Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. UN Women menetapkan tema "Women in leadership: Achieving an equal future in a COVID-19 world." Kepemimpinan perempuan menjadi penting untuk bangkit bersama dari pandemi.
Kepemimpinan ada di berbagai lapisan dan bidang. Tahun 2021 menjadi tahun yang penting karena Indonesia dan dunia sedang berusaha pulih dari dampak pandemi Covid-19. Kepemimpinan dibutuhkan di setiap lapisan, tidak terkecuali kepemimpinan perempuan.
Pandemi Covid-19 memberikan beban lebih berat bagi perempuan. Sektor-sektor yang terpukul berat oleh Covid-19, yaitu sektor-sektor yang berhadapan langsung dengan konsumen, seperti kesehatan, pendidikan, restoran, dan pariwisata, sebagian besar diisi tenaga kerja perempuan. Beban ganda perempuan meningkat ketika semua, termasuk dunia pendidikan, harus bekerja dari rumah. Tugas merawat anggota keluarga, termasuk orang usia lanjut, menjadi beban perempuan.
Dalam situasi pandemi Covid-19, kejadian kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, meningkat, seperti dilaporkan UN Women, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perempuan. Peningkatan kejadian juga dilaporkan oleh Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta lembaga non-pemerintah, seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak berbeda dari kekerasan umumnya. Kekerasan ini terjadi karena relasi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Di dalam kekerasan ini relasi jender yang timpang menyebabkan perangkat dan peraturan hukum yang ada tidak selalu dapat melindungi korban.
Pengajar di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Jakarta, Dr Nur Rofiah, dalam diskusi rutin Ngaji Quran menyebut, kekhasan perempuan dari sisi biologis dan sosial sering luput dalam pandangan masyarakat patriarkhi. Dampaknya, banyak peraturan formal ataupun norma masyarakat yang tidak adil terhadap perempuan.
Saat ini, DPR tengah menyiapkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RUU PKS). RUU yang diinisiasi organisasi masyarakat dan kemudian diadopsi sebagai RUU inisiatif DPR serta tahun ini akan diperjuangkan untuk dapat disahkan setelah tahun lalu tertunda. Tahun lalu sejumlah fraksi belum menyetujui isi RUU mulai dari relevansi keberadaan, judul, definisi, hingga sanksi bagi pelanggar.
Baca juga: Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Anggota Dewan Pakar Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI), Lena Maryana Mukti, dalam diskusi bersama tim The Body Shop yang dipimpin Suzy Hutama secara daring, pekan lalu, menyebutkan beberapa hambatan dalam pembahasan RUU PKS. Salah satunya perdebatan mengenai posisi RUU PKS terhadap RUU KUHP yang mengatur acara pidana pelaku kekerasan seksual. Juga hadir dari KPPRI Eva Kusuma Sundari dan Yuda Irlang.
Rahayu Saraswati Djohohadikusumo, anggota dewan pakar, yang mengadvokasi RUU PKS bersama Ketua Pengurus KPPRI Diah Pitaloka pada periode DPR 2014-2019 menjelaskan, penolakan sebagian anggota DPR yang membahas RUU ini adalah karena dianggap tidak sesuai dengan keyakinan ideologi mereka.
Komisioner Komnas Perempuan 2018-2019 dan anggota tim kecil panitia kerja pemerintah RUU PKS, Sri Nurherwati, menjelaskan, RUU PKS diperlukan karena mengisi kekosongan UU perlindungan perempuan dan anak yang sudah ada. Undang-undang yang sudah ada, yaitu UU pemberantasan pornografi, UU pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, UU perlindungan anak, UU HAM, dan UU tindak pidana perdagangan orang belum mencakup sebab musabab terjadi kekerasan seksual, pencegahan, dan pemulihan korban.
RUU PKS mendasarkan pada penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa berbasis jender yang timpang. Meskipun kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja, data memperlihatkan perempuan menjadi korban terbanyak.
Di dalam praktik penanganan kekerasan seksual, polisi, jaksa, hingga hakim kerap tidak menyadari adanya kekhasan kekerasan ini. Akibatnya, kondisi psikologis korban tidak menjadi perhatian meski kekerasan seksual selain menyerang fisik, juga terutama integritas tubuh dan psikologi korban.
Dalam catatan Kompas, sejumlah kasus kekerasan seksual berbuntut perempuan korban malah menjadi tersangka. Dalam sejumlah kasus lain, korban kekerasan seksual saat melapor disebutkan melakukan secara konsensual, suka sama suka. Catatan Tahunan 2020 Komnas Perempuan melaporkan, sepanjang 2019 terdapat 1.776 kasus atau hampir 5 kasus per hari terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik dan komunitas.
Jumlah ini belum memasukkan kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal/privat dan ranah negara oleh aparat pemerintah/negara saat bertugas. Karena itu, RUU PKS diperjuangkan berbagai kelompok perempuan non-pemerintah dan Komnas Perempuan sejak 2015.
Aktivis hak-hak perempuan Valentina Sagala yang ikut mengadvokasi pengesahan RUU PKS menekankan pentingnya RUU PKS disahkan karena ada kekosongan hukum, seperti pendampingan korban selama proses hukum dan pemulihan. Hal yang juga ditekankan RUU ini adalah adanya proses pemantauan terhadap pelaksanaan UU karena tujuannya menghapus kekerasan seksual.
Kepemimpinan
RUU PKS yang tahun ini menjadi salah satu prioritas pembahasan di DPR, menurut Lena Maryana, kini sudah di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Periode ini sangat penting karena Baleg akan membuat naskah akademik resmi dari beberapa naskah akademi yang ada. Naskah ini yang nantinya akan dibawa ke panitia kerja, lalu ke pandangan fraksi-fraksi di DPR.
RUU PKS yang tahun ini menjadi salah satu prioritas pembahasan di DPR sudah berada di Baleg DPR.
RUU PKS menjadi salah satu RUU yang diperjuangkan oleh KPPRI untuk dapat disahkan segera menjadi undang-undang. KPPRI beranggotakan anggota DPR lintas partai dan Dewan Perwakilan Daerah, selain dewan pakar yang di antaranya berasal dari akademisi, ahli berbagai bidang, termasuk media. Melalui KPPRI diharapkan dapat terjadi dialog lintas partai untuk kemudian dapat dibawa kepada pimpinan fraksi masing-masing.
Di dalam praktik, tidak mudah untuk menyatukan pandangan perempuan anggota parlemen. Sering kali kepentingan partai menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan. Begitu pula dalam pembahasan RUU PKS.
Eva Sundari mengatakan, saat ini semua fraksi sudah menyetujui RUU PKS dapat dibahas segera. Dalam rapat dengar pendapat umum antara Baleg DPR dengan Komnas Perempuan, The Body Shop, dan NGO Forum on Indonesia Development (Infid) pada 2 Februari 2021, Komnas Perempuan menggarisbawahi pendapat sejumlah anggota DPR bahwa RUU PKS perlu didukung karena memiliki spirit nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai agama tentanggood value untuk peradaban.
Baca juga: Korban Pun Mulai Berani Bicara ke Publik
Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR, Luluk Nur Hamidah, dalam RDPU tersebut menekankan, RUU ini menyimpan semangat negara tak melupakan kewajibannya melindungi warga negara dalam hal apa pun agar kekerasan seksual tidak terulang lagi. Dia mendorong masyarakat ikut membantu dengan membuat naskah akademik RUU.
Meski demikian, anggota lain Dewan Pakar KPPRI mengingatkan, tantangan akan muncul dalam pembahasan detail judul serta pasal-pasal dan ayat RUU PKS. Termasuk menghadapi keengganan sebagian anggota Dewan yang menganggap UU ini nantinya dapat disalahgunakan untuk membuat tuduhan palsu terjadinya kekerasan seksual.
RUU PKS sudah lama dinantikan kehadirannya untuk melindungi terutama perempuan, anak, dan kelompok jender minoritas dari kekerasan seksual. Pada sisi lain, ada kelompok masyarakat yang masih belum dapat menerima RUU ini.
Agar RUU PKS sah menjadi undang-undang untuk mencegah dan menghapus kekerasan seksual dan tidak terjebak dalam kompromi hanya agar RUU segera disahkan diperlukan kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan di parlemen dengan dukungan kepemimpinan perempuan di pemerintahan dan masyarakat, termasuk dunia usaha seperti The Body Shop, untuk membahas secara sungguh-sungguh RUU ini serta menggalang dukungan semua pemangku kepentingan dan masyarakat.
Kompas, 8 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar