Oleh YANUAR NUGROHO HERYUNANTO
Tanggal 15 Juni 2023, Presiden Joko Widodo menyerahkan cikal-bakal warisan terpentingnya: rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
Disiapkan oleh Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ini akan menjadi acuan mewujudkan visi ”Indonesia Emas 2045”: negara maju dengan ekonomi keempat atau kelima dunia. September 2023 nanti, RPJPN 2025-2045 disahkan sebagai undang-undang dan menjadi referensi bagi para capres-cawapres menyusun visi-misi mereka.
Ini mendasar karena tanpa rujukan jangka panjang, rencana pembangunan antarpemerintahan berisiko tak berkesinambungan. Akibatnya, pembangunan jalan di tempat meski rasanya maju dan banyak yang dikerjakan. Menilik beberapa dekade ke belakang, kekhawatiran ini amat beralasan. Satu yang paling jelas: kita tak kunjung keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).
Keluar dari jebakan
Tahun 1993, Indonesia resmi tak miskin lagi. Ia menjadi negara berpenghasilan menengah. Namun, krisis ekonomi 1997-1998 membuatnya terpuruk sebelum bangkit lagi di 2002. Tahun 2019 kita bangga karena ”naik kelas” menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income). Sayangnya tak lama. Covid-19 mengempaskannya kembali ke status lower middle-income di 2020 dan baru kini pulih. Namun, artinya 30 tahun kita terjebak dalam middle-income trap.
Untuk keluar dari jebakan ini, RPJPN 2025-2045 menegaskan ekonomi mesti tumbuh 6-7 persen. Mengapa? Singapura, Hong Kong, dan Korsel—seperti kita—terjebak cukup lama di awal 1970-an: 20, 19, dan 18 tahun. Namun, selama itu, mereka tumbuh rata-rata 8,3, 8,2, dan 8,9 persen. Di awal 1990, mereka semua jadi negara maju. Sementara pascareformasi ekonomi kita hanya tumbuh sekitar 5 persen, kecuali 2007 (6,3 persen) dan 2010 (6,2 persen). Kita malah ambruk di minus 2,07 persen saat pandemi.
Bagaimana agar bisa tumbuh 6-7 persen? Ekonomi kita mesti berbasis pengetahuan dan inovasi dan mewujud sebagai ekonomi ”hijau” dan ”biru”. Artinya, selain berorientasi pada hilirisasi riset dan inovasi, ekonomi mesti tumbuh untuk meningkatkan kesejahteraan sosial sembari melindungi lingkungan dan memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan.
Ekonomi semacam ini harus adil, efisien, sekaligus cerdas: menumbuhkan sektor produktif—barang ataupun jasa modern—yang kompetitif dengan ”kue ekonomi” yang bisa dinikmati semua warga secara berkelanjutan. Dengan sendirinya, daya saing akan tumbuh dan menguat, di tingkat regional dan global.
Tentu ini bukan pekerjaan mudah. Untuk mewujudkan ”ekonomi hijau dan biru, berbasis pengetahuan dan inovasi”, ada banyak soal mendasar yang harus ditangani. Mulai dari peningkatan kualitas SDM, perbaikan dan perluasan layanan publik berkualitas bagi semua, penegakan dan kepastian hukum, pemberantasan korupsi dan pemajuan demokrasi, hingga penanganan krisis iklim dan pengembangan riset dan teknologi. Dan masih banyak lagi.
Untuk itu, kita bekerja keras. Dua dekade terakhir, Indonesia cukup maju membangun berbagai bidang meski dunia bergejolak. Pertumbuhan pendapatan per kapita mencapai 488,73 persen di 2019. Walau ekonomi tumbuh hanya sekitar 5 persen, inflasi stabil di rentang 3-4 persen. Kemiskinan turun hingga 9,57 persen, pengangguran terbuka 5,86 persen, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) naik 0,77 persen, dan manusia Indonesia hidup lebih lama hingga 73,5 tahun. Cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan mencapai 89,5 persen penduduk, emisi gas rumah kaca kumulatif turun 5,65 GtCO2eq (27,1 persen).
Namun, memang masih banyak tantangan pembangunan ke depan. Tak optimalnya tata kelola hukum dan regulasi, rendahnya kapasitas negara dan institusi publik, masifnya perubahan demografi dan dinamika preferensi sosial-budaya, rendahnya kapasitas SDM, dan pemanfaatan sumber daya alam, maritim, dan lingkungan yang tidak berkelanjutan.
Di sisi lain, meski tumbuh, struktur ekonomi dan tata kelola perdagangan tidak efektif dengan kapasitas fiskal yang rendah. Infrastruktur wilayah dan konektivitas belum merata, penggunaan riset, ilmu pengetahuan, dan inovasi rendah, serta transformasi digital belum terkelola optimal (Bappenas, 2023).
Artinya, memang kita sudah bekerja keras, tetapi belum mampu membawa negeri ini maju—apalagi menjadi pemimpin dunia. Maka reformasi saja tak cukup. Mesti transformasi. Dalam hal apa? Cara kita membangun bangsa.
Tentang cara membangun
Einstein pernah bilang kira-kira begini: ”Orang yang—maaf—gila adalah orang yang melakukan hal yang sama berulang-ulang, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda.” Mari kita lihat cara membangun negeri—katakanlah sejak reformasi 25 tahun silam hingga kini.
Adakah perbedaan mendasar cara kita membangun? Misalnya: cara merencanakan dan menjalankan pembangunan, membenahi birokrasi dan institusi publik, mengelola SDA, mengembangkan riset dan inovasi, bahkan cara mendidik di sekolah, hingga berdemokrasi dan memberantas korupsi, menegakkan hukum?
Benar, ada perubahan dan ada perbaikan. IPM, skor PISA, indeks persepsi korupsi, bahkan tengkes semua membaik. Tetapi cukupkah? Puaskah kita? Kalau ”iya”, artinya kita memang tak mau keluar dari jebakan middle-income ini.
Benar, ada perubahan dan ada perbaikan. IPM, skor PISA, indeks persepsi korupsi, bahkan tengkes semua membaik. Tetapi cukupkah?
Ada tiga yang perlu dibenahi. Pertama, cara merencanakan pembangunan. Pembangunan selama ini direncanakan secara teknokratis bottom-up lewat musyawarah perencanaan pembangunan yang mengandalkan proyeksi, prediksi, dan perkiraan untuk mewujudkan visi nasional. Visi diturunkan jadi prioritas nasional, diturunkan lagi dalam program prioritas, kegiatan prioritas, hingga major projects untuk menghasilkan rincian output. Sangat teknikal, ketat, dan terstruktur, bahkan cenderung birokratis.
Kekuatan perencanaan semacam ini adalah kendali teknokratisnya. Namun, ini sekaligus kelemahannya: tak fleksibel menghadapi faktor-faktor nonteknokratis seperti gejolak politik pembangunan. Kerumitan birokrasi perencanaan membuatnya juga gampang dituduh jadi tempat bersembunyi dan cuci tangan jika ada kegagalan capaian pembangunan. Boros, karena sumber daya habis untuk proses dan fungsi, bukan program dan hasil.
Cara merencanakan seperti ini tak salah, tetapi tak cukup progresif untuk maju. Perencanaan teknokratis seperti ini semestinya dilengkapi dengan tinjauan masa depan (foresight) karena masa depan yang diinginkan itu harus dibentuk, bukan diproyeksikan, diperkirakan atau diramalkan. Visi nasional harus divalidasi lewat identifikasi sejumlah tantangan pembangunan melalui pemetaan berbagai kejadian dan kecenderungan penting (horizon scanning).
Dari situ akan ditemukan disrupsi (discontinuities), penanda perubahan (weak signals), dan perlunya kewaspadaan akan kejadian yang kemungkinannya kecil tapi amat berdampak (wild cards).
Dari peta ini, bisa diidentifikasi sejumlah penggerak utama (main driver) sebagai dasar pengembangan beberapa skenario masa depan (plausible scenarios)—bukan hanya proyeksi. Dengan dasar skenario ini, perencanaan strategis dan peta jalan (strategic roadmapping) dirumuskan. Jadi fokusnya program dan hasil. Proses dan fungsi hanya mengikuti.
Perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan foresight memang masih terbatas di Indonesia meski sudah jamak digunakan berbagai negara (Nugroho dan Saritas, 2009), termasuk Singapura dan Malaysia. Foresight memastikan perencanaan pembangunan kuat secara teknokratis, sekaligus antisipatif, progresif, dan kokoh visi masa depannya.
Foresight secara terbatas juga sebenarnya sudah mewarnai penyusunan rancangan RPJPN 2025-2045 hingga melahirkan rumusan visi, 5 sasaran, 8 agenda, 17 tujuan, dan 45 indikator kunci untuk memastikan terjadinya transformasi ekonomi, sosial, dan tata kelola beserta landasan dan kerangka implementasinya (Bappenas, 2023). Ini langkah progresif merumuskan rencana jangka panjang sebuah bangsa. Berikutnya, dipastikan agar turunannya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah tahunan, disusun serupa.
Kedua, cara mengelola pembangunan. Membangun dengan benar intinya memastikan tata kelola agar sumber daya pembangunan digunakan efektif, efisien, bebas konflik kepentingan. Akar seluruh kemacetan pembangunan selama ini adalah buruknya tata kelola. Membenahi tak gampang dan sederhana. Namun, setidaknya ada tiga fokus utama: reformasi birokrasi; integrasi perencanaan dan penganggaran; pengendalian pembangunan.
Satu, reformasi birokrasi adalah kunci membangun Indonesia masa depan. Indonesia 2045 butuh birokrat kelas dunia. Fondasinya formasi dan rekrutmen berdasar kompetensi dan karakter, remunerasinya layak, adil berdasar kinerja, dan tunggal, dengan jenjang karier jelas untuk menarik talenta unggul. Ini mesti terwujud satu dasawarsa ke depan agar ada critical mass birokrasi berkualitas untuk mewujudkan Indonesia Emas.
Perencanaan teknokratis seperti ini semestinya dilengkapi dengan tinjauan masa depan ( foresight) karena masa depan yang diinginkan itu harus dibentuk, bukan diproyeksikan, diperkirakan atau diramalkan.
Dua, sudah terlalu lama integrasi perencanaan dan penganggaran sekadar jadi wacana. Kabinet mendatang mesti mewujudkannya. Ditjen Anggaran mesti menyatu dengan Bappenas memastikan apa yang direncanakan teranggarkan dan alokasi anggaran sesuai kebutuhan pembangunan. Tak ada negara maju yang perencanaan dan penganggarannya tidak terintegrasi atau pembangunan pusat dan daerahnya tidak terorkestrasi.
Tiga, perlu pengendalian pembangunan karena tantangannya makin kompleks dan lintas sektor, sementara kementerian dan lembaga bekerja terkotak-kotak di sektor masing-masing. Mesti ada institusi yang menjembatani dan mengoordinasikan kabinet—yang tak bisa ditangani menteri koordinator. Ini bisa seperti Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan) era Soeharto, UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) era SBY, KSP (Kantor Staf Presiden) era Jokowi, atau sekaligus saja ditangani Bappenas—sebagai Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Nasional—yang melekat pada Presiden.
Memastikan kesinambungan
Ini soal yang selalu mendera saat pergantian pemegang kuasa, mulai dari kepala negara, menteri, bupati, bahkan kepala desa. Para perencana dan pelaku pembangunan selalu waswas penguasa baru membawa agenda baru yang diwujudkan dalam kebijakan dan program baru yang tak selalu sejalan—bahkan bertentangan—dengan kebijakan dan program pendahulunya. Bahkan jika sejalan pun, sering dibubarkan dulu sebelum dibuat yang baru dengan substansi sama, hanya karena ”bukan saya yang memulainya”. Ini sudah jadi budaya: cancel culture namanya. Akibatnya, pembangunan jadi mirip tari poco-poco: maju dua langkah, mundur selangkah. Lambat, jika malah tak jalan di tempat.
Kekhawatiran ini sedang kita hadapi. Hingga kini, kontestasi capres-cawapres masih berkutat pada nama, citra, dan karisma sebagai penggaet suara, bukan substansi. Apalagi bagaimana memastikan keberlanjutan pembangunan saat berkuasa nanti. Ini bukan hanya soal ide besar seperti pemindahan ibu kota negara, pembangunan jaringan kereta api cepat, atau penutupan tambang batubara untuk mengejar net zero.
Namun, justru yang menentukan mati hidupnya warga seperti kebijakan kesehatan, kurikulum pendidikan, skema perlindungan sosial, dan dukungan UMKM. Juga perkara yang mengganggu sekaligus membelenggu pemerintahan, seperti reformasi birokrasi, penegakan hukum, penyelesaian pelanggaran HAM berat, dan pemberantasan korupsi.
Meski bisa dipahami jika kini masih bicara elektabilitas, salah jika tak ada—atau sedikit sekali—ruang tersisa untuk bicara rencana pembangunan dan kesinambungannya. Karena itu, semua capres-cawapres mesti didorong, didesak, bahkan kalau perlu diikat agar visi pembangunan yang mereka usung melekat, sejalan, dan searah dengan RPJPN 2025-2045. Selain menjadikannya UU, perlu terobosan baru: dipaksa oleh KPU dan para pemilih. Untuk itu, KPU mesti memastikan kampanye dan debat lebih substantif. Saya usulkan dua hal.
Satu, kampanye tematik mengundang warga terdampak. Misalnya kampanye tentang lingkungan, mengundang petani, nelayan, aktivis, dan pebisnis; kampanye tentang kaum muda, mengundang berbagai organisasi dan wadah pemuda; kampanye reformasi birokrasi mengundang para PNS—dan banyak lagi.
Dua, reformulasi substansi debat. Fokusnya bukan pada apa yang dijanjikan, karena mudah dilupakan/dibelokkan. Juga bukan pada mengapa, karena kita punya Pancasila dan UUD 1945. Ini mencegah kekhawatiran pembelahan. Substansi debat mesti fokus pada bagaimana menjalankan pembangunan: mulai cara memilih menteri, mengendalikan pembangunan, hingga transformasi ekonomi. Dari situ akan terlihat apakah hanya berwacana atau bisa mewujudkan. Lebih penting lagi: apa mereka mampu memastikan kesinambungan pembangunan yang sudah dimulai pendahulunya.
Kesinambungan pembangunan mesti dijaga meski ego ”aku, partaiku, kelompokku” selalu menggoda. Itu syarat mutlak keluar dari jebakan middle-income dan batu ujian apakah negeri ini sungguh pantas jadi panutan di masa depan.
Yanuar Nugroho Foresighter, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/04/kesinambungan-pembangunan