Aku pernah bosan bersekolah. Kubayangkan, enam tahun sudah kuhabiskan di bangku SD, nanti akan enam tahun lagi di SMP dan SMA, lalu (mungkin) empat tahun kuliah. Jadi waktu 10 tahun ke depan akan sangat menjemukan karena harus duduk di sekolahan untuk mendengarkan ceramah searah dari para guru.
"Kamu mau jadi apa kalau ndak sekolah?" tanya Bapak ketika kukatakan kebosananku.
"Mau jadi petani," jawabku cepat.
"Lha jadi petani juga perlu sekolah."
"Mm… mengapa Bapak sekolah guru?"
"Itu karena nenekmu ingin Bapak jadi guru."
"Tetapi Bapak kan jadi petani?"
"Iya karena sekolah gurunya ndakselesai."
"Nah kan?"
Bapak berpikir sejenak. Mungkin ia merasakan jebakan dari pertanyaanku kepadanya. Kuperhatikan kumis dan jenggotnya yang mulai memutih tumbuh liar. Matanya menyipit dan dahinya berkerut.
Mana mungkin aku bertemu dengan dewi yang kecantikannya (konon) melebihi ibuku.
Siang itu matahari cukup panas. Beberapa petani di sebelah sawah kami tampak giat bekerja. Padi-padi belum ditanam. Ini saat para petani mengolah tanah, menyiapkan lahan subur bagi padi-padi kami nanti. Sesungguhnya ini saat-saat menyenangkan berada di sawah.
Bapak biasanya mengajak beberapa petani lain untuk bersama-samamelasah sawah, meratakan tanah-tanah yang sudah dibalik menggunakan lampit yang ditarik oleh sapi.
Aku biasanya menumpang duduk di atas lampit, sembari membayangkan mengendarai mobil di jalanan halus. Bedanya, setiap saat kau bisa tercimprat lumpur atau bahkan terkena kotoran sapi.
"Sekolah itu tempat belajar. Kelak kau akan ketemu Dewi Saraswati, sebagai sumber ilmu pengetahuan," kata Bapak kemudian.
Jawaban Bapak tak memuaskanku. Kupikir ia mulai bertambah absurd. Mana mungkin aku bertemu dengan dewi yang kecantikannya (konon) melebihi ibuku.
Aku tahu, setiap perhitungan hari jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung, yang datangnya 210 hari sekali, sekolah melakukan penghormatan kepada Dewi Saraswati.
Baca juga : Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Daki dan Tirani
Para guru menata buku-buku di atas meja lalu diberi banten (sajen), setelah itu kami melakukan persembahyangan bersama di Padmasana, yang terletak di pojok timur laut area sekolahan. Menurut para guru, saat itulah ilmu pengetahuan diturunkan oleh dewata kepada manusia, sehingga kita semua terbebas dari kegelapan.
"Sebenarnya siapa Saraswati?" tanyaku kepada Bapak.
"Ya, dewi yang cantik bertangan empat itu," kata Bapak sambil mengendalikan sapi agar berbelok di ujung pematang. "Her… her…," kata Bapak. Itu artinya agar sapi berbelok ke kiri. Ia memukul sapi sebelah kanan agar segera melangkah lebih maju.
"Dewi ajaib ya…," ketusku.
"Itulah keajaiban ilmu. Kau bisa menerangi kegelapan. Karena ilmu itu cahaya dari kebutaan manusia…," kata Bapak agak filosofis. Aku tak begitu mengerti maksud kata-katanya. Apalagi itu diucapkan di saat-saat aku bosan bersekolah.
"Jadi sekolah itu sumber ilmu pengetahuan. Bosan itu wajar, karena kau belum menemukan kenikmatan berada di tengah-tengah cahaya…," kata Bapak lagi.
Percakapan kami dihentikan oleh seorang petani tua yang berteriak meminta air. Katanya, air bawaannya habis tumpah karena ia lupa menutup botol minumnya. Bapak memberi isyarat agar aku membawakan minum kepada petani tua itu.
"Beri semuanya," ujar Bapak.
Aku tak mengerti. Sejak pagi tadi kami belum minum seteguk pun. Sebentar lagi jam makan siang dan kami harus minum. Melihat aku kebingungan, Bapak berujar lagi, "Berikan… kita bisa nanti."
Setelah beberapa saat, Bapak mengerti apa yang menjadi kebimbanganku. Pelan-pelan ia berkata, "Waridastriptimapnoti sukha maksavyyamannadah/tila pradah prajamistam dipadascaksur utamam…."
Baca juga : Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
Aku pikir Bapak sedang mengucapkan mantra. Asal kau tahu, selain petani, Bapak juga seorang pemangku di pura keluarga kami dan seorangsadeg (pengabdi) di Pura Dalem di desa kami. Jadi dia memang menguasai mantra-mantra dalam bahasa Jawa kuna dan Sanskerta.
"Sloka dalam kitabManawadharmasastra ini artinya, ia yang berderma air akan memperoleh kepuasan, berderma makanan akan memperoleh pahala kenikmatan, yang berderma biji-bijian akan memperoleh keturunan, dan yang berderma kemampuan akan memperoleh pengetahuan yang sempurna," kata Bapak. Ia tahu aku membutuhkan penjelasan tentang makna dari mantra yang dia ucapkan tadi.
Dengan satu sloka dalam kitabManawadharmasastra itu, Bapak mengajarkanku banyak hal. Pertama tentang pentingnya melakukan dana punia (bersedekah) kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Petani tua itu jelas lebih membutuhkan air dibandingkan kami yang jauh lebih muda.
Dalam percakapan itu, sebenarnya aku sempat menanyakan, "Kalau kita berikan air semuanya, apa yang tersedia buat kita?" Waktu itu dengan santai Bapak menjawab, "Alam menyediakan begitu banyak air di sekitarmu." Ketika kami makan siang, bapak memanjat pohon kelapa yang tumbuh di pinggir jalan di hulu sawah kami. "Ini air yang disiapkan untuk kita," katanya.
Kedua, para petani yang bergotong royong turut mengerjakan sawah kami adalah derma kemampuan, yang tidak saja bermakna rasa saling menolong, tetapi juga memberikan sepenuh kemampuan kita kepada orang lain. Ketiga, bukankah kau dan aku sejak tadi sedang bercakap-cakap tentang Dewi Saraswati yang bertangan empat itu?
Hari Sabtu (30/1/2021) lalu umat Hindu baru saja merayakan hari raya Saraswati, yang secara populer diartikan sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Beberapa waktu lalu, aku berdiskusi dengan Dr Jean Couteau, peneliti asal Perancis, yang membuat studi perbandingan menarik antara mitos Raja Watugunung dan Raja Oedipus. Kedua mitos ini ia simpulkan sebagai prototipe manusia yang kemudian menjadi ciri manusia Barat dan manusia Timur (Jawa dan Bali).
Baca juga : Vaksin, dari Sapi sampai Jokowi
Mitos Raja Oedipus yang populer sebagai lakon tragedi Sophocles melahirkan "keadaban" manusia di Barat yang mengagungkan nilai-nilai antroposentrisme, manusia menjadi pusat segalanya untuk menaklukkan alam semesta. Sementara mitos Raja Watugunung melahirkan tipe manusia Timur yang kosmosentris, di mana kehidupan makhluk sepenuhnya dikendalikan oleh alam semesta.
Mitos Watugunung berpuncak ketika Raja Watugunung yang berperang melawan Dewa Wisnu berhasil dikalahkan, tetapi ia tidak dibunuh. Dewa Siwa memberi saran bahwa Watugunung harus dihidupkan supaya manusia ingat tentang pentingnya memperoleh pencerahan lewat ilmu pengetahuan.
Watugunung bertaubat dan berjanji selalu memberikan yang terbaik bagi hidup manusia. Maka, lahirlah sistem penanggalan pawukon, yang menggunakan nama Watugunung sebagai wuku (hari) terakhir dan Sinta sebagai wuku pertama.
Pemisahan Watugunung dan Sinta dilakukan sebagai ajaran keadaban bahwa perilaku inses seperti yang dilakukan Watugunung terhadap ibunya, Sinta, tidak dibenarkan. Jean menyimpulkan bahwa sejak sistem penanggalan pawukon dilahirkan, keadaban manusia Timur dimulai setelah sebelumnya mengalami masa "barbarian", yang ditandai perilaku inses Watugunung terhadap ibunya.
Oedipus juga mengandung perilaku inses, di mana Raja Oedipus telah diramalkan akan membunuh ayahandanya, Raja Theba Laius, dan menikahi ibunya, Ratu Jocasta. Ketika mendengar ramalan itu, Oedipus berusaha menghindar dan pergi mengembara.
Ia berusaha menolak "takdir", tetapi tak kuasa membelokkan nasibnya. Ramalan itu ibarat kutukan, ia memang akhirnya membunuh ayah kandungnya dan menikahi ibunya. Karena kecewa, Oedipus membutakan matanya lalu mengembara kembali ditemani putri bungsunya.
Baca juga : Penanggalan yang Tersayat Menyambut Matahari Baru
Jika Watugunung memperoleh pencerahan sebagaimana dititahkan oleh dewata dan kemudian "dilanggengkan" dalam sistem penanggalan pawukon, yang menjadi pedoman berbagai ritual di Bali, sebagai manusia Oedipus menolak ramalan. Baginya, manusia harus mengolah kecerdasannya untuk memecahkan persoalan hidup.
Dasar pemikiran seperti inilah yang kemudian menjelma dalam teori-teori filsafat yang dikembangkan Plato (hermeneutika). Kata Jean, tradisi pencerahan yang dipelopori Descartes dan kerasionalan subyek sampai skeptisisme modern, semuanya bermula dari pikiran dasar dalam mitologi Yunani itu.
Tentu saja Bapak tak mengerti segala hal yang disampaikan Jean Couteau. Ia cuma petani di desa yang menjalani hidup sehari-hari dengan laku. Hari Saraswati, menurutnya, salah satu hari terpenting dalam hidup manusia. Persembahan sajen pada buku bermakna sebagai penghormatan terhadap pencapaian manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Buku (di tangan Dewi Saraswati berwujud lontar) adalah sumber pengetahuan tiada akhir. Kau bisa menggali hasil penjelajahan manusia, baik melalui kajian kepustakaan maupun laku emperik, untuk memahami alam semesta dan segala isinya.
Saraswati bagi Bapak adalah dewi yang kecantikannya melebihi siapa pun. "Dan kecantikan itu sumber cahaya, kau bisa menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Jadi ilmu itu bisa lewat buku atau guru, dan keduanya adanya di sekolah," kata Bapak.
Sejak itu setiap tidur malam hari aku ingin bertemu Dewi Saraswati. Aku ingin mereguk ilmu pengetahuan dengan sedalam-dalamnya. Sloka yang diucapkan Bapak di tengah sawah, aku hafalkan sebagai jembatan menuju wilayah pengetahuan dan keindahan yang dijanjikan Saraswati.
Baca juga : Isyarat Hujan di Bulan Desember
Setiap bangun pagi hari, aku menuduh Bapak telah berbohong. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi bertemu dengan Dewi Saraswati. Malah mimpi yang sering kali muncul adalah sebuah gedung tua dengan banyak jendela dekat sebuah rumah sakit. Aku tak tahu gedung apa itu.
"Pengetahuan itu diperoleh dengan kesabaran. Suluh yang kecil akan sangat berguna dalam kegelapan sempurna," kata Bapak setiap kali aku mengeluh tentang ketakhadiran Dewi Saraswati.
Bertahun-tahun kemudian, aku benar-benar menemukan gedung tua dengan banyak jendela di dekat sebuah rumah sakit. Gedung itu tak lain merupakan kampus Fakultas Sastra Universitas Udayana di Jalan Pulau Nias 13 Denpasar, yang letaknya bersebelahan dengan RSUP Sanglah Denpasar.
Di lobi kampus, berdiri agung patung Dewi Saraswati berwarna putih bertangan empat. Masing-masing tangannya memegang lontar (buku), genitri (tasbih), wina (kecapi), dan damaru (kendang kecil). Dewi itu berdiri anggun di atas punggung angsa putih yang mengambang saat bunga padma sedang mekar.
Di sanalah aku kemudian belajarnyastra, mendalami ilmu hidup yang terdapat dalam setiap lembar "lontar" di kampus kuning itu. Secara kebetulan di Fakultas Sastra Universitas Udayana memang terdapat perpustakaan lontar yang memuat berbagai pencapaian pengetahuan manusia di masa lalu.
Ketika kuceritakan pengalaman itu kepada Bapak, ia berujar biasa-biasa saja. "Kelak kamu akan bertemu Dewi Saraswati yang sesungguhnya setelah belajar beberapa tahun di sana…," katanya.
Akhirnya aku mulai tahu bahwa kesadaran dan pencerahan itu adalah kontrak seumur hidup dengan buku.
Aku pikir, ucapannya kali ini tidaklah absurd, tetapi sampai sekarang aku merasa belum pernah bertemu langsung dengan Dewi Saraswati; kecuali berjilid-jilid puisi dan berbuku-buku pengetahuan yang kudedah setiap saat sampai hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar