Peranan kekuasaan parpol dalam sistem kepemerintahan dan kenegaraan semakin hari semakin menarik untuk dianalisis. Semenjak awal reformasi 1999, kehadiran parpol dalam pemerintahan semakin bertambah. Kehidupan parpol sejak kemerdekaan 1945 dalam membangun tata kepemerintahan dan kenegaraan sudah banyak dirasakan.
Sebelum ada sistem demokrasi, pejabat yang memimpin lembaga pemerintahan hanya birokrat yang membuat kebijakan dan mewujudkannya. Birokrat adalah pejabat yang profesional, kompeten, dan ahli di bidangnya yang diperoleh melalui lembaga pendidikan dan pelatihan dan meniti kariernya secara otomatis dengan cara mobilitas.
Sekarang, di zaman sistem demokrasi, jabatan dalam organisasi pemerintahan dan kenegaraan tidak dipimpin oleh birokrasi, tetapi dipimpin pejabat politik. Parpol merupakan perwujudan dari kekuasaan rakyat, sedangkan birokrasi merupakan wujud kekuasaan pejabat.
Parpol menurut tabiatnya adalah organisasi yang mencari kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan (Bung Karno). Oleh karena itu, begitu suatu partai atau kumpulan partai memenangi pemilu, mereka akan memimpin lembaga pemerintahan dan menjadikan birokrasi pemerintah sebagai subordinasi politik. Dalam pemerintahan yang dipimpin pejabat politik, tugas utamanya membuat keputusan atau kebijakan politik.
Dengan demikian, mulailah terbentuk sistem kerja antara kekuasaan membuat keputusan atau kebijakan di tangan pejabat politik, dengan pelaksana keputusan atau kebijakan yang dilakukan oleh pejabat birokrasi. Akhir-akhir ini kita mengenal sistem oligarki politik.
Sistem ini salah satu model pemerintahan demokrasi yang penekanan kekuasaannya berada di tangan kelompok parpol yang berkuasa. Kekuasaan di eksekutif ini bahkan didukung oleh mayoritas suara di legislatif. Pemerintahan oligarki politik semacam ini cenderung dan sama artinya dengan pemerintahan otoriter, lawan sistem pemerintahan demokrasi.
Sistem oligarki politik ini merisaukan tatanan kehidupan pemerintahan yang demokratis. Banyak parpol yang cenderung menggunakan kekuasaan politiknya melebihi kekuasaan rakyat yang diwakilinya.
Hubungan kerja politik dan birokrasi
Pada awal pemerintahan demokrasi tahun 1998, ketika presiden dijabat BJ Habibie, banyak undang-undang direvisi dan dibentuk. Sebut saja UU pemerintahan, UU kepegawaian, UU kepartaian, UU pemilu, UU susunan dan kedudukan DPR, DPRD, MPR, dan diciptakan UU baru tentang kebebasan pers atau UU tentang demokrasi.
Sayang, saat itu terlambat tak diciptakan hubungan kerja yang bisa mewujudkan pemerintahan demokrasi yang good government. Akibatnya, sampai sekarang dirasakan hubungan keduanya dalam suatu pemerintahan yang demokratis tidak mencerminkan hubungan yang co-equality, tetapi hubungan kekuasaan antara pejabat yang memimpin dan pejabat yang dipimpin.
Kekuasaan memang nyawa dalam suatu organisasi, tetapi jangan diobral penggunaannya. Tak jarang dijumpai jika pejabat politik atau menterinya melakukan korupsi, pejabat birokrasinya ikut terlibat. Ini juga terjadi di pemerintahan daerah.
Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan politik dan jabatan karier birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Posisi subordinasi pejabat birokrasi pemerintah di bawah kendali jabatan politik menjadikan sangat sulit bagi pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang jadi atasannya.
Model hubungan kerja birokrasi dan politik
Di Amerika Serikat (AS), dalam perkembangan ilmu politik dan ilmu pemerintahan (public administration), lebih didahulukan untuk mengenalkan ilmu politik daripada ilmu public administration. Ilmu politik dikembangkan dengan mengemukakan kajian yang tekanannya untuk merumuskan kebijakan (Warren Bennis, 1966), sedangkan ilmu public administration dikembangkan untuk melaksanakan kebijaksanaan (Martin Albrow, 1970).
Kedua ilmu itu dikembangkan dengan baik sekali sehingga bisa diterapkan dalam aktivitas lembaga pemerintahan dalam sistem demokrasi. Dalam menata hubungan kerja antara pejabat birokrasi dan pejabat politik, banyak model yang dikemukakan. Sebagian model sudah pernah diterapkan di negara kita untuk masa pemerintahan yang cukup lama.
Model hubungan kerja antara pembuat keputusan dan pejabat yang merealisasikan keputusan tidak co-equality. Yang terjadi, dalam setiap sistem organisasi kepemerintahan, gambaran yang ada adalah antara pejabat yang berkuasa dan pejabat yang dikuasai, atau secara lebih eksplisit antara pejabat politik dan pejabat birokrasi dikuasai oleh kekuasaan pejabat politik.
Dalam model Marxis yang dikenalkan oleh Karl Marx, atau model executive ascendancy (AS), pejabat birokrasi dikuasai pejabat politik. Model ini pernah dilaksanakan selama lebih dari 32 tahun oleh Presiden Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru.
Dalam pemerintahan Orde Baru saat itu, hanya ada tiga kekuatan politik: dua berupa partai politik, dan satunya golongan bukan partai politik, tetapi bertindak sebagai partai politik. Satu kekuatan politik yang tidak berupa partai politik menguasai pemerintahan dan kenegaraan. Birokrasi pemerintah dikuasai oleh kekuatan politik yang bukan partai politik.
Ini termasuk model yang aneh, belum ada di negara mana pun yang menggunakannya, tetapi bisa berjalan lama sekali selama 32 tahun pada pemerintahan Orde Baru.
Model yang belum pernah dicoba atau model yang masih menjadi angan-angan adalah model di mana kekuatan birokrasi mempunyai kedudukan yang sama dengan kekuatan politik (co-equality with the executive). Kekuatan birokrasi itu adalah kekuatan keahlian, kekuatan kompetensi, dan kekuatan profesionalisme.
Birokrasi itu diambil dari calon-calon yang terdidik dari bawah sampai pendidikan tertinggi melalui pelatihan. Oleh karena itu, jika kekuasaan politik itu memberikan reward pada pengalaman pejabat birokrasi, akan terbentuk tim kerja (teamwork) yang saling mengisi kekurangan di satu pihak dengan kelebihan pihak lain.
Dahulu, pada zaman pemerintahan Orde Baru, ada dua nomenklatur yang menyebut suatu organisasi pemerintah yang dipimpin oleh menteri. Satu nomenklatur disebut kementerian, untuk menamakan organisasi politik yang dipimpin menteri dari partai politik, dan satu lagi disebut departemen, untuk kementerian.
Istilah departemen menunjukkan bahwa di kementerian itu ada pejabat birokrasi yang berperan selain menteri. Suatu contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa juga disebut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dipimpin Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Model ini di AS dinamakan bureaucratic sublation model, yang mendudukkan kekuatan birokrasi co-equality with the executive.
Jika model ini diberlakukan, penataan karier aparatur sipil negara (ASN) bisa dilakukan oleh pejabat birokrasi karier. Pejabat pembina karier birokrasi harus dipegang pejabat karier birokrasi, dalam hal ini sekretaris jenderal di kementerian dan sekretaris daerah di tiap-tiap pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota.
Bukan seperti sekarang ini, dalam Undang-Undang ASN ditentukan bahwa pejabat pembina karier ASN dipegang oleh pejabat politik, dari presiden didelegasikan kepada menteri, dan kepala daerah.
Semoga model bureaucratic sublation yang mendudukkan pejabat birokrasi sederajat dengan kedudukan pejabat politik bisa menjadi pertimbangan model hubungan kerja pejabat birokrasi dan pejabat politik.
Miftah Thoha Guru Besar (Ret) Universitas Gadjah Mada
Sumber: Kompas.id - 16 Juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar