Umumnya masyarakat, terutama kalangan bawah, harus berhitung besar untuk lapor atau dites jika mereka mengalami gejala Covid-19. Program Jogo Tonggo, seperti di Jawa Tengah, bisa menjadi solusi masalah ini.
Supriyanto
Lonjakan kasus Covid-19 di Kabupaten Kudus menyisakan banyak pertanyaan yang harus dijawab dan dicarikan solusinya. Tulisan singkat ini akan mengajukan dua hipotesis untuk menjawabnya.
Dengan asumsi dari hasil wawancara mendalam dengan responden, yakni unsur tenaga medis, tokoh masyarakat, tokoh agama, birokrasi kesehatan, birokrasi pembangunan, para penyintas Covid-19, dan kaum intelektual, dapat disimpulkan sementara bahwa kegiatan sosial-keagamaan dan wisata sudah relatif terkendali. Misalnya, masyarakat sudah taat untuk tidak mengadakan perayaan Idul Fitri dan Lebaran Ketupat, demikian pula sudah dapat dikendalikan ibadah-ibadah khusus dengan prosedur kesehatan (prokes) yang sesuai dengan petunjuk pemerintah.
Dengan kata lain, perilaku masyarakat di sejumlah tempat lain juga sudah menunjukkan hal yang demikian. Namun, mengapa ada lonjakan kasus Covid-19 di Kudus? Dugaan sementara saya adalah, pertama, bisa jadi ada virus baru yang lebih ganas dan ini perlu penelitian dari ahli virus serta ahli epidemiologi. Kedua, seperti di India, ada penularan di satu kerumunan besar. Kalau India penularan terjadi di sungai tempat ritual, kalau di Kudus harus dicari.
Kerumunan massal ini bisa di tempat kerja ataupun dalam kegiatan sosial-budaya. Untuk di tempat kerja, penularan diduga tidak sengaja karena keteledoran salah satu atau beberapa orang yang membawa virus dan virus tersebut dibawa dari luar atau dari orang luar (kota) yang masuk ke lingkungan setempat, kemudian dibawa berantai dalam satu kerumunan massal tersebut.
Memperkuat basis data
Untuk menjawab hipotesis yang kedua, diperlukan basis data tentang pasien dengan karakteristik sosial-ekonomi yang detail, syukur sudah diintegrasikan dalam satu jaringan sistem informasi yang dapat terkoneksi dengan pemangku kepentingan secara akurat, valid, dan selalu up to date.
Menurut penuturan seorang responden dari tenaga medis, sebenarnya pendataan pasien terpapar Covid-19 lengkap tersedia di puskesmas. Namun, faktanya, kelengkapan ini tidak terkoneksi dengan birokrasi kesehatan di atasnya dan birokrasi yang menangani perencanaan pembangunan, terutama data yang menyangkut jenis pekerjaan para pasien.
Sebenarnya pendataan pasien terpapar Covid-19 lengkap tersedia di puskesmas. Namun, faktanya, kelengkapan ini tidak terkoneksi dengan birokrasi kesehatan di atasnya.
Padahal, jika data tentang pekerjaan pasien ini jelas dan detail, akan dapat diketahui kira-kira di mana ada kerumunan yang memudahkan penularan. Tentu data ini bukan untuk mengadili tempat bekerja, melainkan untuk mencari solusi agar prokes diterapkan secara benar dan tepat.
Menurut responden dari buruh pabrik, prokes di tempat kerjanya sangat ketat. Pulang dari pabrik harus ke rumah langsung dan di rumah tidak boleh menerima orang asing yang belum jelas. Jika tidak ditaati, sanksinya sangat berat, yakni pemecatan. Namun, orang juga bisa teledor, misalnya tidak sengaja bertemu dengan orang yang terpapar dan dirinya tidak sadar, lalu dibawa ke tempat kerja dalam satu kerumunan.
Menurut responden, umumnya masyarakat, terutama kalangan bawah, harus berhitung besar untuk lapor atau dites Covid-19 jika mereka mengalami gejala. Selain ada unsur malas atau meremehkan, tidak punya ongkos untuk tes, juga ada ketakutan bahwa jika nanti ketahuan, majikannya akan membayar tidak penuh. Bahkan, ada pekerja informal yang terus terang mengaku, jika saya tes dan ketahuan, berarti saya harus isolasi 14 hari, bagaimana saya harus menghidupi keluarga? Di sinilah pentingnya sinergi pemerintah, perusahaan, dan gotong royong masyarakat dalam menyediakan jaminan sosial ini.
Belum lagi jika ketahuan positif, maka akan ada ketakutan mendapat stigma negatif, sebagaimana diungkapkan salah satu responden yang anaknya di-bully sebayanya sebagai penyebar virus. Dengan demikian, data sosial ekonomi pasien Covid-19 ini penting sekali, selain data pekerjaan, juga data usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Data dengan berbagai variabel tersebut dapat ditabulasi silang dan dapat dijadikan sasaran penanganan Covid-19 secara preventif serta melacak dari mana saja penularan itu terjadi.
Peran basis masyarakat
Sebenarnya di Jateng sudah ada program Jogo Tonggo, yakni menjaga tetangga, dan peran ini harus ditingkatkan serta diintensifkan, misalnya mendata dan menyaring orang luar yang datang atau pemudik dengan seleksi ketat jika tidak membawa surat bebas Covid-19. Fakta menunjukkan, mereka juga kurang terdeteksi oleh pihak RT/RW atau Jogo Tonggo setempat karena datangnya ada yang "kucing-kucingan" sehingga tidak bisa dipastikan apakah mereka telah bebas dari Covid-19.
Jogo Tonggo juga bisa mengajak PKK, Dasa Wisma, posyandu, tokoh agama, kalangan intelektual, dan lain-lain agar melakukan edukasi lebih gencar kepada setiap keluarga tentang gejala awal serta harus berani lapor untuk dites. Agar tidak takut dites dan dicap stigma negatif, perlu penjelasan bahwa siapa pun bisa kena Covid-19, termasuk pejabat dan artis, misalnya, dan agar warga tidak takut kehilangan pendapatan, perlu dipikirkan bantuan sosial selama isolasi bagi warga miskin, dan seterusnya.
Di Jogo Tonggo ada pos/tempat untuk dituju untuk laporan/bertanya (paran jujugan) yang dikoordinasikan dengan berbagai lembaga yang ada di desa, mengingat adanya banyak program dari pemerintah pusat/daerah. Demikian pula Jogo Tonggo profesi (pasar, kantor, industri/pabrik, tempat publik lain), dan komunitas (keluarga, tempat ibadah). Tidak lupa pemerintah harus memberikan insentif atau fasilitas dukungan pada komunitas Jogo Tonggo.
Saratri Wilonoyudho, Guru Besar Ilmu Kependudukan dan Anggota Satgas Covid Jateng
Sumber: Kompas.id - 26 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar