Beberapa waktu terakhir, masyarakat menyaksikan peristiwa yang mengguncang dan membingungkan karena sulit dicerna nalar.
Sabtu pekan lalu, terjadi penembakan empat tersangka pembunuhan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh sekelompok orang yang ditengarai sangat terlatih. Kemudian, disusul rumor yang sumbernya dari Istana tentang gerakan menurunkan pemerintahan pada Senin lalu yang kemudian ternyata hanya unjuk rasa sporadis.
Pada Kamis (7/3) lalu, sekelompok oknum TNI AD menyerbu Markas Polres Ogan Komering Ulu. Sehari sebelumnya, ditemukan mayat perempuan yang dimutilasi dan dibuang di tepi jalan dengan pelaku suami korban. Daftar kekerasan banal itu masih dapat diperpanjang.
Sejumlah kejadian itu tampak seperti tidak saling berhubungan. Namun, bila dilihat lebih dalam, terdapat persamaan, yaitu negara belum berhasil menumbuhkan kepercayaan kepada warga negara bahwa institusi-institusi negara telah bekerja adil, terbuka, dan inklusif. Institusi yang dimaksud adalah seperangkat struktur atau mekanisme keteraturan dan kerja sama sosial yang mengatur perilaku masyarakat di dalam suatu negara.
Sejumlah kejadian itu terjadi saat Indonesia dipuji karena berhasil menjadi negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi yang membuat banyak negara iri.
Negara demokratis mengandaikan kehidupan bersama yang inklusif, menyertakan semua pihak dalam pembangunan tanpa membedakan agama, kelompok, etnis, dan jender. Bila semua merasa dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan, muncul keinginan individu mencapai kehidupan lebih baik sehingga ekonomi tumbuh.
Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku mereka yang menjadi pembicaraan orang,Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012), mengingatkan pentingnya institusi politik dan ekonomi inklusif berjalan bersamaan untuk mencapai masyarakat yang makmur. Lawannya adalah institusi ekstraktif.
Demokrasi kita banyak dikritik baru sebatas prosedural. Institusi politik kita belum inklusif. Banyak orang merasa tidak mendapat keadilan, bahkan dari kelas menengah dan pengusaha. Ekonomi juga ekstraktif, dicirikan oleh tumbuhnya pengusaha yang harus berafiliasi dengan penguasa atau partai sehingga memunculkan rente ekonomi.
Mereka yang merasa kepentingannya tidak terwakili institusi yang ada dapat menjadi apatis atau memilih penyelesaian sendiri dengan melanggar etika dan hukum.
Tindak kekerasan dan main hakim sendiri harus diungkap tanpa pandang bulu demi kewibawaan pemerintah. Namun, bila pemerintah sungguh ingin membawa Indonesia menjadi negara makmur berkelanjutan, harus ada upaya sungguh-sungguh menjadikan institusi politik dan ekonomi lebih inklusif. Ekonomi rente, terutama menjelang Pemilu 2014, tidak boleh ditoleransi. Institusi politik jangan dimanfaatkan penguasa untuk menguntungkan kelompok dan melanggengkan kekuasaan. Kita menunggu sinyal perubahan itu dari pemerintah.
(Tajuk Rencana Kompas)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar