Untuk menghasilkan generasi unggul dan berdaya saing di masa depan, dimulai dari pendidikan. Berbagai upaya harus dilakukan, terutama untuk mengatasi problem mendasar terkait akses yang memadai bagi semua anak bangsa.
Supriyanto
Merujuk pada hasil Sensus Penduduk 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia, komposisi penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar 70,72 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam masa bonus demografi.
Dari segi kategori generasi, BPS kemudian membagi komposisi ke dalam komposisi pre-boomer (1,87 persen), baby boomer (11,56 persen), gen X (21,88 persen), milenial (25,87 persen), gen Z (27,94 persen), dan post-gen Z (10,88 persen). Dari hasil Sensus Penduduk 2020 juga diketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (56,10 persen).
Sementara itu, untuk rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 15 tahun ke atas tahun 2020 mencapai 8,90 tahun atau setara kelas III SMP/sederajat. Jika ditelisik lebih mendalam, berdasarkan data BPS tersebut, dari segi karakteristik kelompok masyarakat dengan capaian RLS yang rendah terdiri dari penduduk perempuan, penduduk yang tinggal di perdesaan, atau penduduk penyandang disabilitas.
Data BPS (2020) tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih didominasi oleh pendidikan menengah. Tampak dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas, 29 orang telah menamatkan sekolah menengah/sederajat dan hanya 9 orang yang menamatkan perguruan tinggi (PT).
Tentu saja peningkatan capaian pendidikan menjadi prioritas penting yang harus digenapi. Data tersebut menjadi penanda negeri ini masih berhadapan dengan problem mendasar terkait akses yang memadai bagi semua anak bangsa.
Data tersebut menjadi penanda negeri ini masih berhadapan dengan problem mendasar terkait akses yang memadai bagi semua anak bangsa.
Dalam Population, Education and Development The Concise Report yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2003 dipaparkan berbagai informasi mengenai tren populasi, pendidikan, dan pembangunan. Pendidikan, sebut laporan tersebut, memerankan kunci dalam pembangunan nasional dan menjadi komponen utama dari kesejahteraan individu.
Lebih lanjut dipaparkan bahwa melalui pendidikan, individu memiliki pilihan dan keputusan untuk memilih pekerjaan, tempat tinggal, keluarga, kesehatan dan gaya hidup, serta pengembangan diri. Pilihan dan keputusan individu ini kemudian memiliki konsekuensi besar bagi populasi.
Laporan tersebut sudah berusia 18 tahun, tetapi masih relevan dengan kondisi saat ini meski tentu saja terdapat ragam tantangan baru yang lebih aktual dibandingkan dengan beberapa belas tahun lalu. Misalnya saja yang paling tampak adalah adanya disrupsi akibat teknologi ataupun pandemi. Tantangan ini tentu saja perlu diperhatikan oleh setiap negara karena jika salah menangani, efek jangka panjang siap menghadang.
Laporan Global Education Monitoring Report (2020) bertajuk Inclusion and Education: All Means All menyebutkan, kesetaraan dan inklusi telah menjadi inti agenda 2030. Meski demikian, merujuk pada laporan tersebut, hingga kini distribusi sumber daya dan peluang yang tidak merata masih menjadi persoalan utama.
Ketidaksetaraan distribusi sangat terkait erat dengan aspek jender, daerah terpencil, ketimpangan kekayaan, disabilitas, etnisitas, bahasa, migrasi, pengungsi, penahanan, orientasi seksual, identitas dan ekspresi jender, agama, kepercayaan, dan lainnya. Di sisi lain, konteks reproduksi sosial melalui kapital orangtua dalam memberikan sumber daya, pendapatan, keterampilan, dan jaringan kepada anak-anak juga sangat berpengaruh.
Pasi Sahlberg dalam pengantar buku Teach Like Finland (2017) karya Timothy D Walkerz memaparkan bahwa mayoritas siswa Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial campur tanpa melihat atau memisah-misahkan kemampuan atau status sosial ekonomi mereka. Menurut dia, dalam empat dekade terakhir semangat inklusivitas ini telah membentuk pola pikir para guru dan orangtua untuk percaya bahwa setiap orang dapat belajar apa pun yang diinginkan selama ada dukungan yang layak dan cukup.
Mayoritas siswa Finlandia belajar dalam kelas yang secara sosial campur tanpa melihat atau memisah-misahkan kemampuan atau status sosial ekonomi mereka.
Semangat inklusivitas memang sangat krusial dibangun melalui proses pendidikan. Apa yang disebut oleh Sahlberg tersebut menjadi salah satu contoh mengenai urgensi membangun inklusivitas di ruang pendidikan. Meski memang tantangan di Indonesia lebih berat karena Finlandia tidak seluas dan seberagam Indonesia.
Mendorong mimpi
Dalam konteks Indonesia, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong mimpi anak Indonesia meraih pendidikan yang berkualitas. Di level pendidikan tinggi, sebagai salah satu contoh adalah adanya Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang berfokus pada pengembangan kualitas sumber daya manusia di berbagai bidang yang menunjang percepatan pembangunan Indonesia.
Dalam konsep Barat dikenal meritokrasi yang menyuguhkan janji, barang siapa yang bekerja keras maka mereka akan meraih kesuksesan di masa depan. Namun, sayangnya meritokrasi hanya menjadi sejenis mitos.
Anak-anak keluarga miskin kemudian tetap miskin karena kebijakan pendidikan yang bias kelompok elite.
Gorski (2018) dalam bukunya, Reaching and Teaching Students in Poverty: Strategies for Erasing the Opportunity Gap, mengutip beberapa studi yang menunjukkan kegagalan siswa miskin karena kebijakan pendidikan yang tidak berpihak pada kelompok miskin. Anak-anak keluarga miskin kemudian tetap miskin karena kebijakan pendidikan yang bias kelompok elite.
Menurut Gorski (2018), media sering kali terjebak dalam menceritakan kisah-kisah sukses anak-anak kelompok miskin di bidang akademik. Padahal, menurut dia, jika dibandingkan secara statistik jumlah anak-anak miskin yang meraih sukses tidaklah banyak. Dalam konteks Indonesia, studi SMERU (2019) menunjukkan, anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa.
Paparan dari berbagai referensi tersebut perlu diperhatikan dalam perencanaan pendidikan di negeri ini. Tanda di mana akses pendidikan bagi semua masih belum genap dipenuhi. Problem akses, kesetaraan, juga model pendidikan yang responsif secara sosial kultural ataupun konteks generasi semakin urgen untuk diperhatikan.
Pola baru pendidikan bagi generasi gen Z ataupun post-gen Z, misalnya, perlu mengedepankan penguatan teknologi metode baru. Perluasan akses teknologi bagi semua kalangan perlu diakselerasi dan merupakan keniscayaan. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah upaya menjadikan ruang pendidikan untuk membangun masyarakat demokratis yang terbuka dan komunikatif (Tilaar, 2009).
Berbagai daya upaya perlu dilakukan agar dapat menuai generasi unggul dan berdaya saing di masa depan. Dan, itu semua dapat dimulai dari dunia pendidikan.
Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Sumber: Kompas.id - 25 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar