindu, dan gelisah dalam penantian. Mengapa? Karena "lama nian tiada berita/ Dari medan gerilya". Dalam situasi demikian, ia berharap dan "runduk berdoa" untuk keselamatan "pahlawanku di rimba raya Kalimantan Utara". Bagian ini dinyanyikan dengan nada tinggi, lantang, dan jernih khas suara Anna Mathovani.
Pasca-1960-an
Era 1970-an Indonesia memasuki apa yang disebut sebagai zaman Orde Baru. Lagu-lagu dengan sosok-sosok heroik, romantik sudah tidak seseru seperti pada era 1960-an. The Gembell's, band asal Kota Pahlawan, Surabaya, bahkan menulis lagu tentang pahlawan yang dilupakan.
Dengan gaya balada, lagu ciptaan Anas Zaman tahun 1973 diawali dengan deskripsi seseorang yang digambarkan berambut memutih, wajah berkerut, cekung dadanya, dan kurus tubuhnya. Sosok tersebut adalah "prajurit" alias "Pahlawan yang Dilupakan" yang menjadi judul lagu.
Lanskap waktu disebut dalam lagu adalah masa ketika perang telah berlalu. Masa ketika negeri ini menikmati hasil kemerdekaan yang ikut diperjuangkan sang pahlawan. Akan tetapi, sang pahlawan tidak mendapatkan bintang tanda jasa. Ia bahkan telah dilupakan. Lagu ini terkesan sebagai kritik sosial yang mengingatkan orang untuk menghargai jasa para pahlawan.
Baca juga: Indonesia Meriah dengan Lagu Daerah
Ketika masa heroisme perjuangan bersenjata telah lewat, muncul lagu yang bergaya retrospektif pada sosok pahlawan. Farid Bani Adam, misalnya, menulis dan menyanyikan lagu "Pahlawan Sudirman". Farid dengan apa adanya menyebutkan bahwa pemahamannya tentang sosok Jenderal Sudirman itu didapat dari buku. "Rasa bangga diri/ Kudapat mengenalmu/ Walau kisah tuan kubaca dari buku." Farid menyebut Jenderal Sudirman sebagai "patriot Nusantara/ Mengorbankan diri untuk rakyat sejati".
Memasuki era 1980-an muncul lagu yang intinya memberikan penghormatan kepada pahlawan oleh para generasi muda. Lagu tersebut adalah "Bunga untuk Pahlawan" ciptaan Yonas Pareira yang dibawakan Delly Rollies. Lagu yang sama juga dinyanyikan Jamal Mirdad.
Lagu dibuka dengan deskripsi keindahan dan kesuburan negeri, dengan penghuni yang cantik jelita. Mensyukuri negeri indah dan subur, mereka juga berterima kasih kepada pahlawan yang ikut memperjuangkan kemerdekaan.
Dalam lagu ini, pahlawan digambarkan sebagai sosok yang cinta dan setia kepada Tanah Air. Diibaratkan, Merah Putih tak pernah dilepaskan walau akhir hayat sampai tetes penghabisan. Pahlawan disebut sebagai sosok yang memberikan jiwa dan darah untuk kemerdekaan Ibu Pertiwi.
Setelah negeri merdeka, kaum muda, dalam lagu ini diwakili "dara remaja", berterima kasih, dan memberikan penghormatan kepada pahlawan. "Kini dara remaja menabur bunga-bunga walau tak kenal namamu…."
Baca juga: Nasionalisme Bukan Musiman
Pahlawan memang tidak selalu mereka yang mengangkat senjata. Julukan pahlawan juga disematkan kepada mereka yang berdedikasi menggeluti profesi yang berguna bagi kesejahteraan rakyat banyak. Di antaranya para guru yang disebut sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", seperti dalam "Himne Guru" ciptaan Sartono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar