Aku punya teman kecil, namanya Tude, singkatan dari Putu Gede. Hampir tak ada yang tahu persis nama lengkapnya. Ia cuma dipanggil Tude, kadang diimbuhi dengan kata "moyo", jadilah ia diteriaki dengan panggilan Tude Moyo. Kau tahu, "moyo" itu artinya pandir, bahkan berkonotasi pada kedunguan yang amat dalam.
Meski ia sering kali diejek sebagai "manusia bodoh", bahkan terkadang ejekan itu diikuti dengan kekerasan fisik, Tude tak pernah menangis. Ia cuma meringis lalu berteriak-teriak minta tolong dengan lidahnya yang cadel. Tak pernah ada air mata. Jika kebetulan kakek neneknya, mendengar teriakan Tude, merekalah yang kemudian menghalau anak-anak nakal yang suka mengasarinya.
Aku tak tahu pasti kapan Tude dilahirkan. Setahuku ia hanya diurus oleh dua orang tua yang dipanggil Pekak Mokoh dan Mbah Mokoh. Mungkin dulu karena Pekak Mokoh dan Mbah Mokoh memang gendut badannya sehingga dipanggil "mokoh".
Hanya suatu kali Pekak Mokoh pernah bercerita kalau anak tunggalnya itu hilang. "Konon dicegat di jalan, setelah itu tak tahu entah kemana dibawa orang-orang bersenjata," tutur Pekak Mokoh.
Begitu juga dengan kedua orang tua itu, tak ada yang tahu pasti nama sebenarnya. Ia terkadang hanya dipanggil dengan sebutan "Pan Teler dan Men Teler", oleh orang-orang yang sebaya dengannya. Artinya, ia adalah ayahnya dari orang yang bernama Teler.
Aku menduga Teler itu nama anak tunggalnya, yang berarti juga nama ayah dari Tude. Sebagai teman sebaya dari Tude, aku tak pernah tahu wajah Teler, apalagi bertemu dengannya. Hanya suatu kali Pekak Mokoh pernah bercerita kalau anak tunggalnya itu hilang. "Konon dicegat di jalan, setelah itu tak tahu entah ke mana dibawa orang-orang bersenjata," tutur Pekak Mokoh.
Tak berapa lama setelah Teler menghilang, Dayu, ibu dari Tude, begitu cerita Pekak Mokoh, menikah lagi dengan seorang polisi. Praktis sejak bayi Tude diasuh oleh kakek neneknya. Keduanya sejak kecil sudah menyadari Tude punya keterbelakangan mental. Meski sudah berusaha keras melatihnya, sampai berusia belasan tahun Tude tak pernah bisa mengenakan pakaian sendiri. Mbah Mokoh tak pernah merasa lelah memakaikan celana dan baju, di mana pun Tude sedang bermain.
Kalau kami sedang bermain layang-layang, sering kali layangan Tude terputus karena ia tidak pernah mampu menyambung benang dengan benar. Karena ketidakmengertianku tentang latar belakang mental Tude, aku pernah frustrasi mengajarinya menyambung benang.
Berkali-kali aku katakan, dua ujung benang yang putus harus dibuatkan simpul melingkar, kemudian bagian ujungnya dimasukkan dalam lingkaran benang untuk kemudian ditarik.
Aku selalu menjelaskan membuat simpul benang itu dengan memraktekkannya pelan-pelan. Tetapi, pelajaran membuat simpul benang itu selalu berakhir mengecewakan.
Baca juga: Puisi Amanda Gorman, Mesin Pencuci Daki dan Tirani
Pada akhirnya Tude hanya memilin-milin kedua ujung benang dengan kedua telapak tangannya. Tentu saja teknik menyambung benang layangan dengan memilin ini akan berakibat fatal, layang-layangnya selalu putus sebelum benar-benar mencapai ketinggian di langit jauh.
Hebatnya, Tude tak pernah mengeluh kalau layangannya putus. Lagi-lagi dengan lidahnya yang cadel ia cuma berkata, bahwa nanti layangan bisa dibuatkan kakeknya lagi.
Ketika dalam perjalanan pulang kampung untuk sebuah penelitian, beberapa tahun lalu aku bertemu dengan Tude di emperan pasar kota Negara, Jembrana. Ia sedang duduk bengong memandang kendaraan yang lalu-lalang di jalanan.
Ketika melihat kehadiranku, spontan ia berucap, "Ingat kan waktu kita main layangan, punyaku selalu putus…" katanya sambil tertawa nyengir. Kalimat yang ia ucapkan terbata-bata itu justru membuatku ingin bertanya.
"Gimana kabar Pekak dan Mbah?"
"Mati, sudah lama…." sahut Tude.
"Sekarang hidup dengan siapa?"
"Sendirian…."
"Siapa yang merawatmu?"
"Tak ada…"
"Ibumu gimana?"
"Sudah mati…"
Aneh percakapan singkat itu mengingatkan aku pada peristiwa pencegatan Teler di jalanan oleh beberapa orang tameng (para militer) sekitar merebaknya peristiwa Gestok di Kabupaten Jembrana, Bali. Tude telah menjadi korban paling nyata dari keliaran praktek politik yang pernah terjadi di negeri ini.
Baca juga: Paradoks Ayam Pembawa Keberuntungan
Pada awal tahun 1966, setelah kekisruhan mereda di Jakarta, di Bali barat justru pembataian baru dimulai. Oleh sebab itulah orang-orang seperti Pekak Mokoh, yang telah hidup dalam berbagai zaman, lebih akrab dengan sebutan Gestok atau Gerakan 1 Oktober. Bung Karno lebih suka menyebutkan Gestok dari pada Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September).
Meski begitu, orang-orang tua di desa seperti Pekak Mokoh, termasuk juga Bapak, lebih akrab dengan sebutan Gestok, sebagai penanda pembantaian "rakyat tak bersalah" tanpa proses peradilan sama sekali. "Pokoknya waktu itu, asal sebut PKI pasti mati," kata Pekak Mokoh suatu kali ketika kami mengobrol.
Peristiwa pembantaian itu, menurut ingatan dan catatan para tetua di Jembrana, dimulai pada 30 November 1965, ketika seorang tentara dan dua orang pemuda Ansor dikabarkan terbunuh dalam aksi baku tembak di Desa Tegalbandeng, kira-kira 5 kilometer di barat daya kota Negara.
Mulanya, sebagaimana juga dicatat oleh peneliti I Ngurah Suryawan dalam buku Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali Tahun 1965, seorang polisi bernama Pan Santun sedang berkumpul bersama warga setempat.
Konon kumpul-kumpul itu diadakan untuk memecahkan berbagai problem desa, termasuk membahas berbagai isu yang berkembang liar di kota Negara. Pihak tentara mendapatkan laporan bahwa Pan Santun sedang berkumpul dengan para anggota PKI untuk merencanakan sebuah penyerangan tangsi militer.
Saat itu pula dikirim tim penyelidik yang terdiri dari beberapa tentara dan anggota Ansor. Tak diduga sama sekali, misi penyelidik itu justru terlibat baku tembak sampai menewaskan seorang tentara dan dua orang anggota Anshor. Tak perlu menunggu lama, keesokan harinya Desa Tegalbadeng dibumi-hanguskan. Semua lelaki dibunuh, jenazahnya dibuang ke sumur-sumur warga.
Baca juga: Vaksin, dari Sapi Sampai Jokowi
Kerusuhan tak bisa dicegah, mulai akhir Desember 1965 sampai awal tahun 1966, telah terjadi "pembersihan" semua anasir PKI. Penculikan, pencegatan, dan pembantaian merebak di mana-mana. Selain di Tegalbadeng, pembumi-hangusan juga melanda Desa Mertasari, kira-kira 5 kilometer di selatan kota Negara.
Celakanya, menurut catatan para orang tua, isu pembersihan PKI itu didomplengi kebencian etnis. Di seluruh kota merebak isu, semua orang Bali adalah PKI! Oleh sebab itu, mereka harus "dibersihkan". Seputar soal ini aku masih ingat, jika terjadi perkelahian antarpemuda tahun 1970-an di kotaku, tudingan orang Bali PKI itu masih sering terdengar.
Aku dan Tude lahir dari rahim kebiadaban yang sama. Masih beruntung aku mengenal Bapak, walau ia termasuk orang yang diincar para tentara dan tameng karena pernah bekerja di Departemen Penerangan Kabupaten Jembrana.
Setiap hari, cerita Bapak suatu hari, jika Bung Karno sedang berpidato, ia bertugas mendengarkan lalu mengetik ulang. "Ketikan itu kemudian diperbanyak dengan stensil dan disebarkan kepada kepala desa-desa," tutur Bapak ketika masih hidup dulu.
Rupanya, pekerjaan menyebarkan pidato Bung Karno itu dianggap sebagai bagian dari sokongan terhadap PKI. Bapak sempat hendak ditahan tentara, tetapi kemudian dibebaskan karena tidak terbukti berurusan dengan PKI. Cuma ia diberi tugas yang mengerikan, yang membuatnya trauma sepanjang hidup. "Mengangkat semua jenazah yang telah dibantai di Toko Wong," kata Bapak bergidik.
Oh ya di kotaku, ada sebuah tempat bernama Toko Wong, milik keluarga Tionghoa di Jalan Manggis Negara. Di toko kelontong inilah orang-orang yang dicap PKI ditahan karena penjara kota sudah penuh. Mereka kemudian ditembaki secara brutal dari lantai dua, "Darahnya menggenang semata kaki…" kata Bapak.
Baca juga: Mimpi Bertemu Dewi Saraswati
Tude jauh lebih sial. Ia sama sekali tak mengenal wajah ayahnya. Aku sering melantur berpikir, bisa jadi kemungkinan keterbelakangan mental yang sampai kini harus ditanggungnya akibat kebiadaban yang terjadi semasa ia baru saja dilahirkan.
Tekanan hidup kakek nenek dan (mungkin) juga ibunya, semasa itu telah menjadi "energi" buruk di dalam dirinya. Tingkah lakunya yang berbeda dibanding rata-rata manusia normal akibat dari penderitaan, kemarahan, atau gugatan yang tak pernah bisa ia sampaikan.
Kau tahu, kasus-kasus pembantaian manusia itu sampai saat ini hanya hidup sebagai gosip. Bapak dan saudara-saudaranya yang pernah hampir dipenggal di kuburan desa kami menyimpan trauma yang dalam. Kira-kira 3 tahun menjelang akhir hayatnya, Bapak dan I Ketut Tilem, kakak kandungnya, baru mampu menceritakan kisah pilu itu sepenggal demi sepenggal kepadaku. Aku ngotot ingin tahu kisah sesungguhnya untuk kepentingan penulisan sebuah novel, yang sampai kini masih kukerjakan.
Kepada siapa kita menggugat sebuah kekejaman yang terjadi di negeri kita sendiri dan dilakukan oleh tentara yang menjadi alat negara? Sesungguhnya bukan gugatan yang terpenting, tetapi setidaknya sebuah pengakuan yang jujur bahwa negara telah melakukan tindakan keliru.
Pernah pada suatu masa, negara melakukan penculikan, penangkapan, dan pembantaian warga negaranya sendiri tanpa melalui proses yang benar dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi asas-asas keadilan berlandaskan hukum.
Dengan segala kekurangannya, Tude memang tak pernah berpikir menuntut keadilan atas kehilangan ayahnya yang telah ia tanggungkan berpuluh-puluh tahun. Itu juga tidak pernah terpikirkan oleh para sahabat, teman-teman masa kecilku, yang juga kehilangan orang tua, semasa pergolakan dahulu.
Kepada siapa kita menggugat sebuah kekejaman yang terjadi di negeri kita sendiri dan dilakukan oleh tentara yang menjadi alat negara?
Suatu hari, teman masa kecilku yang lain, Made Suama dari Desa Mertasari, cuma punya keinginan sederhana. "Hapuskan nama kami dari stigma PKI. Itu saja…" Mungkin ia benar, stigma PKI telah membuatnya harus menanggung perasaaan bersalah seumur hidupnya. "Seolah-olah kami bukan warga negara dari negara yang sama," tambahnya.
Menurutku, penghapusan stigma itu mesti dilakukan dengan upaya menggalang rekonsiliasi; pengakuan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam cara penanganan terhadap para anggota dan pengikut partai politik bernama PKI di masa lalu.
Negara seharusnya melakukan proses peradilan, yang seadil-adilnya, sebagaimana asas-asas hukum yang berlaku dalam negara demokrasi. Bahwa tindakan pembantaian yang membabi-buta itu harus dikutuk dan dihindari di dalam negara ini.
Kupikir dengan begitu kerumitan seputar peristiwa Gestok di tingkat rakyat, bisa sedikit dijernihkan, dan rakyat bisa kembali hidup "normal" tanpa saling mencurigai. Bisa jadi Tude akan berubah menjadi orang yang "baik-baik" saja setelah ia tahu bahwa ayahnya telah menjadi salah satu korban dari kebiadaban masa lalu. Walaupun sampai kini ia terus hidup menggelandang di jalanan kota kami.…
Kompas, 10 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar