Oleh Andris Piebalgs
Bayangkan sebuah dunia di mana kemiskinan global berada di titik yang sangat rendah.
Bayangkan, pertumbuhan di Afrika ada di tingkat paling tinggi; bantuan pembangunan Uni Eropa berlanjut dengan nilai lebih besar dibanding sebelumnya, dan kekuatan-kekuatan dunia baru, seperti Indonesia, semakin memainkan peran penting di panggung dunia. Sekarang buka mata Anda, itulah dunia masa kini.
Inisiatif pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) berperan besar dalam mencapai kemajuan ini sejak 2000. Apa yang disebut sebagai "MDGs" telah mempersatukan dan mengantar komunitas internasional memusatkan perhatian pada negara- negara termiskin. Secara global, target mengurangi hingga setengahnya penduduk di bawah garis kemiskinan ekstrem telah tercapai pada 2010. Jumlah anak yang tak bersekolah turun dari 180 juta (1990) menjadi sekitar 60 juta. Semakin banyak anak yang dapat mencapai usia lima tahun dibanding sebelumnya.
Jutaan ibu melahirkan bayi dengan selamat. Kebijakan dan semangat baru di negara berkembang mendorong tercapainya kemajuan ini dan mitra-mitra internasional, seperti Uni Eropa (UE), telah meningkatkan dukungannya pada negara-negara tersebut.
Indonesia merupakan sebuah contoh cerita sukses. Kemajuannya yang luar biasa, khususnya di bidang pendidikan dasar, demokrasi, dan upaya penyetaraan jender, layak mendapat apresiasi. Saya melihat kesuksesan Indonesia terjadi berkat adanya pengambilan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang tepat dan juga karena kerja keras serta semangat berinovasi yang tinggi. Sungguh, kami dapat belajar banyak dan UE bangga telah turut berkontribusi di dalamnya. Kami selalu menjadi pendukung setia Indonesia sejak hubungan resmi Indonesia-UE dimulai lebih dari 40 tahun lalu. Beberapa tahun terakhir ini, UE telah menyediakan lebih dari 1 miliar euro untuk proses rekonstruksi pascabencana tsunami di Aceh dan gempa di Yogyakarta. Kami menyediakan lebih dari 500 juta euro untuk anggaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. UE membantu pembangunan 20.000 lebih rumah di Aceh, 670 sekolah, 5 pelabuhan, dan sekitar 650 km jalan nasional. UE juga membantu penyediaan 1.600 km kanal drainase dan irigasi serta 8.000 sumur. Arus perdagangan dan investasi kita, serta jumlah orang yang melakukan perjalanan antar-kawasan, tertinggi dalam sejarah dan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan.
Banyak contoh lain dari berbagai pelosok dunia mengenai upaya-upaya dalam pencapaian target MDGs, baik di Asia, Afrika, atau Amerika Latin. Namun, kita tak boleh gampang terlena. Banyak negara yang masih tertinggal. Kemajuan dalam program MDGs sering kali tidak merata di dalam suatu wilayah negara. Tantangan baru bermunculan. Kita melihat lebih banyak bencana alam ekstrem yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Di seantero dunia, jutaan anak masih menderita kelaparan dan ketidakadilan sosial, menimbulkan kesenjangan masyarakat. Dunia berkembang kian kompleks dan kita harus lebih fokus dan inovatif jika ingin mempertahankan kemajuan di masa depan.
Masa depan: seharusnya seperti apa?
Program MDGs akan berakhir 2015. Masih banyak hal yang harus dilakukan. Sementara itu, kita kini sedang memperdebatkan apa yang akan memandu dan mengantar pembangunan pasca-2015. Sekjen PBB telah membentuk Panel Tingkat Tinggi untuk menuntun pekerjaan ini. Presiden SBY duduk di panel ini dan mengundang kita dalam pertemuan di Bali minggu ini guna membahas pekerjaan penting ini dan bagaimana memajukannya. Pekerjaan panel ini belum selesai. Namun, hal menarik untuk diketahui adalah tiga hal yang akan menjadi elemen instrumental dalam agenda pasca-2015, yakni menyelesaikan apa yang kita sudah mulai di dalam MDGs, membuat pembangunan masa depan lebih berkelanjutan, dan bekerja sama dengan negara dan blok-blok kekuatan baru, seperti Indonesia dan ASEAN.
Jelas bagi saya dan juga anggota panel, prioritas terbesar adalah menyelesaikan pekerjaan yang telah kita mulai dalam program MDGs. Namun, dunia sudah berubah sejak 2000, dan kita harus menyelaraskan visi setelah 2015. Saya percaya kita harus bergerak lebih jauh. Kita harus memenuhi tujuan pengentasan rakyat dari kemiskinan seperti ditetapkan dalam MDGs, tetapi kita harus memastikan pembangunan pasca-2015 berkelanjutan bagi generasi masa depan. Ini bukan persoalan kewajiban moral, menjadi kepentingan setiap orang pertumbuhan tak sekadar berkembang pesat, tapi juga tak merusak lingkungan hidup.
Pertumbuhan yang perlu diciptakan adalah yang stabil dan berkelanjutan. Ini pesan yang saya sampaikan dalam panel Tingkat Tinggi. Ini juga pesan di balik proposal kebijakan UE yang baru-baru ini diumumkan, A Decent Life for All: Ending Poverty and Giving the World A Sustainable Future (Hidup Layak bagi Semua: Mengakhiri Kemiskinan dan Memberikan Dunia Masa Depan yang Berkelanjutan). Memerangi kemiskinan seharusnya tetap jadi inti agenda pembangunan global untuk menyediakan "Kehidupan yang Layak bagi Semua" pada 2030. Kita harus menetapkan sekumpulan batas minimal untuk hidup layak, yang tak seorang pun boleh jatuh dan berada di bawahnya. Namun, ini tak akan terwujud jika kita hidup dengan cara tak berkelanjutan.
Kita semua tahu perubahan iklim, degradasi tanah, konsumsi, dan produksi yang tak berkelanjutan mengancam hasil-hasil yang sudah dicapai dalam perang melawan kemiskinan. Di mata dunia, Indonesia berada di garis depan dalam upayanya mencari pertumbuhan berkelanjutan. UE dan Indonesia penghasil emisi gas rumah kaca besar, tetapi kita telah mengadopsi target-target nasional ambisius untuk mengurangi emisi dan kita punya keinginan untuk melihat kesepakatan global di mana semua negara ikut menjawab isu-isu ini.
Agar pertumbuhan berkelanjutan, perlu didukung tata kelola pemerintahan yang baik, perdamaian, dan keamanan. Indonesia punya pengalaman berharga di bidang ini. Proses perdamaian dan pembangunan di Aceh sejak 2004, satu yang telah diusung ke seluruh dunia sebagai model penyelesaian konflik yang tepat.
Indonesia sudah menunjukkan jalan ke depan, memberikan pelajaran berharga bagi negara lainnya, mengadaptasi model yang disusun sendiri, memberikan komitmen nasional yang jelas untuk pelaksanaannya, serta memanfaatkan kemitraan internasional seperti dengan UE untuk mendukung pekerjaannya. Di dunia yang kian menyatu pasca-2015, pengelompokan kawasan seperti UE dan ASEAN dapat menjadi motor penggerak tambahan untuk pertumbuhan. ASEAN yang sehat dan sukses akan sangat membantu pencapaian pembangunan berkelanjutan pada negara anggotanya.
Contoh-contoh itu menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan baru, seperti Indonesia, dapat dan akan memainkan peranan yang sangat penting dalam agenda pembangunan setelah 2015 dan bagaimana UE memandang mereka sebagai mitra yang kuat dalam upaya-upaya bersama. Saat kita duduk bersama di Bali minggu ini, di bawah arahan Indonesia sebagai tuan rumah, saya akan sangat optimistis tentang masa depan. Saya percaya melalui kerja sama, seperti dengan Indonesia dan ASEAN, kita akan mampu menciptakan kehidupan layak dan berkelanjutan bagi semua pada 2030.
Andris Piebalgs Komisioner Uni Eropa untuk Pembangunan
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar