What have we become
Just look what we have done
All that we destroyed
You must build again
Penggalan lagu "When the Children Cry" dari White Lion itu tiba-tiba menusuk kalbu ketika mata menatap layar gawai menyimak berbagai bencana alam menerjang sejumlah wilayah di Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, nyaris bersamaan, banjir, longsor, dan gempa terjadi menimbulkan tangis anak-anak hingga lanjut usia. Seperti refrain lagu yang terus diulang, di setiap musim hujan dari tahun ke tahun, bencana mengakrabi negeri yang selalu digembar-gemborkan gemah ripah loh jinawi ini.
Fenomena alam, seperti pasang laut, debit air sungai yang naik kala hujan deras, hingga gunung meletus dan gempa akibat pergeseran lempeng bumi, sebenarnya hal yang lumrah terjadi karena bumi ini memang tidak diam saja. Ada sistem yang bekerja di luar kuasa manusia.
Ketika fenomena alam itu mengusik manusia, orang-orang menjadi terluka, kehilangan harta benda, sampai hilang nyawa, barulah kita menyebutnya sebagai bencana. Ketika permukiman manusia yang kian kompleks, seperti di perkotaan, turut didera fenomena alam tersebut dan memakan korban jiwa, serta kerugian materiil dalam jumlah besar disebutlah telah terjadi bencana alam yang kian masif daya rusaknya.
Pendapat awam itu membuat kita lupa bahwa manusialah yang secara disadari atau tidak merangsek dan menduduki lokasi rawan bencana.
Pengorganisasian dan interaksi yang tepat antara keempat elemen penting dalam ekosistem manusia dan menjaga kelestarian sumber daya kritis, khususnya alam, menjadi penentu ekosistem manusia dapat berfungsi dan berkelanjutan.
Dalam diskusi terkait lingkungan perkotaan, sering kali dibahas tentang kota sebagai ekosistem buatan yang sangat dinamis. Ekosistem buatan ini ada di atas ekosistem alami yang menerus berubah, tetapi dengan sangat lambat.
Manusia membangun peradabannya dengan menduduki suatu lahan tertentu. Dengan jumlah yang terus berkembang, manusia mengubah bentang alam sesuai kebutuhannya. Hutan menjadi areal persawahan, menjadi hunian, menjadi lokasi pabrik, menjadi ruas-ruas jalan baru. Tak jarang bukit diratakan atau dibelah, lembah ditimbun, sempadan sungai, dan pantai tak luput diokupasi.
Gary E Machlis bersama kedua rekannya, Jo Ellen Force dan William R Burch JR yang intens mengkaji ekosistem manusia, berpendapat bahwa ada empat elemen penting ekosistem manusia. Keempat elemen tersebut, yaitu sumber daya kritis atau terpenting (critical resources), institusi sosial, siklus sosial, dan tatanan sosial (identitas, norma, dan hierarki). Sumber daya kritis meliputi alam, sosial ekonomi, dan budaya.
Machlis menyebut, adaptasi terhadap alamlah yang memengaruhi budaya dan sosial ekonomi manusia dan memengaruhi ketiga elemen lain. Pengorganisasian dan interaksi yang tepat antara keempat elemen dan menjaga kelestarian sumber daya kritis, khususnya alam, menjadi penentu ekosistem manusia dapat berfungsi dan berkelanjutan.
Baca juga: Heboh Duo "R" Cermin Keragaman Penghuni Kota
Namun, kenyataan saat ini, ekosistem manusia telah berkembang sedemikian pesat. Dengan sekitar 7 miliar jiwa manusia, sebagian daratan sudah dihuni. Kota-kota membengkak, area non-urban pun kian disesaki manusia dan tinggal menunggu waktu menjadi kota baru. Jangan lupa, manusia juga memiliki kemampuan tak terbatas untuk mengeksplorasi alam guna memenuhi kebutuhannya yang terus bertambah.
Kasarnya, setiap kota selalu rakus menyerap apa saja yang ada di daerahnya, juga tak segan mendedah daerah lain demi memasok asupan yang dibutuhkan warga kota. Asupan itu, mulai dari bahan pangan, mineral dan aneka bahan tambang, listrik, dan masih banyak lagi. Ini memang menggerakkan ekonomi, tetapi potensi efek samping pengganggu keseimbangan lingkungan juga bukan main besarnya.
Pada 10-20 tahun lalu, untuk melihat masa kini, mungkin Majene dan Mamuju di Sulawesi Barat tidak sepadat sekarang. Seiring waktu, kedua kabupaten tersebut berkembang. Apakah pemerintah daerah dan warga setempat sadar bahwa kawasannya berada di antara lempeng bumi yang setiap saat bergerak dan memicu gempa? Apakah sudah ada mitigasi yang dilakukan sebagai kawasan berpenduduk di area rawan gempa? Bagaimana tata ruang wilayah kedua kabupaten itu?
Lalu, Kalimantan dengan sungai-sungai besarnya, secara alami pula memiliki tutupan hutan lebat dan luas yang berfungsi sebagai penyerap dan penahan air di sana. Puluhan tahun terakhir, hutan dirambah dan dialihfungsikan atas nama kepentingan manusia. Kota-kota berkembang pesat, permukiman semakin padat dan meluas hingga merambah kian dekat aliran sungai. Masuk akal jika sebagian area hunian penduduk seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, terendam kala volume air sungai bertambah berkali lipat saat hujan deras tak berhenti turun, lalu melimpas ke area sekitarnya.
Kita perlu berpikir dalam konteks yang sama saat mempersoalkan banjir besar di Sidoarjo, Jawa Timur. Begitu pula ketika membahas banjir di Cirebon, longsor di Sumedang, dan tak lupa banjir bandang di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Setiap kali mengubah bentang alam tanpa diikuti rekayasa agar keseimbangan lingkungan terjaga, kita ibaratnya menabung potensi bencana dan siap menuai limpahannya suatu saat nanti.
Baca juga: Tipisnya Irisan Tempe yang Mengusik Keamanan Pangan Kita
Pertumbuhan kawasan perkotaan di Indonesia seiring laju pertumbuhan penduduk selaras dengan Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Dari laporan tersebut, diketahui tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia 2,75 persen per tahun dan rata-rata nasional 1,17 persen per tahun. Empat tahun mendatang, 2025, jumlah penduduk yang tinggal perkotaan Indonesia mencapai 68 persen dan diperkirakan menjadi 82 persen pada tahun 2045.
Sebelumnya, Bappenas juga banyak mengkaji tentang perkotaan di Indonesia. Kota-kota kategori sedang, yaitu berpenduduk 100.000-500.000 jiwa, menempati proporsi terbesar dan mendominasi perkembangan kawasan di luar Pulau Jawa. Di Jawa dan Sumatera, selain kota sedang, sebagian kawasannya tumbuh menjadi kota besar (lebih dari 500.000 jiwa penduduk) dan metropolitan dengan lebih dari 1 juta jiwa penduduk. Sementara pertumbuhan kota kecil terjadi merata di seluruh negeri.
Bersamaan dengan situasi itu, tingkat kemiskinan, masalah-masalah sosial, dan tak ketinggalan kerusakan lingkungan terus meningkat di semua wilayah. Daya dukung dan daya tampung lingkungan terancam terlewati, yang sebagian bahkan sudah terlewati.
Sarana dan prasarana kota rata-rata juga masih minim. Pembangunan transportasi umum belum menjadi acuan pembangunan di semua wilayah, baik kota maupun kabupaten. Kondisi ini berkontribusi terhadap masih rendahnya daya saing kota-kota di Indonesia.
Baca Juga: Tren Vakansi Sehat Warga Kota di Tahun 2021
Melihat kenyataan menyedihkan itu, Indonesia menetapkan acuan strategi pembangunan baru yang disebut "Kota 2045". Dokumen Kota 2045, Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPPN) dari Bappenas itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Mei 2019.
Berdasarkan kebijakan baru itu, Indonesia menekankan kewajiban pembangunan kota berkelanjutan yang dimaknai sebagai kawasan perkotaan yang didesain, dibangun, dan dikelola untuk memenuhi kebutuhan warga kota dari aspek lingkungan, sosial, ekonomi, tanpa mengancam keberlanjutan sistem lingkungan alami, lingkungan terbangun, dan lingkungan sosial.
Visi Kota 2045 seakan membenarkan dan mengadopsi pendapat Machlis. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, pembangunan yang ramah dengan kondisi alam setempat tak pelak lagi memang dibutuhkan jika tidak ingin menuai bencana berulang kali.
Visi Kota 2045 adalah menjadi kota berkelanjutan dan berdaya saing untuk kesejahteraan masyarakat. Caranya adalah dengan membangun identitas perkotaan Indonesia berbasis karakter fisik, keunggulan ekonomi, dan budaya lokal. Selain itu, membangun keterkaitan dan manfaat antarkota dan desa-kota dalam sistem perkotaan nasional berbasis kewilayahan.
Visi tersebut untuk menjawab tantangan pembangunan perkotaan, yaitu globalisasi yang menempatkan kota sebagai pusat aktivitas yang kompetitif dan bertaraf internasional, desentralisasi, dan demokratisasi tata pemerintahan sesuai kebijakan nasional, serta ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim, bencana, dan penurunan kualitas lingkungan.
Berkaca dari Visi Kota 2045, ada kata kunci, yaitu setiap kota memiliki ciri khasnya sendiri, baik dari lingkungan alamnya maupun sosial budayanya. Pembangunan kawasan wajib berbasis kewilayahan yang berarti tidak dapat dipukul rata satu program pembangunan untuk semua kota.
Kata kunci yang sama menjadi pegangan merumuskan kebijakan dan program pembangunan kawasan yang adaptif terhadap lingkungan sekitar. Untuk itu, rencana tata ruang wilayah (RTRW) setiap daerah sewajarnya berbeda antara satu kawasan dan yang lain, tetapi karena ada irisan-irisan juga adanya kesatuan bentang alam, kesesuaian RTRW amat dibutuhkan.
Sungguh diharapkan "Kota 2045" tidak semata menjadi dokumen, tetapi benar-benar diterapkan. Sebelumnya, mengambil contoh tata ruang Ibu Kota dan sekitarnya, nyatanya kesesuaian RTRW antarprovinsi dan kabupaten/kota di Jabodetabek tak kunjung ada. Padahal, aturan, undang-undang, dan kajian riset dari para ahli mendorong hal itu sejak belasan atau puluhan tahun sebelumnya
Yang sudah-sudah terjadi, seperti di Jabodetabek, bukannya melakukan sesuai apa kata undang-undang atau hasil penelitian para pakar. Contohnya, antara lain, sungai-sungai dikeruk, diperlebar, dan dibeton, sedangkan kawasan hulu lambat sekali revitalisasinya. Betonisasi aliran sungai memperlancar air mengalir ke hilir, yang ujung-ujungnya para ahli memperkirakan endapan di Teluk Jakarta bisa semakin cepat menebal. Dampaknya, saat pasang laut, kawasan pesisir semakin rentan diterjang banjir rob. Itulah yang sudah dan sedang terjadi, seperti di kawasan Muara Angke.
Saat bencana benar-benar menerjang, warga menjadi korban, merana, dan menghiba. Pemerintah gelagapan memobilisasi ribuan tenaga dan dana untuk mengatasi dampak yang terjadi. Publik tak kalah menggalang solidaritas menyalurkan sukarelawan, bahan pangan, pakaian, juga papan bagi para korban.
Begitu terus pola yang terjadi. Nyaris setiap tahun, setiap bencana menyapa bergantian di semua penjuru negeri seperti akhir-akhir ini.
Apabila dikelola efektif, sesungguhnya dana penanggulangan bencana dari anggaran pemerintah ataupun sumbangsih publik dapat disalurkan untuk revitalisasi kawasan seperti Puncak, Bogor, yang menjadi hulu sebagian sungai-sungai di Jabodetabek atau menghijaukan kembali kawasan bekas tambang serta hutan gundul di Kalimantan atau Sumatera.
Baca juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Dengan dana yang ada, bisa pula menginisiasi tata kawasan tahan bencana, dimulai dari penerapan pembangunan hunian tahan gempa, ramah banjir, atau memberi ruang air yang memadai di sekitar kita. Hasilnya, bukan tak mungkin dalam lima tahun saja atau kurang, potensi berbagai bencana dapat drastis diminimalkan.
Namun, yang perlu digarisbawahi, kita haruslah jujur dulu menerima kenyataan bahwa pemicu bencana itu sesungguhnya adalah perilaku kita sendiri. Dari sana, baru kemudian pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama berbenah demi dunia yang baru, dengan menerapkan kebijakan terpadu hulu hingga hilir dalam penanggulangan bencana. Demi tangis yang berganti nyanyian, bergenerasi.
When the children cry
Let them know we tried
'Cause when the children sing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar