Sabtu (23/3) tengah malam, gerombolan pasukan siluman bersenjata otomatis menyandera petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB, Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah memaksa dengan kekerasan petugas lapas, gerombolan itu menembak empat tahanan di dalam sel lapas tersebut sampai mati.
Empat tahanan itu ada dalam "kekuasaan" negara, yaitu tahanan penyidik Kepolisian Daerah DIY. Para tersangka itu juga berada pada "kekuasaan" aparat negara karena dititip penyidik Polda DIY di lapas tersebut. Empat tahanan sedang menjalani proses hukum terkait dugaan kasus pembunuhan terhadap seorang anggota TNI.
Dalam kasus ini, perlindungan terhadap tersangka sebagai warga negara yang memiliki hak perlindungan hukum dan hak asasi manusia sangat lemah. Serangan bersenjata itu juga menunjukkan negara kalah dengan gerombolan bersenjata. Negara nyata-nyata tidak mampu melindungi warga negara, bahkan saat berada dalam pengawasan penyidik Polri dan petugas rumah tahanan negara.
Serangan gerombolan bersenjata, baik senjata api maupun senjata tajam, sebenarnya tidak hanya terjadi di Cebongan. Sebelumnya juga terjadi penyerangan gerombolan "pasukan" siluman. Misalnya, penyerangan gerombolan siluman "geng motor pita kuning" di Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Kini, Polri memiliki tugas berat dan tanggung jawab moral mengungkap pembunuhan keji itu. Tanggung jawab moral muncul kuat karena empat tersangka itu merupakan tahanan aparat Polda DIY.
Jika ada kemauan dan dukungan politis, polisi tidak akan sulit mencari pelaku pembunuhan itu. Kita bisa berkaca pada peristiwa besar yang lebih rumit lainnya yang mampu diungkap polisi, seperti peledakan bom Bali atau bom lainnya.
Tanpa pengungkapan pembunuhan empat tahanan di lapas itu, Indonesia tidak layak lagi disebut negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum. Sebaliknya, di Indonesia berlaku hukum rimba. Karena hal ini, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara gagal.
Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara yang disurvei. Dalam posisi itu, Indonesia masuk kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.
Beberapa indikator dalam FSI 2012 itu antara lain ketegangan dan kekerasan antarkelompok. Kemampuan negara memberi keamanan dirusak atau dikurangi. Lalu, ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.
Kasus tragis di Cebongan jelas menunjukkan ketidakmampuan negara memberikan perlindungan hukum dan hak asasi kepada tersangka. Negara gagal melindungi tersangka sebagai warga negara menghadapi gerombolan siluman bersenjata.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane mengungkapkan, Indonesia dalam bahaya teror pasukan siluman bersenjata api. Siluman itu bisa mencabut nyawa kapan pun dan di mana pun.
Jika dibiarkan, kata Neta, pasukan siluman ini tidak mustahil akan menyerang sendi-sendi kenegaraan, termasuk kepentingan negara. Ia menilai, pembunuhan oleh pasukan siluman bersenjata di Cebongan merupakan sejarah terburuk dalam penegakan hukum dan sistem keamanan di Indonesia.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, petugas lapas telah berupaya mencegah pembunuhan itu. Namun, petugas berada pada todongan senjata api, bahkan menjadi korban kekerasan dari para pelaku.
Denny menambahkan, banyak pertanyaan mengenai siapa gerombolan bersenjata itu. Ada yang menyatakan penyerangan itu terkait insiden sebelumnya. Karena itu, investigasi menyeluruh dan cepat perlu dilakukan. "Siapa pun yang bertanggung jawab harus diproses secara hukum," katanya.
Menurut Denny, ada dugaan gerombolan ini terkait jajaran di TNI. "Ada salah satu dugaan, ini (pelakunya) terkait dengan jajaran di TNI karena insiden sebelumnya yang melatarbelakangi. Ada anggota TNI yang meninggal sehingga ada yang mengarah ke sana," katanya.
Pertanyaan kemudian ditujukan kepada polisi, apakah mampu mengusut kasus pembunuhan oleh gerombolan bersenjata itu?
Soal pembunuhan keji ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar berujar, aparat kepolisian akan mengolah tempat kejadian perkara dan menyelidiki insiden tersebut. Normatif, seperti tidak ada kegentingan.
Di tengah situasi ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu membuat terobosan. Pengusutan kasus itu tak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa. Kita masih ingat pernyataan Presiden yang kerap diulang dan kini ditagih pembuktiannya, "Negara tidak boleh kalah." (FERRY SANTOSO, Kompas Cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar