Selama dua dekade belakangan ini terlihat upaya untuk memasukkan unsur Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan absennya Tionghoa secara historis dan kultural dalam pengajaran sejarah di sekolah. Mengapa ini sampai terjadi dan bagaimana prosesnya ?
Hal ini merupakan dampak Peristiwa G30S 1965 terhadap (sejarah) etnik Tionghoa di Indonesia. Sejak awal Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Tionghoa menjadi tabu, pemerintah melarang tiga pilar budaya Tionghoa (pendidikan, pers, dan organisasi). Perubahan terjadi pada era reformasi, peringatan dan pertunjukan budaya Tionghoa kembali diperbolehkan. Perayaan Imlek menjadi libur fakultatif semasa pemerintahan Abdurrachman Wahid dan dijadikan libur resmi oleh Presiden Megawati.
Upaya untuk mengintegrasikan Tionghoa dalam sejarah Indonesia dimulai dengan gagasan tentang pentingnya unsur etnik Tionghoa sebagai pahlawan nasional. Kenapa ini perlu ? Karena ada anggapan sebagian orang bahwa etnik Tionghoa ini tidak punya andil dalam kemerdekaan Indonesia. Ini tergambar dalam penelitian yang dilakukan Benny Subianto tentang "Asal-Usul Kekerasan terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia" yang dilakukan pada tiga daerah, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Karena ada anggapan sebagian orang bahwa etnik Tionghoa ini tidak punya andil dalam kemerdekaan Indonesia.
Disimpulkan bahwa ada tiga penyebab terjadi kekerasan tersebut, yakni a) Etnis Tionghoa masih dianggap liyan (orang lain) bagi sebagian besar penduduk Indonesia, b) kesenjangan ekonomi, c) karena etnis Tionghoa tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Itulah sebabnya, sejak 2002 saya menulis berulang-ulang di beberapa surat kabar nasional tentang usulan John Lie sebagai pahlawan nasional. Perwira Angkatan Laut itu menyabung nyawa menembus blokade Belanda denganspeedboat selama belasan kali tahun 1947-1949 untuk menjual hasil bumi dari Sumatera dan menukar dengan senjata di Singapura dan Phuket (Thailand) untuk keperluan tentara nasional. Usul ini kemudian diajukan Yayasan Nabil sebagai calon pahlawan nasional dari Sulawesi Utara tahun 2008 dan disetujui Presiden tahun 2009.
Tidak hanya itu, terdapat empat orang Tionghoa menjadi anggota BPUPKI dan seorang di PPKI, seperti diungkapkan Didi Kwartanada. Jauh sebelumnya ada beberapa orang Tionghoa juga ikut Kongres Pemuda kedua 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan, kongres itu berlangsung di gedung yang dimiliki seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liang.
Lagu "Indonesia Raya" yang diperdengarkan pada penutupan Kongres Pemuda II tahun 1928 digubah oleh WR Supratman yang merupakan wartawan koran Sin Po. Surat kabar ini yang pertama memuat syair lagu Indonesia tahun 1928 dan mengedarkannya juga dalam bentuk selebaran.
Rekaman lagu ini pertama dibuat oleh perusahaan rekaman milik Yo Kim Tjan. Setelah Indonesia merdeka, lagu tersebut diaransemen oleh Jos Cleber tahun 1950. Rekaman itu makin lama makin kurang jelas dan banyak noise. Itulah sebabnya, Addie MS dengan Twilite Orchestra dan Victorian Philharmonics Orchestra merekam ulang secara digital di Australia.
Pembiayaan sekitar Rp 600 juta (tahun 1997) ditanggung oleh pengusaha rekaman Tionghoa, Youk Tanzil. Setelah selesai proses perekaman itu di studio, Youk Tanzil sangat terharu. Ditanya oleh Addie MS kenapa menangis, jawabnya "Aku iki Cino, kok iso yo buat sesuatu untuk Indonesia."
Tahun 2002 saya pernah menulis "Cina absen dalam pelajaran sejarah" (Koran Tempo, 2 Februari 2002). Memang ada kesulitan untuk menempatkan Tionghoa dalam sejarah Indonesia karena tidak ada kerajaan yang dapat diberi label Tionghoa, seperti halnya Hindu, Buddha, dan Islam.
Masalah China timbul pada masa kolonial karena politik segregasi yang dilakukan pihak Belanda.
Di Kalimantan Barat pernah ada kongsi penambang emas, tetapi itu bukan kerajaan. Berbeda dengan kebanyakan etnik lain, orang Tionghoa tersebar di Indonesia tanpa ada provinsi "asal" (misal Minangkabau dari Sumatera Barat, Sunda dari Jawa Barat, dan Bugis dari Sulawesi Selatan). Padahal, Denys Lombard menulis terdapat empat nebula (megabudaya) yang memengarui peradaban Nusantara, yaitu nebula yang berasal dari India, Arab, Tiongkok, dan Eropa.
"Masalah Cina" timbul pada masa kolonial karena politik segregasi yang dilakukan pihak Belanda. Terdapat tiga golongan warganegara: Eropa, Timur Asing (termasuk Tionghoa) daninlander.
Sejak tahun 1955 telah dilakukan perundingan mengenai masalah dwikenegaraan dengan pihak RRC yang diselesaikan secara bertahap. Setelah Indonesia merdeka, sudah terdapat penggantian beberapa kali peraturan perundang-undangan mengenai kewarganegaraan dan kependudukan yang akhirnya berimplikasi positif bagi etnik Tionghoa.
Puncaknya adalah amendemen UUD 1945 awal reformasi yang menghilangkan kata "asli", seorang menjadi warga negara Indonesia berdasar kelahiran, bukan keturunan. Menurut sejarawan UGM, Bambang Purwanto, amendemen ini sebetulnya dapat dilihat sebagai upaya dekolonisasi (menghapus warisan kolonial) dalam bidang kewarganegaraan.
Sejak 1998 telah terbit banyak buku tentang Tionghoa di Indonesia, di antaranya Tionghoa dalam Keindonesiaan yang diterbitkan Yayasan Nabil tahun 2014. Ada tulisan panjang Leo Suryadinata dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah. Tinggal sekarang memasukkannya dalam kurikulum sejarah. Tujuannya adalah mengenalkan berbagai etnik yang ada di Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, kepada pelajar.
Bila sudah saling mengenal dengan baik, mereka tidak lagi jadi target apabila terjadi kerusuhan/penjarahan massal. Di antara beragam etnik terdapat kesetaraan sebagai warga negara. Selain itu, terjalin pula hubungan baik yang saling menghargai dan memiliki solidaritas karena sudah sama-sama berjuang merebut dan mengisi kemerdekaan. Kebersamaan dalam keragaman etnik ini yang diperlukan menghadapi masalah bangsa sekarang dan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar