YUDI LATIF
Dalam dekapan hawa musim gugur yang mendingin, 23 Oktober 2011, ratusan orang memadati ballroom Hotel Great Wall Sheraton di pusat kota Beijing untuk mendiskusikan buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Seorang peserta bertanya kepada penulis, "Menurut Bapak, manakah yang lebih baik antara komunisme dan Pancasila. Jika Bapak berani mengatakan Pancasila lebih baik, mana buktinya bahwa kehidupan warga di bawah payung Pancasila lebih baik daripada kehidupan warga di bawah payung komunisme seperti di China ini?"
Pertanyaan tersebut mewakili kesadaran banyak orang dalam menyoal Pancasila. Setelah 67 tahun Pancasila dilahirkan, keluhuran nilai-nilainya sebagai dasar dan haluan bernegara terus diimpikan tanpa kemampuan untuk membumikannya.
Sebuah penantian kesia-siaan menyerupai kisah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Alkisah, Vladimir dan Estragon berhari-hari menanti di jalan sunyi kedatangan makhluk misterius bernama Godot. Setelah yang dinanti tak kunjung datang, keduanya memutuskan untuk pergi. Estragon: "Baiklah, haruskah kita pergi?" Vladimir: "Ya, mari kita pergi." Meski begitu, keduanya tidak bergerak, tetap di tempat.Waktu terus berlalu, meninggalkan bangsa Indonesia yang terus menanti pendaratan mesiah Pancasila. Penantian yang tak kunjung datang melahirkan sumpah serapah.
Dalam kaitan ini, warisan terburuk dari pemerintahan otoriter adalah ketidaksanggupan warga untuk membayangkan sisi-sisi baik dari masa lalu. Masa lalu dipandang sebagai sumber kutukan. Pancasila yang diindoktrinasikan di masa lalu lantas ramai-ramai dihapus dari kurikulum sekolah dan kesadaran kenegaraan.
Setelah sumpah serapah dimuntahkan atas penantian yang dijanjikan masa lalu nan tak kunjung datang, kita memutuskan pergi untuk mengubah keadaan lewat reformasi. Nyatanya, keputusan pergi itu tidak diikuti oleh pergerakan. Perubahan demi perubahan prosedural terus terjadi untuk membuat kehidupan tetap jalan di tempat.
Dalam kegelapan harapan ke depan, orang-orang kembali menengok masa lalu. Pancasila kembali dirayakan. Namun, sekali lagi, tanpa kesungguhan usaha untuk membumikan. Kepedulian terhadap Pancasila berhenti sebagai komedi omong, yang tingkat kedalamannya hanya sampai di tenggorokan. Kadar pembumian Pancasila hanyalah berayun dari seremoni penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke seremoni sosialisasi Empat Pilar (4P), tanpa kekayaan metodologi dan perluasan imajinasi pematrian nilai-nilai Pancasila itu dalam pembentukan karakter bangsa.
Radikalisasi Pancasila
Setiap pandangan hidup atau ideologi yang ingin memengaruhi kehidupan secara efektif tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, tetapi perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses "pengakaran" (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).
Pada dimensi mitos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk meneguhkan kembali Pancasila sebagai ideologi negara. Pada sisi ini, bangsa Indonesia harus diyakinkan, seperti kata John Gardner, "Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya pada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar." Mematrikan keyakinan pada hati warga tidak selalu bersifat rasional. Pendekatan afektif-emotif dengan menggunakan bahasa seni-budaya dan instrumen multimedia akan jauh lebih efektif.
Pada dimensi logos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk mengembangkan Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pancasila harus dijadikan paradigma keilmuan yang melahirkan teori pengetahuan dan komunitas epistemiknya. Proses obyektivikasi penting karena ilmu merupakan jembatan antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan.
Pada dimensi etos, radikalisasi Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri dan daya juang agar Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial. Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, serta menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia tidak akan dapat meraih kemajuan-kebahagiaan.
Radikalisasi Pancasila merupakan suatu kemestian, betapapun hal itu merupakan pekerjaan yang sulit di suatu negeri yang dirundung banyak masalah.
Namun, dengan semangat gotong royong yang menjadi nilai inti Pancasila, kesulitan bisa ditanggung bersama. Dalam membangkitkan semangat itu, diperlukan kepemimpinan yang dapat memulihkan kembali kepercayaan warga kepada diri dan sesamanya. Kekuasaan digunakan untuk menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga untuk mencapai kemuliaannya dengan membuka diri penuh cinta kepada yang lain.
Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Kompas, 5 Juni 2012
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar