"Pencairan Korban Kecelakaan Sriwijaya Air Terus Berlangsung". Demikian judul berita pada sebuah media daring.
Sekilas tidak ada yang salah dari judul tersebut. Kalimat pada judul itu mengikuti kaidah tata bahasa.Pencairan Korban Kecelakaan Sriwijaya Air merupakan subyek danTerus Berlangsung merupakan predikat.
Namun, jika kita cermati, informasi pada kalimat tersebut sesungguhnya tidak sesuai dengan informasi yang terjadi. Dalam berita dinyatakan bahwa Basarnas dan tim lain sedangmencari korban pesawat jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Mencari, bukan mencair.
Baca juga: Di Balik Istilah Polisi Tidur
Jadi, sesungguhnya yang dimaksud si pembuat berita adalah pencarian, bukan pencairan. Tim penolong bukanmelakukan pencairan (mencair),melainkan melakukan pencarian(mencari) korban yang terkena musibah.
Dalam kasus lain terdapat tulisan berita seperti ini: Truk bermuatan kacang keledai itu melaju dari arah selatan ke utara. Setelah melintasi jalan layang, laju truk tak terkendali sehingga menabrak minibus dan lima sepeda motor.
Selintas, juga tidak ada yang salah dari kalimat tersebut. Barulah setelah kita baca lebih teliti, kita mendapati bahwa yang dibawa truk ternyata adalah kacang kedelai, bukan kacang keledai.
Kesalahan tik bisa juga berupa penempatan atau penambahan huruf sehingga kata yang dimaksud betul-betul salah. Penulis, misalnya, hendak menulis Angkatan Laut dan Angkatan Darat, ternyata yang muncul adalahAngkatan Luat dan Aangkatan Darat.
Macam-macam penyebab
Kasus salah tik sejenis itu bisa ditemukan pada sejumlah tulisan. Tidak hanya di media (cetak ataupun daring), juga di tulisan-tulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Penyebabnya bisa macam-macam.
Pertama, penulis beranggapan bahwa tidak ada yang salah dari tulisannya. Dia percaya bahwa tulisannya baik-baik saja dan dia langsung memublikasikan tulisannya.
Kasus salah tik bisa ditemukan pada sejumlah tulisan. Penyebabnya bisa macam-macam.
Penyebab pertama ini biasanya berhubungan dengan pekerjaan yang menuntut kecepatan. Informasi yang lebih dahulu tersebar dan dibaca publik, dianggap penulis tersebut, lebih penting daripada akurasi kata. Dengan kata lain, penulisan kata tidak menjadi fokus perhatiannya.
Penyebab kedua, penulis beranggapan bahwa tulisannya akan dibaca orang lain yang kedudukannya lebih tinggi daripada dirinya. Biasanya kesalahan jenis ini berhubungan dengan tempat bekerja si penulis yang hierarkinya berjenjang.
Baca juga: Pewaris Versus Ahli Waris
Di media massa, umpamanya, tulisan berawal dari reporter. Selanjutnya si reporter menyerahkan tulisannya kepada editor yang merupakan atasannya.
Seharusnya editor memeriksa secara keseluruhan naskah setoran si reporter. Namun, yang terjadi, si editor hanya memeriksa keamanan berita dari tulisan tersebut. Ia menyerahkan pemeriksaan bahasa kepada bagian lain.
Di media tertentu, yang menangani bahasa adalah penyunting atau redaktur bahasa. Lagi-lagi reporter atau editor tidak memperhatikan akurasi kata dari pekerjaannya.
Yang jadi masalah kemudian adalah muncul kelengahan dari bagian penyunting bahasa. Alih-alih diharapkan menjadi penjaga terakhir urusan bahasa, bagian ini malah juga melakukan kesalahan.
Kata salah tik yang tidak terpantau oleh reporter dan editor akhirnya juga tidak terbaca radar penyunting bahasa. Lalu terjadilah kesalahan.
Jadi, anggapan yang muncul dari reporter dan editor, yang "menanggungjawabkan" pekerjaan kepada bagian lain, bisa berujung cacat kredibilitas. Tidak salah dari awal dan dari diri sendiri lebih baik daripada akhirnya salah di semua lini.
Penyebab berikutnya adalah "kecerobohan". Lazim diketahui bahwa ada segelintir orang yang memang mengutamakan satu hal, tetapi "menyepelekan" hal lain.
Baca juga: Pecinta, Pencinta, Bercinta
Kasus seperti ini biasanya terjadi pada penulis yang adakalanya tidak memedulikan lagi hasil pekerjaannya. Yang penting tugasnya menulis sudah selesai, demikian prinsipnya.
Penyebab lain adalah program bahasa pada komputer. Kita tahu bahwa program bahasa pada komputer berbasis bahasa Inggris. Itulah sebabnya, kata yang dalam bahasa Indonesia sudah lazim dipakai, tetapi terbaca "salah" oleh komputer, kata tersebut kemudian diubah secara otomatis oleh komputer.
Kasus kata teh menjadi the, atau bisamenjadi bias, dapat menjadi salah dua contoh yang sering ditemukan.
Enggan membaca ulang
Dari semua penyebab itu, sesungguhnya keengganan membaca ulang tulisan yang dibuat merupakan penyebab yang paling penting. Maka, agar kesalahan tidak terjadi, membaca kembali dengan cermat tulisan yang sudah dibuat wajib dilakukan. Pembacaan ulang tidak hanya menyangkut isi, tetapi juga bahasa.
Pembacaan ulang bisa saja dilakukan berkali-kali, apalagi jika tidak sedang dikejar tenggat. Dua kali membaca ulang paling tidak sudah cukup untuk meminimalkan kesalahan.
Baca juga: Kalimat Sejajar dan Tidak Sejajar
Kita harus percaya bahwa produk yang baik tidak boleh mengandung kesalahan. Meski kesalahan tersebut adalah kesalahan tik, produk yang dihasilkan menjadi berkurang nilainya.
Padahal, seperti contoh di atas, kesalahan tik bisa menyebabkan kesalahan makna. Yang mesti diingat adalah tulisan yang baik, yang akurat, mencerminkan siapa penulisnya.
Berikut, antara lain, beberapa kata yang berpotensi salah tik karena sebab-sebab di atas.
kelapa x kepala
lain x lian
bisa x bias
teh x the
usap x suap
baht x bath
subsisten x subsistem
pertanahan x pertahanan
tempat makan x tempat makam
penertiban x penerbitan
....
Silakan menambahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar