Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 26 Maret 2013

Titik Api Revolusi (YUDI LATIF)

Oleh YUDI LATIF
Apakah ini suatu déjàvu? Empat belas tahun setelah percobaan demokrasi liberal yang tak kunjung memenuhi kebutuhan rakyatnya, pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Empat belas tahun setelah percobaan demokrasi liberal Era Reformasi yang tak kunjung memenuhi kebutuhan rakyatnya, pada 25 Maret 2013 gerakan perubahan menyerukan ganti rezim-ganti sistem, kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Suatu perubahan radikal memerlukan "nabi" dan "pemimpinnya". Pada masa lalu, Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi menjadi towering moral stature yang menggerakkan perubahan dari atas. Kini, ketika kita hidup dalam suatu era kemerosotan pusat teladan, gerakan perubahan tak lagi dipimpin
oleh "tokoh agung", tetapi suatu jaringan kesadaran kolektif dari bawah.
Ini memang baru fajar kesadaran revolusioner. Perlu keteguhan keyakinan untuk menangkal keraguan. Suara kemapanan cenderung meyakini, aktivisme radikal sudah kasip. Begitu latah percaya bahwa tatkala kebanyakan orang lebih suka duduk berleha, mengisi pandangan hidupnya dengan suguhan televisi dan media sosial, aktivisme politik tidak perlu lagi berteriak dan berkeringat, cukup didelegasikan kepada mekanisme elektoral. Namun, jenis keyakinan yang juga pernah bergema pada akhir 1930-an, ketika gairah radikalisme-sosialisme menepi begitu dunia memasuki Perang Dunia II, nyatanya kembali bergelora begitu perang usai.
Ketika Indonesia memasuki era Reformasi, suara radikal melenggang terhipnotis euforia pesta demokrasi, percaya bahwa mekanisme elektoral merupakan andalan utama memenangkan daulat rakyat. Setelah 14 tahun demokrasi berjalan dengan meninggalkan demos, suara rakyat bisa dibajak suara uang, timbul kesadaran baru bahwa legitimasi demokrasi tak bisa hanya ditentukan jumlah, tetapi harus didasarkan pada imperatif moral pandangan hidup bangsa ini.
Inilah titik api revolusi. Langkah pertama perubahan radikal adalah menyadari adanya kesalahan besar dalam pengelolaan politik. Sumbu revolusi bisa dinyalakan ketika suara publik dalam media massa dan media sosial ramai menggunjingkan perilaku kepala negara yang lebih produktif sebagai pesinden ketimbang presiden, lebih berpihak kepada kepentingan korporatokrasi ketimbang kepada rakyatnya; ketika lembaga-lembaga survei menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan yang lebih mewakili kepentingan yang bayar ketimbang aspirasi rakyat; ketika sumpah-serapah dimuntahkan kepada aparatur penegak hukum yang menjadi jaringan pelanggaran hukum; ketika tingkat partisipasi pemilih terus merosot di serangkaian pemilihan kepada daerah; dan ketika surplus kebebasan justru melahirkan ketidaksetaraan yang lebih lebar.
Ketika suara aliran mulai mereda dalam politik Indonesia, dan ketika pemerintahan di bawah corak aliran apa pun sama korup dan sama zalimnya, gerakan radikal masa kini tampil dengan definisi musuhnya yang baru. "Musuh kita bukan suku, agama, dan aliran yang berbeda, melainkan kekuasaan yang menindas." Dengan definisi itu, agenda pergerakan menemukan momentum kebersamaan untuk menuntaskan revolusi sosial yang diimpikan Bung Karno, yakni revolusi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Ketidakbersambungan antara suara publik dan pilihan kebijakan negara membuat gerakan radikal meninggalkan saluran tradisional kelas menengah untuk menyelesaikan masalah melalui lobi. Gerakan ini lebih memilih menyatu dengan akar rumput, melakukan tindakan nyata lewat aksi-aksi jalanan.
Apa yang tertinggal dari gerakan ini adalah kekuatan intelektual organik yang dapat mengartikulasikan kesadaran dan keresahan kolektif. Banyak aktivis jemu dengan sampah perdebatan di ruang publik, lantas tidak lagi memandang wacana sebagai sesuatu yang penting. Diskusi dihentikan, lantas melompat ke aksi. Padahal, usaha mendelegitimasi rezim demokratis lebih sulit ketimbang rezim otoritarian sehingga kekuatan argumentatif dan artikulatif justru sangat vital. Tanpa kemampuan merumuskan masalah dan menawarkan visi, sebuah aksi bukan saja tidak mampu menawarkan jalan keluar dari kegelapan, melainkan juga tidak bisa menginspirasi beragam gugus sosial untuk bergabung ke dalam suatu blok-historis (historical bloc).
Antonio Gramsci percaya: "Subyek-subyek politik tidaklah terbatas pada kelas, tetapi juga kompleks 'kehendak kolektif' (collective wills) yang merupakan hasil pengarti¬ku¬lasi¬an ideologi-politik dari kekuatan-kekuatan historis yang berte¬baran dan terfragmentasi."
Untuk mempertautkan kehendak kolektif dari beragam posisi subyek itu diperlukan intelektual organik yang dapat menyediakan kekuatan artikulasi dan kepemimpinan moral dalam rangka mentransformasikan kepemimpinan sektoral menuju kepemimpinan integral. Sebuah aksi penjebolan tanpa visi pemulihan bisa mengulangi kesalahan masa lalu. Setelah rezim tumbang, kekuasaan dengan mudah dibelokkan kemapanan ke jalan kesesatan, sedangkan para reformis segera menjadi konservatif begitu revolusi berakhir. Seperti kata Isiah Berlin, revolusi sejati tidak dikobarkan sekadar untuk memerangi keburukan, tetapi juga dengan tujuan positif, yakni untuk menghadirkan kebaikan.
Yudi latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
(Kompas cetak, 26 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger