Oleh Donny Gahral Adian
Beberapa peristiwa berdarah yang melibatkan para penjaga negara sungguh memprihatinkan.
Serangan terhadap Markas Polres Ogan Komering Ulu, sampai eksekusi mati terhadap empat tahanan LP Cebongan, semuanya membunyikan sinyal tanda bahaya bagi tertib sosial dan keadaban publik kita. Apalagi ketika negara kelihatan kaget dan gagap menangani kasus demi kasus itu. Ketika organisasi yang memonopoli koersi gagal merawat dan menjaga rasa aman, rakyat seperti hidup di sarang penyamun. Apalagi kenyataan membentang betapa alat negara yang bersenjata justru acap kali merusak rasa aman publik.
Kelas penjaga
Alasan beradanya sebuah negara adalah keselamatan dan keamanan warganya. Sebagai teritori yang berdaulat, negara perlu menjamin keamanan secara internal dan eksternal sekaligus. Untuk itu, polisi dan militer dibutuhkan. Dari semua organ negara yang memiliki fungsi koersi, kedua institusi tersebut paling istimewa. Sebab, keduanya memiliki lisensi membunuh dalam situasi tertentu. Prajurit dapat menghilangkan nyawa tentara musuh dalam situasi perang. Dalam keadaan darurat, polisi pun dapat menembak di tempat para kriminal.
Dengan lisensi tersebut, militer, meminjam Plato, adalah sebuah kelas tersendiri. Plato menyebutnya kelas penjaga (guardian). Hak-hak istimewa kelas penjaga dimaksudkan untuk menciptakan rasa aman bagi warga dan ketakutan bagi musuh-musuh negara. Latihan perang, misalnya, acap kali dilakukan semata-mata sebagai efek penggentar bagi siapa saja yang mencoba mengganggu kedaulatan negara. Nah, bagaimana ketika hak istimewa tersebut tidak dipakai untuk menunaikan kewajiban konstitusional, tetapi untuk mengeksekusi semacam keadilan bawah tanah?
Siapa sebenarnya kelas penjaga tersebut? Plato menekankan betapa kelas penjaga adalah kelas istimewa. Disebut istimewa karena kelas penjaga tidak diikat oleh apa pun selain kebaikan umum (summum bonum). Dengan demikian, kelas penjaga menjalankan semacam asketisme sekuler. Mereka mengerem setiap jengkal hasratnya terhadap kesenangan pribadi guna menjaga republik dari intrusi kaum barbar. Dengan demikian, kelas penjaga adalah teladan bagi warganya. Mereka adalah prototipe warga negara yang tidak mudah ditiru setiap lakunya.
Keutamaan kardinal yang dimiliki kelas penjaga adalah keberanian (courage). Keberanian bukan perbuatan gegabah tanpa tuntunan akal sehat. Keberanian justru sangat bersumbu pada akal sehat. Dia yang memiliki keberanian dituntun oleh keyakinan. Kelas penjaga mesti berkeyakinan terhadap opini yang benar. Opini yang benar adalah doxa atau dogma yang harus diikuti tanpa syarat. Bagi Plato, opini yang benar atau doxa bukan pengetahuan, melainkan sejenis mitos yang membuat kelas penjaga secara sadar, ikhlas, dan militan menjaga republik. Dia adalah ideologi yang dipatuhi dan diyakini sehingga mampu mengenyahkan setiap hasrat pribadi yang menyimpang.
Secara internal, kelas penjaga memang tak mengenal demokrasi. Kelas penjaga hanya mengenal indoktrinasi opini yang benar atau ideologi. Namun, indoktrinasi tersebut memiliki fungsi etika-politiknya sendiri. Demokrasi sebagai cara hidup bersama perlu dilindungi oleh sebuah kelas yang menjalankan laku asketisme tingkat tinggi. Indoktrinasi opini yang benar bertujuan menciptakan kelas penjaga yang siap mengorbankan apa pun demi konstitusi sekaligus hidup bersama yang diaturnya.
Etika penjagaan
Setiap komunitas politik membutuhkan militer sebagai kelas penjaga. Sebagai kelas penjaga, setiap prajurit dituntut untuk mengorbankan diri bagi keamanan komunitas politik yang dilindunginya. Keputusan untuk berkorban dan membela tersebut tidak boleh dikembalikan kepada evaluasi etis pribadi masing-masing ala etika liberal. Keputusan tersebut harus diukur berdasarkan patokan yang netral, imparsial, dan kolektif. Dengan kata lain, prajurit tidak mempraktikan semacam etika liberal yang individualistis. Di sini ironi terjadi. Demokrasi liberal sejatinya justru membutuhkan kelas penjaga yang menolak etika atau moralitas liberal.
Etika militer atau kelas penjaga bersifat anakronistik terhadap etika liberal. Namun, etika tersebut tidak berseberangan dengan kebutuhan fungsional sebuah masyarakat liberal. Etos militer tersebutlah yang menciptakan rasa aman sehingga demokrasi bisa dijalankan secara saksama. Alih-alih berkonflik dengan demokrasi, militer justru merupakan sumber keutamaan-keutamaan positif. Keutamaan-keutamaan yang dikesampingkan masyarakat liberal justru dihidupkan dan dirawat di dalam militer. Kesetiaan, pengorbanan, militansi, dan keberanian adalah sebagian keutamaan tersebut.
Militer adalah institusi yang berfungsi sebagai gudang penyimpan sumber daya moral. Sumber daya moral tersebut adalah kekuatan imaterial yang dimiliki negara menghadapi berbagai ancaman yang mungkin. Moralitas non-liberal yang dimiliki militer berseberangan dengan kultur liberal-utilitarian yang memuja pengejaran individual atas kenikmatan atau kebahagiaan. Moralitas tersebut juga berseberangan dengan kultur sektarian yang memuliakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara. Dua musuh etis militer pun menjadi sangat jelas. Pertama adalah individualisme tanpa batas dan, kedua, sektarianisme atau semangat kelompok yang membabi buta.
Kehadiran militer adalah sebuah pertanyaan eksistensial. Militer adalah segaris pertanyaan tentang apa itu keadilan, pengorbanan, dan pengecualian. Semua pertanyaan tersebut tidak dapat diserahkan pada kebijakan pribadi setiap prajurit. Kita memerlukan semacam patokan etis-kolektif sebagai pandu setiap laku prajurit. Institusionalisasi nilai tersebut diperlukan guna mencegah penyalahgunaan kekuatan militer, seperti yang kita saksikan belakangan ini. Kegagalan negara menyiapkan etika militer non-liberal adalah tanda bahaya bagi kelangsungan dirinya sebagai entitas politik.
Penanaman etika militer di kalangan prajurit menjadi keharusan moral sekaligus institusional. Sebab, penyalahgunaan kekuatan bersumber dari absennya pandu etis dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, pendidikan militer harus dilengkapi dengan filsafat moral yang tepat. Pendidikan militer adalah penanaman patriotisme, bukan semata-mata sebagai semangat bela negara, melainkan keutamaan kardinal yang mesti dimiliki setiap prajurit. Patriotisme perlu dimaknai sebagai deindividualisasi dan desektarianisasi dalam setiap pengambilan keputusan di lapangan. Keputusan tentang siapa musuh, apa yang dilindungi dan bagaimana cara memerangi harus disekat oleh moralitas kolektif yang jelas dan gamblang. Pada akhirnya, setiap prajurit harus memahami bahwa setiap peluru yang ditembakkan adalah demi negara sebagai materialisasi konstitusi, bukan pribadi atau kelompok tertentu.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
(Kompas cetak, 27 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar